Makalah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan
TEORI KOGNITIF SOSIAL DAN TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVIS
(Sosial
Cognitive and Constructivist Theory of Learning)
AHDA SADIDANSYAH (No.Reg. 7316130241)
MIDA SULFIANA (No.Reg.731613271)
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014
DAFTAR ISI
COVER ....................................................................................................
1
I.
HAKIKAT TEORI KOGNITIF
SOSIAL
a. Pengertian
Teori Kognitif Sosial ............................................ 3
b. Penerapan
Teori Sosial Kognitif ............................................ 4
c. Pengertian
Self-Efficacy dan Self-Regulation dalam
Kognitif Sosial
....................................................................... 5
II.
HAKIKAT TEORI
KONSTRUKTIVISME
a. Teori
Konsruktivisme ............................................................ 8
b. Konstruktivisme
kognitif ....................................................... 9
c. Konstruktivisme
Sosial .......................................................... 9
d. Dimensi-dimensi
pengajaran konstruktivisme ...................... 10
e. Implikasi
teori Konstrutivisme dalam Pembelajaran ............ 11
Glosarium
....................................................................................
13
Daftar pustaka
.............................................................................
14
I.
HAKIKAT
TEORI KOGNITF SOSIAL
A. Teori Kognitif Sosial
Pembahasan mengenai kognitif sosial
memerlukan pemahaman yang menyeluruh kepada aspek kognitif dan sosial berkaitan
dengan pembelajaran. Pada awal pembahasan tentang psikologi pendidikan telah
dijelaskan seputar pemahaman perkembangan kognitif. Demi mendapatkan pemahaman
secara jelas dan utuh mengenai teori kognitif sosial, maka dibutuhkan
pendalaman pengetahuan mengenai aspek kognitif dan sosial dalam meninjau
hal-hal yang berhubungan dengan kognitif dan sosial.
Teori kognitif sosial yang berkaitan
dengan pembelajaran siswa menguraikan konsep pengembangan proses kognitif yang
diaplikasikan dan diwujudkan ke dalam aspek sosial terutama di ranah
pendidikan. Kita mesti mengetahui penggambaran apa yang bisa dihadirkan dalam
memahami konsep kognitif sosial. Untuk itu kita terlebih dahulu mendeskripsikan
hal-hal yang berhubungan dengan aspek kognitif dan aspek sosial. Teori kognitif
sosial mempunyai dua aspek yang tak terpisahkan dalam hubungannya dengan proses
pembelajaran karena kedua aspek tersebut saling berinteraksi dan berpengaruh
satu sama lain, yaitu aspek kognitif dan aspek sosial atau lingkungan.
Penjelasan sebelumnya telah
menyebutkan mengenai proses kognitif yang didefinisikan sebagai perubahan dalam
pemikiran, kecerdasan dan bahasa anak. Bila dikembangkan pengertian tentang
konsep kognitif, bisa didapatkan pemahaman tentang definisi kognitif sebagai
faktor yang mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan
kecerdasan. (Santrock, 2008: 285). Di lain sumber mengatakan
bahwa definisi kognitif diartikan sebagai proses yang terjadi secara internal
di dalam otak pada waktu manusia sedang berpikir (Martinis, 2010: 8). Faktor
dalam hal ini konteks sosial dalam pembelajaran bisa dideskripkan sebagai
lingkungan yang mana proses kognitif tersebut dapat diaplikasikan melalui cara
mengamati tindakan dan konsekuensi orang lain.
Dengan demikian, konsep teori kognitif sosial dapat didefinisikan sebagai teori
yang menambahkan faktor-faktor kognitif, seperti keyakinan, persepsi-diri, dan
ekspektasi pada teori pembelajaran sosial (Woolfolk, 2009: 125).
Pembahasan utama mengenai teori
kognitif sosial dipelopori oleh Albert Bandura, salah satu penggagas perspektif
teori kognitif sosial. Bandura memfokuskan kajiannya terhadap faktor-faktor
dominan yang berpengaruh pada teori sosial kognitif, seperti:
1. Faktor
Perilaku
2. Faktor
Personal
3. Faktor
Lingkungan
Ketiga faktor tersebut saling
memberikan pengaruh timbal balik dalam hal pembelajaran yang membentuk satu
interaksi kuat yang dinamakan Determinasi Resiprokal.
B.
Penerapan
Teori Kognitif Sosial
Proses pembelajaran
dengan merepresentasikan paham teori kognitif sosial dapat diterapkan melalui
Model Pembelajaran Observasional, yang juga disebut sebagai imitasi atau modeling. Santrock (2008: 286)
mendefinisikan istilah tersebut sebagai metode pembelajaran yang dilakukan
ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Untuk menempuh model
pembelajaran tersebut, Bandura (1986) menyebutkan empat proses spesifik yang
terlibat dalam pembelajaran, yaitu:
1. Atensi
(Perhatian), proses secara sadar atas sebongkah
kecil informasi dari keseluruhan informasi yang tersedia, dari penginderaan
maupun proses kognitif lainnya.
2. Retensi
(Ingatan), proses di mana informasi yang
diperoleh dari observasi dapat digunakan atau bisa bermanfaat di saat ia
membutuhkan informasi tersebut. Bandura berpendapat bahwa terjadi retentional process, dimana informasi
disimpan melalui dua cara yaitu secara imajinasi atau secara verbal
3. Produksi, proses
menerjemahkan citraan atau deskripsi model ke dalam
bentuk perilaku nyata. Pada tahap ini kita dituntut untuk berimprovisasi dari hasil Atensi dan Retensi tadi sehingga menghasilkan suatu
perilaku yang mungkin baik atau berdampak buruk bagi kita.
4. Motivasi, proses penguat tindakan yang muncul dari dalam diri
individu berdasarkan pada apa yang dikatakan atau dilakukan oleh model.
Selain itu, penerapan teori sosial
kognitif dalam hal pembelajaran dan pengajaran di bidang pendidikan melibatkan
dua elemen penting, yaitu Self-Efficacy
dan Self-Regulated Learning.
Self-Efficacy
Fungsi utama daripada menerapkan
teori sosial kognitif yaitu untuk mengenali dan mengidentifikasi kemampuan
seorang siswa yang bisa dikontribusikan dalam menyelesaikan suatu persoalan
yang dilakukan secara strategis dan logis. Maka muncul pertanyaan dari dalam
faktor kognisi tentang keyakinan seorang siswa apakah hasil prediksi dari
tindakan strategis tadi akan mampu atau tidak dalam menyelesaikan pokok
persoalan yang dihadapi dengan baik. Prediksi akan hal tersebut dapat
memengaruhi motivasi individu. Bentuk kasus yang menyinggung permasalahan
mengenai keyakinan tadi dibahas dalam pengertian yang dinamakan self-efficacy
(efikasi diri). Menurut Woolfolk (2009: 127), istilah ini didefinisikan sebagai
keyakinan individu tentang kompetensi atau efektivitas pribadi di bidang
tertentu. Bandura (dalam Woolfolk, 2009) memaknai efikasi-diri sebagai
“keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan
melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian
tertentu.” Pada prinsipnya, efikasi diri ini lebih melihat kepada pengetahuan
dan perasaan seseorang akan kemampuannya sendiri dalam menuntaskan persoalan
tersebut tanpa membandingkan dari kemampuan orang lain. Oleh karena itu, dari
pendeskripsian istilah efikasi diri dapat disimpulkan bahwa dalam
menyeleseaikan suatu persoalan, masing-masing individu memiliki keyakinannya
tersendiri menghadapi situasi tersebut dan menghasilkan hasil positif.
Woolfolk (2009:
128) mengemukakan bahwa sumber pemicu timbulnya keyakinan yang kuat pada diri
individu berasal dari empat hal, yaitu:
1. Mastery Experience, yaitu Sumber keyakian yang berasal dari
pengalaman langsung individu dalam proses memperoleh pengetahuan.
2. Physiological and Emotional Arousal, yaitu pengaruh reaksi
fisik dan emosi terhadap hasil penginterpretasian sesuatu yang menyebabkan
seseorang merasa siaga, bergairah, atau tegang.
3. Vicarious Experience, yaitu proses pencapaian pengetahuan
dengan cara melihat pengalaman orang lain sebagai model penyelesaian persoalan.
4. Social Persuasion, yaitu kemampuan yang dikerahkan sebagai
bentuk upaya memperoleh timbal balik atas hasil kinerja individu demi mencapai
kesuksesan.
Self-Regulated
Pengapilkasian pengetahuan siswa terhadap pemahaman dlaam
pembelajaan dapat dilakukan melalui satu metode yang dinamakan Self-Regulated Learning. Barry Zimmerman (2002) dalam Woolfolk
(2009: 130) menyatakan pengertian self-regulation
sebagai proses dalam pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan dan
mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi individu dalm menggapai tujuan
tertentu. Di lain pihak, pemahaman tentang self-regulated
learning terfokus kepada pemunculan dan pemonitoran sendiri terhadap
pikiran, perasaan, dan perilaku siswa dalam meraih suatu tujuan (Santrock,
2008: 296). Tentu saja tujuan yang dimaksud dari definisi di atas menyangkut
hal kognitif yang bersifat akademik dalam meningkatkan kompetensi siswa
tersebut dan berkenaan dengan pengendalian emosi dalam bersosialisasi dengan
sesama siswa lain. Dalam praktiknya, kriteria pembelajaran menggunakan metode
tersebut lebih mengarah kepada menuntut siswa untuk lebih mengorganisir
keterampilan belajarnya secara mandiri dan teratur sehingga mereka bisa tetap
terus belajar secara mandiri sepanjang hidupnya. Keterampilan belajar ini
memadukan kemampuan akademik dan pengendalian diri dalam membuat proses
pembelajaran terasa lebih mudah. Kebanyakan siswa yang berprestasi tinggi
memiliki kemampuan mengontrol proses belajar mereka sendiri dengan menyiasati
dan memonitor proses belajar lebih menjanjikan dalam menghasilakan kompetensi
yang unggul.
Dibalik tujuan siswa
menetapkan standar kompetensi mereka selalu ada yang mempengaruhi keputusannya
mengaplikasikan metode belajar ini. Woolfolk (2009: 131) merincikan tiga faktor
yang mempengaruhi siswa dalam menerapkan regulasi-diri (self-regulation), diantaranya: (1) faktor pengetahuan, (2) faktor
motivasi, (3) faktor disiplin-diri atau volition
(kemauan-diri). Faktor pengetahuan dalam menciptakan individu self-regulated mendalami peran diri
sendiri mengenali seluk-beluk pribadi akan ketertarikannya kepada konteks
pembelajaran. Faktor motivasi dapat menggerakkan siswa untuk lebih belajar giat
melalui cara menghargai pelajarn yang mereka sukai dan mendapatkan manfaat dari
ilmu yang disukainya tersebut sehingga siswa mampu memahami alasan tersendiri
mengapa ia harus belajar karena itu pilihannya sendiri. Faktor disiplin-diri
berasal dari kekuatan kemauan yang mana pada akhirnya menentukan komitmen siswa
dalam membentengi diri dari berbagai gangguan demi terwujudnya tujuan yang
telah ditetapkan.
Menurut Woolfolk (2009:
132), model pengembangan kompetensi siswa menggunakan pembelajaran self-regulated mengarahkan kapabilitas
siswa menata berbagai kemampuan belajar, motivasi, dan emosi dalam meraih
tujuan. Ia mengklasifikasikan fase-fase pada pembelajar self-regulated ke dalam
empat tahap: (1) menganalisis tugas, (2) menetapkan tujuan, (3) merancang
rencana, (4) menerapkan taktik dan strategi, (5) meregulasi pembelajaran.
Proses pembelajaran dengan menerapkan self-regulated mampu membuat daya
kognitif siswa menjadi lebih berkembang terhadap penyesuaian diri kondisi
lingkungan di sekitarnya.
Di lain pihak, Santrock
(2008: 296) menjelaskan bahwa setiap siswa bisa meregulasi diri sendiri cara
belajar dan berpikir mereka demi menetapkan atau merengkuh tujuan utama siswa
meraih prestasi yang tinggi dengan melakukan hal-hal berikut ini:
1. Mengevaluasi dan memonitor diri sendiri
2. Menentukan tujuan dan perencanaan strategis
3. Melaksanakan rencana dan memonitornya
4. Memonitor hasil dan memperbaiki strategi
.
II.
HAKIKAT
TEORI KONSTRUKTIVISME
A.
Teori
Konstruktivisme
Pandangan
konstruktivisme dilandasi oleh para pemikir seperti Piaget, Vygotsky, dan
Brunner (Woolfolk, 2009:145). Konstruktivisme merupakan sebuah pandangan dimana
pelajar lebih aktif pada proses pembelajaran dalam membangun pemahaman dan
memahami informasi. (Jamaris, 2010:207). Konstruktivisme dikenal sebagai
pendekatan dalam psikologi yang memandang bahwa anak dapat membangun pemahaman
serta pengetahuan mereka sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membelajarkan dirinya sendiri melalui berbagai pengalaman yang telah
dimilikinya (Woolfolk,2009:145).
Penerapan teori konstruktivisme memandang
bahwa belajar bukan hanya sekadar menerima secara pasif informasi yang
disampaikan oleh guru. Sehingga bentuk pembelajaran berupa pengonstruksian
pengetahuan yang bersifat aktif dan personal. Sebagai contoh, ada seorang anak
dengan ayahnya sedang berjalan-jalan di sepanjang pantai. Kemudian sang anak
menemukan kulit kerang abalone dan
secara aktif bertanya mengenai abalone
pada ayahnya. Dalam pandangan konstruktivisme hal yang dilakukan anak tersebut
merupakan pengetahuan yang sedang dikonstruksikan tentang makhluk-makhluk laut
dan kegunaanya. Berdasarkan hal tersebut maka pembelajaran menurut
konstruktivisme mendorong siswa dalam menggunakan pengalaman dan pengetahuannya
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dan selanjutnya siswa dapat membangun
pengetahuannya sendiri sebagai hasil daripemahamannya terhadapa masalah yang
sedang dihadapinya.
Pendekatan konstruktivisme ini dapat
diaplikasikan pada bidang pendidikan seperti sains dan matematika, psikologi
dan antropologi, serta komputer. Untuk lebih mempermudah mengorganisasikan
tentang pandangan-pandangan konstruktivisme, maka konstruktivisme dibagi
menjadi dua yakni konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme sosial.
Para konstrukivis memiliki tujuan
pembelajaran yang hampir mirip. Mereka lebih menekankan bahwa belajar guna
mendapatkan pengetahuan yang kemudian digunakan daripada disimpan sebagai
konspe atau keterampian yang tidak diaktifkan. Mereka berpendapat tujuan
pembelajaran juga termasuk mengembangkan kemampuan untuk menemukan dan
mengatasi masalah-masalah yang rumit yang membutuhkan pemikiran kritis, self
determinatiaon dan keterbukaan terhadap berbagai macam perspektif (Driscoll,
2005 dalam Woolfolk, 2009:151)
B.
Konstruktivisme
kognitif
Konstruktivisme kognitif memfokuskan
pada kehidupan psikologis dalam diri seseorang. Konstruktivisme kognitif
menekankan pada proses kognitif dimana dalam pembelajaran, individu belajar
memahami sesuai dengan tahap perkembangan kognitif dan cara belajarnya.
Pendekata konstruktivisme juga menggunakan teori pemrosesan informasi yang
bersifat konstruktivis. Pendekatan pemrosesan informasi tentang pembelajaran
menganggap bahwa pikiran manusia sebagai
sebuah sistem pemroses simbol. Sistem ini mengonversi input sensorik menjadi
struktur simbol (proposisi, gambaran, atau skema), dan kemudian memproses
dengan cara me-rehearse ata mengelaborasi struktur simbol itu sehingga
pengetahuan dapat disimpan dalam ingatan dan di –retrieve.
C.
Konstruktivisme
Sosial
Kosntruktivisme sosial lebih
menekankan proses dalam memaknai dan memahami sesuatu dengan bantuan
orang-orang di sekitar individu. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial,
perangkat kultural, dan aktivitas menentukan perkembangan dan pembelajaran
individual sama seperti cerita seorang anak yang sedang di pantai bersama
ayahnya di atas. Dengan cara melakukan aktivitas bersama orang lain, pembelajar
appropiate
(mengaprosiasikan), menginternalisasikan atau mengambil untuk dirinya
sendiri produk-produk yang dihasilkan dengan cara bekerja bersama-sama. Hasil
yang didapatkan dapat berupa strategi maupun pengetahuan baru. Teori
konstruktivisme sosial ini banyak menyandarkan diri pada interaksi sosial dan
konteks kultural. Vygotsky juga memberikan pandangan mengenai konstruktivisme
sosial ini. Salah satu keunggulan teori pembelajarannya yakni cara belajar yang
mempertimbangkan psikologis maupun sosial. Kosnep pembelajaran Vygotsky yang
terkenal adalah Zone of Proximal Development dan scaffolding (Woolfolk,
2009:147). Salah satu cara untuk memasukkan konstruktivisme ke dalam individual
dan sosial adalah dengan “memikirkan
pengetahuan yang dikonstruksikan secara individual dan di mediasi secara sosial”
(Windschitlt, 2002 dalam Woolfolk, 2009:148)
D.
Dimensi-dimensi
penagajaran konstruktivisme
Untuk lebih memahami pelaksanaan
pembelajaran konstruktivisme, berikut ada beberapa prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan dalam mengaplikasikan pengajaran konstruktivisme.
1. Lingkungan pembelajaran
yang kompleks dan tugas-tugas yang autentik.
Para kosntruktivis meyakini bahwasiswa seharusnya tidak diberikan masalah atau
soal-soal yang sederhana dengan diajari keterampilan-keterampilan dasar, tetapi
harus dihadapkan pada lingkungan
pembelajaran yang kompleks. Dengan hal ini sekolah seharusnya memastika setiap siswa memiliki pengalaman untuk
menyelesaikan yang kompleks. Berkaitan dengan pandangan konstruktivisme
terhadap kemampuan siswa dalam membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri
maka, penggunaan kurikulum yang standar perlu dihindari. Oleh karena it hendak
nya kurukulum dikembangkan berdasarkan pengetahuan aktual yang dimiliki siswa..
2. Negosiasi sosial.
Bentuk kolaborasi sosial dianggap penting dalam konstruktivisme. Language
Development and Hypermedia group mengatakan “tujuan utama pengajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa unuk
menegakkan dan mempertahankan pendapatnya” Woolfolk, 2009:152) akan tetapi
tetap menjaga dan menghormati pendapat orang lain. Sehingga tetapi bisa
bekerjasama untuk menegosiasi dan mengonstruksikan makna. Untuk dapat
terlaksana, maka siswa harus bertukar pendapat dengan cara berbicara dan
mendengarkan (diskusi).
3. Banyak perspektif dan
representasi isi. Pemebalajaran konstruktivis ini
mengaharapka siswa akan lebih memilki pandangan yang lebih luas. Ketika mereka
menyelesaikan maslaah, maka siswa bisa menyediakan multiple representations of
content dengan menggunakan berbagai macam analogi, contoh, dan
metafora.
4. Memahami proses
pengonstruksian pengetahuan. Pendekatan konstruktivis
menekankan kesadaran siswa akan peran mereaka sendiri dalam mengonstruksikan
pengetahuan (cunningham, 19912 dalam Woolfolk, 2009:153). Tentu saja hal ini
harus diddukung dengan asumsi, keyakinan serta pengalaman siswa yang nantinya
akan menentukan mereka mengetahui tentang susatu hal di dunia ini.
5. Rasa memiliki
pembelajaran. Rasa memiliki pada diri siswa bukan
berati guru mengabaikan tanggung jawab mereka dalam tugas mengajar. dalam ini
siswa diharapkan memiliki kesadaran bahwa setiap proses pembelajaran bisa
menjadi miliki mereka (ownership of
learning).
E.
Implikasi
Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Pandangan konstruktivis lebih menekankan
pada siswa mencari dan membangun penegtahuannya sendiri berdasarakan pengalaman
mereka, maka berikut penerapan teori konstruktime dalam pembelajaran.
Pertama,
guru menerapkan metode Vygotsky berupa ZDP mupun scaffolding. Guru memberikan
proses bimbingan pada siswa berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah
mereka miliki terhadap apa yang harus diketahuinya. Pada saat mengembangkan
keterampilan siswa, maka guru hatrus mempertimbangkan aspek-aspek seperti;
keterampilan yang belum dikuasi siswa, keterampilan yang tidak dapat dilakukan
siswa, keterampilan yang mungkin dapat dilakukan siswa, serta keterampilan yang
dapat dilakukan siswa dengan bantuan
orang lain. Guru bisa mendorong siswa agar menegmukakan pengetahuan tentang
konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru dapat memnacing dengan pertanyaan
secara open-ended.
Kedua,
guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelidiki dan menemukan konsep
melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprerasian data dalam suatu
kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Hal ini akan memunculkan rasa ingin
tahu siswa tentang pengetahuan baru.
Ketiga,
siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkanpada hasil observasi
siswa sendiri, ditambah dengan penguatan yang diberikan oleh guru. Selanjutnya,
siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
Keempat,
guru berusaha menciptakan lingkungan belajar yang
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konspetualnya, baik melalui
kegiatan maupun dengan pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu
di lingkungan siswa tersebut.
Berikut adalah contoh penerapan
pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran.
Glosarium
Determinisme Resiprokal: Istilah yang merujuk kepada adanya pengaruh timbal balik
kuat dari faktor-faktor perilaku, personal, lingkungan yang saling berhubungan.
Retensi: proses di
mana informasi yang diperoleh dari observasi dapat digunakan atau bisa bermanfaat
di saat ia membutuhkan informasi tersebut
Self-Efficacy: keyakinan seseorang akan
kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu
Mastery Experience: Sumber keyakian yang berasal dari pengalaman langsung
individu dalam proses memperoleh pengetahuan.
Vicarious Experience: proses pencapaian pengetahuan dengan cara melihat pengalaman
orang lain sebagai model penyelesaian persoalan.
Social Persuasion: kemampuan yang dikerahkan sebagai bentuk upaya memperoleh
timbal balik atas hasil kinerja individu demi mencapai kesuksesan.
Self-Regulated:
proses dalam pembelajaran yang digunakan untuk
mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi individu dalm
menggapai tujuan tertentu.
Appropiate
: (mengapropriasikan) menginternalisasikan atau mengambil untuk diri
pengetahuan dan keterampilan yang dikemabangkan dalam interaksi dengan orang
lain atau dengan alat-alat budaya.
Multiple
representations of content : Mempertimbangkan
berbagai masalah dengan menggunakan berbagai analogi, contoh dan metafora.
Retrieval
: proses mencari dan menemukan informasi dalam ingatan jangka panjang.
Scaffolding
: (perancah) dukungan untuk belajar dan problem solving. Dukungan itu dapat
berupapetunjuk, pengingat, memberi semangat, memecah masalah menjadi
langkah-langkah, memberika contoh, atau hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh
sebagai pembelajar yang mandiri.
Zone of Proximal
Development : (zona perkembangan proksimal) Fase
perkembangan seorang anak yang dapat menguasai sebuah tugas bila diberi banuan
dan dukungan yang tepat guna.
DAFTAR
PUSTAKA
Jamaris, Martini. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Yayasan Penamas Murni.
Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology Bagian Kedua (
edisi terjemahan). Yogyakarta:Pustaka Belajar.
Santrock,
John W. 2008. Psikologi Pendidikan,
Edisi Kedua. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar