Kamis, 20 November 2014

ANALISIS INTERTEKSTUAL DAN SASTRA BANDINGAN



Makalah Kelompok 11
ANALISIS INTERTEKSTUAL DAN SASTRA BANDINGAN


Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA



Oleh :
Harjon Basri                          (No. Reg 7316130263)
                        Muhammad Jabal An Nur  (No. Reg 7316130273)






Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sastra telah menjadi bagian dari peradaban manusia sejak manusia hidup di muka bumi. Sastra mewakili peradaban, budaya, serta adat yang diyakini oleh masyarakat sejak dahulu. Pengalaman budaya yang kita anut sekarang merupakan cerminan dari pemahaman budaya yang nenek luhur kita telah anut dalam waktu yang cukup lama.
Sama halnya dengan budaya sekarang yang merupakan cerminan masa lalu atau perwakilan budaya masa lalu karya sastra yang lahir saat ini yang menganut berbagai macam aliran juga tak lepas dari adanya pengaruh dari karya sastra sebelumya. Untuk memperkaya makna serta pemahaman tentang karya sastra itu sendiri tentunya mengaitkan hubungan dengan karya sastra terdahulu dengan yang sekarang ataupun bahkan dengan bangsa lain merupakan hal yang penting dalam memahami pesan yang terkandung dalam teks sastra yang bersnagkutan.
Teori sastra bandingan dan intertekstual merupakan analisis sastra yang mencoba membantu dalam memahami makna antar teks lintas generasi, waktu, geografis, budaya, dan berbagai paham masyarakat lainnya.



BAB II
ISI
           
A.   Pengertian Teori Interteks
Interteks berasal dari akar kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di) antara, dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks ‘intra’, ‘trans’, dan ‘para’. Teks, barasal  dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Dengan demikian, intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya[1].
Rohman mendefenisikan metode intertektual sebagai teknik mengolah dua objek kajian yang dilandasi pada asumsi adanya keterpengaruhan[2]. Dasar asumsinya bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya.  Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema ,bentuk, aliran, ideologi , dan lain-lain.
Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal berikut:
1.    Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan asumsi ada satu karya yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi Djoko Damono dianggap mamperoleh pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk. Novel berjuta -  juta dari Deli (2006) karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max Havelaar (1856) Karya Multatuli.
2.    Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak memilikin pengaruh, tetapi bisa jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme alam. Sebagai contoh, cerita rakyat Dayang Sumbi tidak memiliki kejelasan pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya sama. Dua cerita itu sama-sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi ibunya. Dua cerita itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa saja terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara langsung [3].
Julia Kristeva yang dikutip Junus menyatakan munculnya interteks sebenarnya dipengaruhi  oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Jika kemungkinan unsur yang masuk itu banyak, berarti telah terjadi resepsi yang berarti. Jika dalam suatu teks terdapat teks lain berarti teks sastra tersebut disebut karnaval.  Teks yang lahir kemudian hanya mosaik karya sebelumnya. Mosaik tersebut ibarat bahan yang terpecah-pecah, terpencar-pencar, sehingga pengarang berikutnya sering harus menata ulang ke dalam karyanya. Dari ini akan tercipta sebuah karya yang merupakan transformasi karya lain[4].
Dari pendapat demikian, Culler, menyimpulkan bahwa studi intertekstualitas akan membawa peneliti memandang teks-teks pendahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signification, yaitu pemaknaan yang bermacam-macam. Melalui pemaknaan yang bermacam-macam, akan ditemukan makna yang asli. Pada saat itu pula teks asli akan diketemukan. Yakni, teks yang kurang lebih disebut orisinil. Kendati istilah orisinil ini masih mengundang perdebatan, karena hampir tak mungkin karya satra yang “bebas” dari karya orang lain. Namun demikian, melalui studi interteks, setidaknya peneliti akan mampu memilih dan memilahkan, mana karya yang paling dekat dengan karya asli dan mana yang telah bergeser[5].
Penelitian intertekstual tersebut, sebenarnya merupakan pemahaman sastra sebagai sebuah “presupposition”. Yakni, sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Perkiraan ini, tentu ada yang tepat dan ada yang meleset, tegantung kejelian peneliti. Namun hal demikian diakui oleh Roland Barthes (Endraswara: 133), bahwa dalam diri dia sesungguhnya telah penuh dengan teks-teks lain. Dalam diri pengarang penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap dalam karyanya banyak memuat teks lain, mamang akan kehilangan orisinilnya[6].
Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Interteks memang lebih sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan gerakan peneliti baik klasik maupun modern, yang selalu berhubungan dengan teks sastra, satra bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan dapat melebar ke arah bandingan antara sastra dengan bidang lain yang mungkin (di luar sastra) (Endraswara: 130)[7].
Seperti di atas, tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya suatu karya seni diciptakan ke dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Karya seperti ini, kalau memang ada, justru tidak akan dapat dipahami. Teori intertekstual dalam kaitannya dengan teks formal dapat mengidentifikasi lautan teks, memasukannya dalam peta pemahaman sehingga menghasilkan karya yang baru. Karya yang dihasilkan, oleh Kristeva disebut sebagai mosaik kutipan. Teori interteks, dengan menganggap bahwa segala sesuatu adalah teks, sebagai teks informal, maka teori interteks menembus sekat pemisah antar disiplin sehingga berbagai ilmu merupakan objek bagi ilmu yang bersangkutan[8].
Karya sastra mengambil objeknya dari seni lukis, seni bangunan, seni tari, kepercayaan kuno, adat istiadat, dan sebagainya. Sebaliknya, seni lukis, seni tari, seni bangunan dapat mengambil sumbernya dalam seni sastra. Interteks membangun jaringan baru yang selama ini terpecah-pecah, mengembalikan yang terdegradasi, yang terpinggirkan, dan terlupakan, mengembalikan objek yang kurang bermakna menjadi bermakna. Dalam interteks, sebagaimana dipahami dalam teori postrukturalisme, tidak ada makna yang asli, makna tidak melekat dalam objek, pada gilirannya semua objek menjadi bermakna sebab makna diperoleh melalui perluasan, penggantian, dan pembaharuan dalam arti seluas-luasnya[9].
Teori interteks penting dalam memahami sastra. Pada saat sesorang memahami karya sastra, menyusun parodi atau ironi, maka ia harus menginterpretasikan sekaligus bergerak ke level lain, bahkan ke genre yang sama sekali baru. Hubungan dengan interpretasi terjadi sebagai sebab akibat keharusan kontekstual yaitu dengan hadirnya pola-pola kultural masa lampau yang tersimpan selama proses pembacaan sebelumnya. Interteks dalam hubungan ini berfungsi untuk membangkitkan memori. Bergerak ketataran lain dimungkinkan dengan adanya energy kreatifitas, karya seni tidak pernah melukiskan suatu obyek yang sama dengan cara yang persis sama. Perbedaan yang dimaksud dilakukan melalui bahasa (dalam karya sastra), garis dan warna (dalam lukisan), susunan nada  (dalam seni suara), gaya (dalam seni bangunan), dan dan sebagainya (Ratna: 214-215)[10].
Munculnya interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena yang senada akan memiliki sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara cermat satu sama lain[11].
Identifikasi terhadap teks dan interteks didasarkan atas pemahaman bahwa karya sastra adalah gejala kedua setelah bahasa. Teks  yang baru dibangun atas dasar teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu peta umum dalam proses pembacaan. Dalam interteks dibedakan antara kutipan, kerangka pemikiran, dan tiruan khususnya dengan plagiat. Lokus makna dan dengan demikian berbagai defenisi yang berkaitan dengan nilai, didasarkan atas kemampuan dalam menemukan orisinilitas, sehingga karya benar-benar berbeda dengan karya terdahulu[12]. Dalam kerangka teori interteks, menurut Kristeva, dikutip oleh Culler setiap teks harus dibaca dengan latar belakang dengan teks lain, dengan kalimat lain, tidak ada satu teks pun yang benar-benar mandiri[13].
Teori tidak terbatas dimanfaatkan pada disiplin tertentu. Benar, interteks lahir dalam bidang sastra, sebagaimana teori yang lain, seperti strukturalisme, teori interteks juga juga dapat dimanfaatkan dalam seni lukis, seni tari, dan seni bangunan, termasuk studi kultural pada umumnya. Proses peniruan tidak harus berarti plagiat. Peniruan dalam dalam proses kreatif berarti meberikan muatan, arti, dan makna yang baru. Justru dalam proses peniruan inilah terkandung kreatifitas. Proses peniruan dalam teori kontemporer jalas sangat berbeda, bahkan berlawanan secara diametral dengan pengertian tradisional, seperti dalam bidang filologi dan maasyarakat sehari-hari. Seperti disinggung di atas, peniruan dalam interteks adalah proses identifikasi objek kedalam level yang lebih tinggi sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru, seolah-olah dilihat untuk pertama kali (Ratna: 215)[14].
Masalah lain yang perlu ditegaskan dalam teori interteks adalah kesadaran bahwa tiruan tidak harus lebih rendah mutunya dibandingkan dengan keaslian. Penolakan terhadap tiruan dan objek lain yang dikaegorikan sebagai ‘tidak asli’ sebagian atau seluruhnya diakibatkan oleh adanya oposisi biner, dengan konsekuensi logis salah satu diantaranya dianggap sebagai inferior. Demikian pula halnya karya-karya yang dianggap sebagai bersumber dari karya lain, termasuk terjamahan, salinan, saduran, dan berbagai bentuk modifikasi yang lain secara apriori dikategorikan sebagai bermutu lebih rendah. Teori kontemporer, misalnya, dengan memanfaatkan konsep perbedaan (differance) Derridean, memandang kedua aspek sebagai memiliki dua aspek yang sejajar, tergantung dari sudut mana melihatnya, untuk keperluan apa aspek tersebut dibicarakan[15].
Dalam praktik analisis interteks perlu dibedakan pengertian antara naskah, teks, dan wacana. Menurut Barthes (Ratna, 212-213) naskah atau karya adalah bahan kasar seperti bentuk buku, lontar, disket, dan bentuk-bentuk yang dapat ditaruh di rak buku. Naskah atau karya merupakan objek studi filologi. Teks dan wacana pada umumnya merupakan sinonim. Meskipun demikian, menurut Barthes, teks hanya eksis melalui wacana. Secara praktis, teks digunakan dalam bidang sastra, wacana dalam bidang linguistik.  Masyarakat luas lebih mengenal istilah wacana (diskursus)[16].

B.   Prinsip-prinsip Intertekstual
Interteks mengimplikasikan intersubjektifitas, pengetahuan terbagi yang diaplikasikan dalam proses membaca. Menurut para strukturalis, Culler  menyatakan ada beberapa konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara maksimal. Konsep-konsep yang dimaksud, diantaranya:
1.    Recuperation (prinsip penemuan kembali),
2.    Naturalization (prinsip untuk membuat yang semula asing menjadi biasa),
3.    Motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak tidak arbitrer atau tidak koheren),
4.    Vriasemblation, (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain)[17].
Todorov menunjukkan tiga model hubungan teks dalam kaitannya dengan cirri-ciri vriasemblation, yaitu:
a.    Sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di masyarakat, yang disebut opini umum,
b.    Hubungan teks dengan genre tertentu,
c.    Kedok yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkannya untuk menghubungkannya dengan realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri[18].
Senada dengan Todorov, Culler menjalaskan bahwa vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori interteks. Culler kemudian memberikan lima tingkat vriasemlations, lima cara untuk menghubungkan teks dengan teks lain sehingga dapat dimengerti, teks-teks yang dimaksudkan yaitu:
a.    Teks yang diambil langsung dari dunia nyata,
b.    Teks cultural general, teks dunia nyata itu sendiri tetapi dalam kerangka dan tunduk terhadap pola-pola kebudayaan tertentu,,
c.    Teks sebagai konvensi genre, sebagai teks artifisial literal sehingga terjadi perjanjian antara penulis dan pembaca,
d.    Teks yang dikutip baik secara implisit maupun eksplisit dari genre-genre di atas, dengaan menambah otoritas makna dan kulitas otoritasnya, dan
e.    Interekstual secara khusus, yaitu dengan mengambil teks sebagai dasar dan titik pijak proses kreatif, misalnya, teks sebagai parodi dan ironi[19].
Vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam interteks. Vriasemlation memberikan intensitas pada model-model kultural sebagai sumber makna dan koherensi. Puisi-puisi kontemporer seperti karangan Sutardji, dapat dibaca dan dimengerti dengan menemukan kembali, menaturalisasikan, menyesuaikan, dan mengintegrasikan .
Teori interteks disatu pihak memiliki kaitan dengan pastiche, karya yang disusun atas dasar adaptasi dan persamaan-persamaannya di masa lampau, bricolage, tranformasi material melalui komposisi. Interteks juga memiliki kaitan dengan konsep Baudrillard, simulasi, yang suatu proses menciptakan bentuk-bentuk yang baru tetapi bentuk asli  tetapi bentuk aslinya tidak pernah ada. Hasilnya disebut simulacrum. Dipihak yang lain, interteks memiliki kaitan erat dengan prisip-prinsip dialogis yang dikembangkan oleh Bakhtin. Dalam hubungan ini, Bakhtin mengembangkan teorinya melalui orang lain pada umumnya menurut preposisi Meadean, bukan ego-id Freud.
Untuk menjelaskan makna dialogis, Bakhtin (Ratna: 217) menawarkan istilah polifoni (suara rangkap) yang diambil dalam dunia musik.  Denagn menggunakan ‘orang lain pada umumnya’,  maka subyek kreator mangarang bukan semata-mata atas dasar kesadaran psikologis, malainkan karena hasrat untuk tampil di luar diri, yang disebut dengan gagasan exotopy. Karya sastra dengan demikian bukanlah flksi biografis, malainkan dialogis[20]. Karya seni diciptakan oleh karena pengarang ingin berkomunikasi dan berbagi pengalaman dengan pembaca. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa studi biografi tidak bermanfaat dalam memahami karya sastra secara keseluruhan. Artinya, fungsi biografi terbatas sebagai latar balakang proses penciptaan, bukan untuk menemukan nilai-nilai karya yang sesungguhnya[21].
Sumbangan teori dialogis poliffoni adalah representasi suara yang didengarkan secara simultan, sebagai kompsisi musikal, yang dengan sendirinya bersifat independen terhadap intensi-intensi pengarang. Menurut Bakhtin yang dikutip Todorov menyatakan dialogis polifoni mempunyai kekuatan besar sebab hanya melalui penglihatan orang lain, dalam kerangka subjek transindividual kebudayaan yang terisolasi dapat dijelaskan secara lebih luas dan mendalam[22].
C.   Asumsi-Asumsi Dalam Interteks
Studi interteks menurut Flow) didasarkan beberapa asumsi kritis:
1.    Konsep interteks menurut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan sejarah teks,
2.    Teks tak hanya struktur yang ada, tetapi tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,
3.    Ketidak hadiran struktur teks dalam rentang  teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan,
4.    Bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit. Teks boleh saja diciptakan ke bentuk lain; di luar norma ideologi dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain,
5.    Hubungan teks yang satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga  sering terjadi penghilangan-penghilangan bagian tertentu,
6.    Pengaruh mediasi dalam interteks sering memepengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,
7.    Dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi,
8.    Analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh[23].
Jika dicermati dari asumsi di atas, penelitian interteks semula memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama resepsi teks. Asumsi paham ineterteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain. Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya. Hanya saja, terjadi interteks tergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebakliknya memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya.
Pemerhati interteks dan sastra perbandinngan sebenarnya kurang lebih sama. Baik interteks maupun sastra perbandingan, sebernarnya ingin melacak orisinalitas sebuah teks sastra. Jika karya sastra semakin tidak memuat teks lain, berarti fungsi kreativitas sangat tinggi. Pencipta telah memanfaatkan kemampuan berkreasi sehingga seakan-akan tak ada teks lain yang muncul di dalamnya. Namun, jika peneliti interteks dan atau sastra perbandingan sangat jeli, apa yang disembunyikan pencipta atas teks lain sering terungkap[24].

D.   Pokok Kajian Intertekstual
Kajian satra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Menurut  Riffartere (Endraswara: 132) hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya[25]. Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya.
Hipogram dan transformasi ini akan jalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan ”induk” yang akan menetaskan karya-karya baru. Dalam hal ini, peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya “induk” dengan karya baru. Namun, tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua lebih hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreatifitas pengarang[26].
Menurut Pradopo prinsip dasar intertekstualitas (Endraswara: 133) adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikutnya adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangan sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri[27].
Dengan adanya sumber tertentu yang dimanfaatkan dalam proses interteks, maka konsep yang dianggap penting adalah hipogram. Riffaterre mendefenisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Hipogram mungkin kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Hipogram memiliki hubungan dengan anagram dan paragram menurut pemahaman Saussure. Perbedaannya, apabila paragram memiliki cirri-ciri leksikal dan grafemis, sebaliknya hipogram adalah kata-kata yang terikat dalam kalimat yang secara organisatoris merefleksikan prasyarat matriks kara-kata inti.
Pengarang, baik secara sadar atau tidak menggunakan hypogram untuk matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model atau serial varian. Menurut Riffaterre, matriks, model, dan teks adalah varian hipogram[28]. Dalam studi kultural teori interteks jelas berfungasi untuk mengevokasi keberagaman kultural. Sebagai mosaik, maka kutipan adalah pesan tertentu. Objek, yaitu kutipan itu sendiri yang mengarahkan aktifitas subyek[29].

Hipogram karya sastra akan meliputi:
1.    Ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya,
2.    Konversi adalah pemutarbalikkan hipogram atau matriknya,
3.    Modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan cerita sama,
4.    Ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika penulis belum biasa membandingkan karya[30].
Dari penelitian interteks, akan terlihat lebih jauh bahwa karya berikutnya merupakan respon pada karya-karya sebelumnya. Karenanya, Cortius menyatakan bahwa karya sastra adalah barisan teks atau himpunan teks. Penampilan teks pada teks lain tersebut dapat dirumuskansebagai berikut:
a.    Kehadiran teks secara fisik suatu teks dalam teks yang lainnya,
b.    Kehadiran teks pada teks lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan tradisi, sehingga pencipta sesudahnya jelas telah membaca karya sebelumnya[31].
Kehadiran teks lain pada suatu teks, akan mewarnai teks baru tersebut. Dalam kaitan ini, Riffaterre menyatakan bahwa karya sastra (sajak) biasanya baru  bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Hal ini menyugestikan bahwa karya sastra yang lahir kemudian, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Karya sastra yang lahir berikutnya merupakan “pantulan” karya sebelumnya. Pantulan tersebut dapat langsung maupun tidak langsung. Jika pantulan itu langsung, tentu karya tersebut memiliki hubungan interteks yang sangat tajam. Senbaliknya, jika pengaruh tersebut tidak langsung akan menimbulkan hubungan interteks yang halus. Hubungan interteks yang pertama, akan mudah diketahui siapa saja yang telah membaca beberapa karya. Sedangkan interteks yang kedua, tentu menbutuhkan kejelian membaca untuk mengetahuinya[32].
E.   Fokus Penelitian Interteks
Secara garis besar, penelitian intertekstual memiliki dua fokus:
1.    Meminta perhatian kita tentang pentingnya teks terdahulu (prior teks). Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan terlebih dahulu oleh pengarang lain.
2.    Intertekstual akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang  memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi.
Dari dua focus ini, tampak bahwa karya sastra sebelumnya banyak berperan dalam penciptaan. Bahkan Barthes berpendapat, karya sastra yang anonim sekalipun kadang-kadang akan mewarnai penciptaan karya selanjutnya (Endraswara: 134)[33].
Hubungan intertekstual tersebut ternyata tidak hanya pada karya satra yang satu bahasa. Interteks dapat melebar atau meluas ke sastra lain. Yang penting, asalkan pengarang menguasai bahasa karya sastra lain, akan terjadi interteks. Kini tugas peneliti menemukan presupposition. Mungkin saja pengarang sangat halus menyembunyikan presupposition sehingga menbutuhkan tafsir yang meyakinkan. Presupposition sebenarnya merupakan perkiraan “tanda” terjadi transformasi taks.  Tanda”  ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu;

1.    Presupposition logis, biasanya tampak pada pemikiran pengarang dalam kalimat atau pun dalam kata-kata tertentu. Kalimat atau kata tersebut jika dihadirkan secara eksplisit tentu tidak masalah. Namun, jika pencipta berikutnya sangat samar-samar, peneliti harus mampu manafsirkan. Misalkan, “berapa lama kau menghuni teralis besi?”, ini berarti presupposition-nya merujuk pada narapidana.
2.    Presupposition pragmatis, yaitu tidak lagi bertolak dari relassi antar kalimat dan kata, malainkan antar ucapan dan ungkapan. Dalam karya sastra, mungkin berupa special kind of speech act dan juga special words. Misalkan saja, “buka pintu”, bisa hadir presupposition permohonan dan perintah[34].

A.   Defenisi Sastra Bandingan
Sastra bandingan dianggap pertama kali dikenalkan oleh Noel dan Laplace meskipun keduanya pada saat itu masih ragu menggunkaan istilah sastra bandingan sehingga pada akhirnya dilupakan oleh banyak orang.
Namun pada akhirnya istilah sastra bandingan diperenalkan kembali secara luas oleh Abel Francois Villemain dan Ampere yang dikenal juga sebagai “bapak” sastra bandingan dan mulai pesat perkembangannya pada tahun 1970-an.          
Sastra bandingan merupakan kritik sastra yang mengkaji tentang hubungan karya sastra dengan karya sastra yang lain baik dari segi penulisan, sejarah, maupun karakternya.
Sastra bandingan mengkaji pada umumnya mengkaji kepada dua hal yaitu tempat dan waktu. Menurut Suwardi “sastra bandingan adalah studi teks across cultural. studi ini merupakan upaya interdisipliner yaitu lebih banyak mengkaji sastar menurut aspek waktu dan tempat”[35]
Sastra bandingan juga digunakan untuk mengebangkan karya sastra itu sendiri dengan melihat kajian teksnya sehingga hubungan antara sastra yang dibandingkan dapat dianalisa.
Menuut Benecto Crose dalam Suwardi “studi sastra bandingan adalah kajian yang berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), alternation, (penggantian), pengembangan (development), dan perbedaan timbal balik diantara dua arya atau lebih”.[36] 
B.   Ruang Lingkup
Sastra bandingan berdsarkan defenisinya mengkaji satra lintas budaya. Maka dari itu ada beberapa istilah yang dapat digunakan sebelum mengkaji atau membandingkan karya sastra itu sendiri.
Sastra nasional dan sastra dunia merupakan salah satu contoh pengkategorian karya sastra berdasrkan tempatnya. Sastra nasional dapat diartikan sebagai sastra yang menjadi milik dari suatu bangsa tertentu. Menurut suwardi “sastra nasional adalah sastra yang secara umum menjadi milik bangsa”.[37]
Sastra dunia dalam hal ini berbeda dengan sastra nasional jika sastra nasional hanya terbatas pada wilayah satu bangsa tertentu sastra dunia diakui beberapa bangsa atau diakui dunia. Karya sastra dunia banyak diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa lain dibelahan dunia karena umunya karya ini bersifat masterpiece.
sastra bandingan pada umumnya mengkaji dua hal yaitu persamaan atau paralelisme antara satu teks dengan yang lain dan pegaruh karya sastra terhadap karya sastra yang lain.
Sastra bandingan dapat digolongkan kedalam empat bagian utama yaitu :
1.  Kajian yang bersifat komparatif, kajian yang mengkaji antara satu teks dengan teks yang lain. Nama pengarang, tahun penerbitan, lokasi, dan hal lainnya merupakan kajian dalam bidang ini.
2.  Kajian bandingan historis, yaitu ingin melihat nilai-nilai historis yang melatar belakangi munculnya suatu karya sastra.
3.  Kajian teoritik, yaitu membandingkan karya sastra berdasarkan genre, aliran dalam sastra, tema, kritik sastra, dsb.
4.  Kajian antar disiplin ilmu, yaitu bandingan karya sastra dengan bidang lain misalnya politik, agama, budaya, seni, dan sebagainya.
Menurut Baribin dalam Suwardi terdapat tiga lingkup karya sastra yaitu:
1.    Bandingan sastra lisan, yaitu untuk membandingkan cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana dan kapan cerita rakyat itu masuk ke dalam karya sastra yang lebih artistik.
2.  Bandingan sastra tulis, yaitu menyangkut misalnya sastra Indonesia mdern dan klasik.
3.  Bandingan dalam kerangka supranasiona, yaitu perbandingan kajian sastra teoritik dan sejarah sastra.
Dari ruang lingkup yang telah dipaparkan diatas dapat dikatakan bahwa ruang lingkup perbandingan karya sastra pada dasarnya mengkaji dua hal yaitu persamaan ataupun perbedaan diantara sastra yang dikaji dan pengaruh antara karya sastra tersebut.

C.   Metodologi
Dalam perbandingan karya sastra tidak hanya terikat pada satu daerah dengan daerah lainnya namun juga dengan satu negara dengan dengan negara lainnya.
Perbandingan sastra juga mengkaji karya sastra lintas waktu yaitu karya sastra pada terbuat pada saat ini dengan karya sastra yang dibuat pada waktu yang terdahulu atau sering diistilahkan dengan analisis sastra diakronik. Namun perbandingan sastra dalam era waktu yang sama juga bisa dikaji atau yang sering disebut dengan kajian sinkronik.
Dalam memandingkan karya sastra baik secara sinkronis dan diakronis terdapat beberapa hal yang harus dipahami mengapa suatu karya bisa berbeda atau sama dan bahkan saling memepengaruhi satu sama lain.
Dalam mengkaji karya sastra ada beberpa istilah yang penting yang harus dipahami untuk membantu menganalisa karya sastra bandingan antara lain:
1.    Transformasi, perubahan atau pemindahan karya sastra dari waktu ke waktu.
2.    Terjemahan, yaitu suatu proses tradisi memindahkan atau mengalihkan bahasa yang memungkinkan terjadinya perubahan bentuk teks baik tambahan ataupun pengurangan.
3.    Peniruan,yaitu proses kreatif pengarang berikutnya dengan cara meniru baik sebagian ataupun keseluruhan terhadap karya sebelumnya
4.    Kecenderungan, yaitu tradisi yang memuat kemiripan antara karya sebelumnya dan sesudahnya.












BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Penelitian intertekstual sebenarnya merupakan pemahaman sastra sebagai sebuah “presupposition”. Yakni, sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Perkiraan ini, tentu ada yang tepat dan ada yang meleset, tegantung kejelian peneliti. Dalam diri penulis sesungguhnya telah penuh dengan teks-teks lain, penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jadi, tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya
Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Interteks memang lebih sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan gerakan peneliti baik klasik maupun modern, yang selalu berhubungan dengan teks sastra, satra bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan dapat melebar kearah bandingan antara sastra dengan bidang lain yang mungkin (di luar sastra).
Munculnya interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena yang senada akan memiliki sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara cermat satu sama lain
















                   


REFERENSI

Endraswara, Suwardi. 2002. Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: CAPS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007.Teori, Metode, dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rohman, Saifur. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media














[1] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h 211-212.
[2]  Saifur Rohman, Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h 84-85.
[3] Ibid.
[4] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002), h.132.
[5] ibid.
[6] ibid
[7] ibid
[8] Nyoman Kutha Ratna, op.cit. h  216.
[9] ibid
[10] ibid
[11] Suwandi Endraswara, Op. cit. h 130.
[12] Nyoman Kutha Ratna, op. cit, 112
[13] ibid
[14]ibid
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18]ibid
[19] ibid
[20] ibid
[21]ibid
[22] ibid
[23] Suwardi Endraswara, op. cit, h 131
[24] ibid
[25] ibid
[26] ibid
[27] ibid
[28] Nyoman Kutha Ratna, op. cit, h 217
[29] ibid
[30] Suwardi Endraswara, lok. cit
[31] ibid
[32] ibid
[33] ibid
[34] ibid
[35] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002), h.128
[36] ibid
[37] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS, 2002), h.133

2 komentar:

  1. Perkenalkan nama saya Docma Great Faith Nababan. postingan ini sangat membantu min, sekiranya ada no hp atau cp yg bisa dihubungi? bolehkah saya mengetahuinya? karna saya mengambil kajian sastra bandingan dalam skripsi saya,saya butuh bantuan untuk menjawab beberapa pertanyaan ttg ruanglingkup sastrabandingan

    BalasHapus
  2. Kok sumber asli Riffatere tidsk disebut bukunya..

    BalasHapus