MAKALAH FILSAFAT
ILMU
“ASUMSI”
Dosen
Pengampu:
Dr.
Endang K. Trijanto, M.Pd. dan Dr. Hanif Pujiati
Dibuat Oleh:
Anis Fuad
Desy
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Jujun S. Suriasumantri
dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”[1]
mengatakan bahwa semua pengetahuan seperti apakah itu ilmu, seni, atau
pengtahuan apa saja pada dasarnya mempunyai tiga landasan penting yang disebut
sebagai ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Dan yang membedakan dari
ketiga landasan tersebut adalah materi perwujutannya serta sejauh mana
landasan-landasan tersebut diperkembangkan dan dilaksakan.
Sedangkan Filsafat ilmu
merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Jadi untuk membedakan jenis pengtahuan yang satu dengan yang lainnya
maka ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan seperti: apa yang dikaji
(ontologi), bagaimana carannya untuk mendapatkan (epistomologi) serta untuk apa
pengetahuan tersebut digunakan (aksiologi). Jadi dari pernyataan Jujun S.
Suriasumantri tersebut maka untuk memahami filsafat ilmu kita harus memahami
dulu apa yang dikaji dalam filsafat ilmu, lalu bagaimana caranya mendapatkan
pengatahuan tentang filsafat ilmu tersebut, serta untuk apa pengatahuan
filsafat ilmu tersebut dipergunakan.
Dalam makalah ini pemakalah
hanya membatasi pembahasan Filsafat ilmu tentang apa yang dikaji (ontologi) dalam
Filsafat ilmu, khususnya tentang Asumsi. Ontology dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia artinya cabang ilmu filsafat yg berhubungan dng hakikat hidup.[2]
Jujun S. Suriasumantri yang mendefinisikan ontologi sebagai ilmu yang membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh yang kita ingin tahu. Jujun
S. Suriasumantri juga menyatakan bahwa ontologi itu adalah penjelasan tentang
keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar atau hal yang paling
mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu.
Jadi Ontologi adalah ilmu yang
mengkaji apa hakikat ilmu. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian
keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui
panca indera manusia. Adapun beberapa cakupan ontology adalah Metafisika,
Asumsi, Peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batasan-batasan penjelajah
ilmu.
Ontologi dalam filsafat merupakan bidang yang mencoba untuk
mencari hakikat tentang “sesuatu”, di dalam proses pencariannya ini maka asumsi
dibutuhkan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan tersebut menjadi
meluas. Asumsi menjadi suatu landasan berfikir sebelum hakikat kebenaran dalam
pengetahuan tersebut tampak adanya.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
PENGERTIAN
ASUMSI
Dalam buku “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer” yang
ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri, ia mendeskripsikan asumsi secara rinci
dengan menghadirkan sebuah cerita dengan dua tokoh penembak yang memiliki latar
belakang yang berbeda, pertama seorang ahli tembak dan yang kedua seorang
petani yang tidak mempunyai pengalaman dalam dunia tembak, lalu keduanya
dipertemukan dalam sebuah arena adu tembak, dan dari sinilah asumsi mulai
bermunculan dari berbagai pihak untuk mengambil peruntungan siapa yang akan
mereka jagokan? Mereka pun mulai berspekulasi agar tidak salah dalam
memilih orang yang akan mereka jagokan. Kemungkinan yang pertama tentunya
kemenangan sangat jelas berpihak kepada si penembak ulung jika dilihat dari
pengalaman yang telah dia jalani dalam dunia tembak, dan kemungkinan tersebut
sangatlah besar peluangnya untuk lolos menjadi pemenang. Lalu disana pun masih
ada kemungkinan kedua yaitu keberuntungan si petani untuk lolos menjadi
pemenang, walaupun keahlian menembak tak dia kuasai, tetapi paling tidak masih
ada sedikit peluang untuknya agar menjadi pemenang dalam adu tembak ini.
Setelah menyimak cerita tersebut kita pun mulai ikut
berasumsi (menduga-duga) manakah yang akan lolos menjadi pemenang? Si jago
tembak kah sesuai dengan hukum alam yang berlaku? Atau si petani kah karena
peluang yang dimilikinya membawa dia kepada keberuntungan?
Dari cerita di atas, bisa disimpulakan bahwa asumsi dapat
diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau landasan berfikir
karena dianggap benar. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) asumsi adalah asum·si
n1
dugaan yg diterima sbg dasar; 2 landasan berpikir krn dianggap benar; meng·a·sum·si·kan
v
menduga; memperkirakan; memperhitungkan; meramalkan[3]
Sedangkan pengertian asumsi dalam filsafat ilmu ini merupakan
anggapan/ andaian dasar tentang realitas suatu objek yang menjadi pusat
penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah yang diperlukan
dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang atau pihak tentang realitas
bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang dan kacamata apa.
II.
Fungsi
ASUMSI
Suharsimi menyebutkan dalam
bukunya dahwa didalam penelitian, asumsi/anggapan dasar sangat perlu untuk
dirumuskan secara jelas sebelum melangkah mengumpulkan data. Perlunya peneliti
merumuskan asumsi/anggapan dasar antara lain [4]
1. Agar ada
dasar berpijak yang kokoh bagi masalah yang sedang diteliti.
2. Untuk
mempertegas variable yang menjadi pusat perhatian.
3. Guna
menentukan dan merumuskan hipotesis.
III.
PENGGUNAAN ASUMSI
Pertanyaan
penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara
tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala
alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjun, 1995):
1. Deterministik.
Deterministik
adalah hukum alam yang bersifat universal.
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari
doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah
bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang
berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan
lebih dahulu. (Jujun, 1995, hal.75)
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam
menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan
alternatif. (Jujun, 1995, hal.75)
3. Probabilistik
Posisi Probabilistic berada diantara
keduannya (determministik dan pilihan bebas), dimana posisi tersebut menyatakan
bahwa gejala umum yang universal itu memang ada namun sifatnya berupa peluang
(probabilistik).
Dalam menentukan suatu asumsi
dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada
pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu.
Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi
seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya
yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu
manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik
dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.[5]
Ilmuwan melakukan kompromi
sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu
manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki
kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki
dalam kehidupan. [6]Karena
itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi
untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan
pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif
Jadi, berdasarkan teori-teori
keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang
didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang. Seberapa
banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi
berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan
demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu
menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk
asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.
IV.
PENENTUAN
DAN MENGEMBANGKAN ASUMSI
Dalam penelitian kita diharuskan
untuk menyusun asumsi. Hal ini sebagai stimulus, agar kita mencari pembuktiaan
sebuah kebenaran ilmiah. Dalam menyusun asumsi ini kita tidak boleh
sembarangan, akan tetapi kita harus melihat konteks atau objek yang kita
teliti. Untuk menentukan asumsi harus didasarkan atas kebenaran yang telah
diyakini oleh peniliti. Sebelum menentukan asumsi peneliti harus lebih
mengetahui terhadap sesuatu dengan cara: [7]
1.
Dengan banyak membaca buku, surat kabar atau
terbitan lain.
2.
Dengan banyak mendengar berita, ceramah,
pembicaraan orang lain.
3.
Dengan banyak berkunjung ke tempat (lokasi
penelitian).
4.
Dengan mengadakan pendugaan meng-abstraksi
berdasarkan perbendaharaan pengetahuannya.
Setelah kita menentukan asumsi,
maka asumsi tersebut dapat dikembangkan dengan cara:
1. Asumsi
harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu.
2. Asumsi
ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis
3.
Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan
sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi Asumsi
harus bercirikan positif, bukan normatif.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Keberadaan asumsi sebagai bagian
dari filsafat ilmu merupakan hal yang sangat penting karena asumsi berfungsi
sebagai bagian yang mendasar yang harus ada. Asumsi adalah suatu hal yang
diyakini kebenarannya oleh penilti yang harus dirumuskan secara jelas yang
memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Untuk
memperkuat permasalahan
2. Membantu
peneliti dalam memperjelas, menetapkan objek penelitian, wilayah pengambilan
data, instrumen pengumpulan data.
Untuk dapat merumuskan anggapan dasar, penilti harus banyak membaca buku,
mendengarkan informasi dari berbagai sumber dan mengunjungi lokasi penelitian.
Seperti yang disampaikan di depan bahwasanya makalah ini jauh dari kesempurnaan
yang tentunya belum memenuhi standar ‘kepuasaan’ pembaca. Penulis sangat
menantikan masukan-masukan yang membangun demi kesempurnaan isi dari makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri,
Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta,
2002.
http://kbbi.web.id/index.php?w=asumsi,
Senin 30 September 2013, Jam 11:55 PM
http://kbbi.web.id/index.php?w=ONTOLOGI,
hari Senin 30 September 2013, jam 11:20 PM
[1]
Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. hh 33-35
[2]
http://kbbi.web.id/index.php?w=ONTOLOGI,
hari Senin 30 September 2013, jam 11:20 PM
[3]
http://kbbi.web.id/index.php?w=asumsi,
Senin 30 September 2013, Jam 11:55 PM
[4]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002. h.58
[5]
Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat
Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h.76
[6]
Suriasumantri, Jujun S., 1993, Filsafat
Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h. 77
[7]
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,
PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002 h.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar