Makalah Kelompok 13
APRESIASI DAN PENGAJARAN DRAMA
Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA
Oleh :
Leroy Holman Siahaan (No. Reg. 7316130167)
Melinda Putri (No. Reg. 7316130269)
Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014
A. Pendahuluan
Sastra pada dasarnya merupakan
ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi. Karya sastra sebagai
bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media
yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh
sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang
melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya
dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Drama / teater adalah salah satu
sastra yang amat popular hingga sekarang. Bahkan di zaman ini telah terjadi
perkembangan yang sangat pesat di bidang teater. Contohnya sinetron, film layar
lebar, dan pertunjukan – pertunjukan lain yang menggambarkan kehidupan makhluk
hidup. Selain itu, seni drama / teater juga telah menjadi lahan bisnis yang
luar biasa. Dalam hal ini, penyelanggara ataupun pemeran akan mendapat
keuntungan financial serta menjadi terkenal, tetapi sebelum sampai ke situ
seorang penyelenggara atau pemeran harus menjadi insan yang profesionalitas
agar dapat berkembang terus.
Pada makalah ini, akan dibahas
mengenai apresiasi drama dan film serta pengajarannya.
B. Apresiasi
Istilah apresiasi berasal
dari bahasa Inggris "appreciate" dalam kamus Oxford judge rightly the value of; understand and
enjoy[1], yang berarti
menetapkan sebuah penilaian, pengertian dan kenikmatan dari sesuatu. Sedangkan, dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia kata “apresiasi berarti penilaian dan penghargaan hasil karya”[2].
Apresiasi terhadap nilai
seni yang terkandung sastra terdapat dalam tulisan atau sebuah pembelajaran
yang menghasilkan karya seni yang bernilai seperti drama, fiksi, essay, puisi,
film dan biografi[3]. Adanya nilai seni dalam
karya tulis sastra seperti karya William Shakespeare dalam Romeo and Juliet
sangat berbeda dengan buku telepon, surat kabar,
dokumen resmi dan tulisan ilmiah[4].
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
apresiasi dalam karya sastra adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian
terhadap karya sastra, baik yang berbentuk drama maupun film atau suatu
kegiatan mengakrabkan sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
cipta sastra.
1.
Apresiasi Drama
Drama merupakan pengemukaan gagasan dan perasan melalui
bentuk dialog antara berbagai tokoh. In
general any work meant to be performed on a stage by actors. A more particular
meaning is a serious play; not necessarily tragedy. See comédie; comedy; drame;
tragedy[5]. Drama adalah
salah satu genre sastra yang berada pada dua dunia seni, yaitu seni sastra dan
seni pertunjukan atau teater. “The dramatic or performing arts, however, combine the verbal
with a number of non-verbal or optical- visual means, including stage, scenery,
shifting of scenes, facial expressions, gestures, make-up, props, and lighting”[6]. Drama atau pertunjukkan seni, bagaimanapun juga merupakan
pertunjukkan verbal atau non-verbal atau seni optikal visual, termasuk
panggung, gambar, pergantian layar, ekspresi wajah, gesture, make-up, penopang atau pilar dan cahaya.
Orang yang melihat drama sebagai seni sastra menunjukkan perhatiannya pada seni
tulis teks drama yang dinamakan juga dengan seni lakon. Teknik penulisan teks
drama berbeda dengan teknik penulisan puisi atau prosa. Orang yang menganggap
drama sebagai seni pertunjukan (teater) fokus perhatiannya ditujukan pada
pertunjukannya atau pementasannya, tidak semata pada teksnya saja.
Drama anak merupakan suatu bentuk drama yang diperankan/
tokoh pelakunya adalah anak-anak. Misalnya: opera anak (trans7), ketoprak anak, dll.
2.
Apresiasi Film
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang pertama, film
merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan
gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan sebagai lakon atau
gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau
gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam
bentuk gambar negatif[7].
Meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid
saja. Film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital.
Jika kita benar-benar ingin memahami film,
maka kita harus mengetahui aspek-aspek pembangun dari sebuah film. Seperti
layaknya karya seni lainnya, film juga memiliki sifat-sifat dasar dari sebuah
karya seni. Seperti seni pahat, film memiliki garis, susunan, warna, bentuk,
volume dan massa. Seperti seni drama, film
melakukan komunikasi visual melalui laku dramatik, gerak dan ekspresi dan
komunikasi verbal melalui dialog. Seperti seni musik, film mempergunakan irama
yang kompleks dan halus. Seperti seni puisi, film berkomunikasi melalui citra
dan metafora juga lambang-lambang. Seperti pantomim, film memusatkan diri pada
gambar bergerak. Seperti seni tari, gambar bergerak pada film memiliki
sifat-sifat ritmis tertentu. Seperti novel, film memiliki kesanggupan untuk
memainkan ruang dan waktu. Nah, ternyata film sangat memiliki hampir semua
aspek dari seni-seni yang lain.
Selain banyak persamaan dengan karya seni
lain, film juga memiliki perbedaan yang merupakan nilai lebih dari karya seni
lain. Film dapat bergerak bebas dan tetap sehingga mampu mengatasi keterbatasan
statis dari sebuah karya lukis dan pahat. Film memiliki kemampuan mengambil
sudut pandang, gerak, waktu yang beragam yang tidak dapat dilakukan dengan seni
drama panggung. The most obvious difference
between film and drama is the fact that a film is recorded and preserved rather
than individually staged in the unique and unrepeatable manner of a theater
performance. Films, and particularly video tapes, are like novels, which in theory can be repeatedly read, or viewed.
Perbedaan yang paling nyata antar film dan drama
faktanya, bahwa suatu film bisa direkam,
disimpan diedit bisa juga
diulangi kembali berbeda dengan teater. Ada persamaan film dan novel yaitu bisa
dibaca dan dilihat berulang-ulang. Perbedaannya dengan novel, film tidak
berkomunikasi dengan lambang-lambang yang tercetak pada media kertas, tetapi
film berkomunikasi melalui lambang visual dan
suara aslinya atau juga dengan rekayasa.
Saat ini film hampir mengakomodasi sensasi
dari seluruh panca indera manusia. Mungkin
masyarakat luas hanya dapat menikmati film melalui indera mata dan telinga.
Namun di sejumlah gedung bioskop di luar negeri mulai diupayakan melepas aroma
tertentu demi menunjang penghayatan dari sebuah cerita film. Selain itu juga
dengan peralatan listrik dan teknologi komputer yang canggih seperti 3D yang
bisa membuat seolah-olah gambarnya nampak keluar.
C.
Metode Apresiasi Sastra
Metode apresiasi sastra
terbagi dalam tiga kategori :
1. Apresiasi secara langsung
Kegiatan
langsung yang terwujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi,
misalnya saat Anda melihat, mengenal,
memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi,
cerpen, pementasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di
panggung terbuka. Kedua bentuk kegiatan itu dalam hal ini perlu
dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berulang kali, sehingga dapat melatih dan
mengembangkan kepekaan pikiran dan perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu
cipta sastra, baik yang dipaparkan lewat media tulisan, lisan, maupun visual.
2.
Kegiatan
apresiasi sastra secara tidak langsung
Kegiatan ini dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan
kesastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun esai
yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta
mempelajari sejarah sastra. Kegiatan itu disebut sebagai kegiatan apresiasi
secara tidak langsung karena kegiatan tersebut nilai akhirnya bukan hanya
mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam
rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.
Dengan demikian,
kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu pada gilirannya akan ikut
berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi sastra jika bahan bacaan
tentang sastra yang telah ditelaahnya itu memiliki relevansi dengan kegiatan
apresiasi sastra. Misalnya membaca masalah minat baca sastra murid, kemampuan
apresiasi sastra masyarakat Indonesia atau mungkin artikel tentang pengajaran
sastra di sekolah. Meskipun pembahasan itu sangat penting untuk mengembangkan
kemampuan dan pengetahuan, pembahasan itu sedikit sekali peranannya atau bahkan
tidak berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi. Dalam hal demikian,
pembaca tidak melaksanakan kegiatan apresiasi secara langsung maupun tidak
langsung.
3. Apresiasi secara dokumentatif
Termasuk dalam kegiatan ini antara lain upaya
mengumpulkan atau mengadakan koleksi tentang hasil-hasil karya sastrawan.Contoh
Nominasi untuk
Penghargaan Nobel dalam kategori Sastra didokumentasi oleh orang-orang ahli.
-
Proses Nominasi dan Seleksi
Komite Nobel untuk
kategori Sastra akan mengirimkan surat undangan untuk orang-orang yang
memenuhi syarat pencalonan untuk Hadiah Nobel dalam Sastra.
-
Nominator Berkualitas
Hak
untuk mengajukan proposal penghargaan dari Hadiah Nobel Sastra diatur oleh
undang-undang, dapat dinikmati oleh:
1.
Anggota
Akademi Swedia dan akademi lainnya, lembaga dan masyarakat yang serupa dalam visi da misi;
2.
Profesor
sastra dan linguistik di universitas dan perguruan tinggi universitas;
3.
Sebelumnya
adalah pemenang Nobel dalam Sastra;
4.
Presiden
masyarakat-masyarakat penulis yang mewakili produksi sastra di negara masing-masing.
5.
Apresiasi secara kreatif:
Termasuk dalam kegiatan ini adalah melakukan upaya penciptaan prosa itu sendiri
atau menulis tentang prosa[8].
D. Tujuan dan Manfaat
Apresiasi Sastra
Manfaat apresiasi sastra,
diantaranya :
1. Nilai Personal
Memberi kesenangan,
mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman yang dapat terhayati, mengembangkan
pandangan ke arah persoalan kemanusiaan, menyajikan pengalaman yang bersifat
emosional;
2. Nilai Pendidikan
Membantu perkembangan
bahasa, meningkatkan kelancaran-kemahiran membaca, meningkatkan keterampilan
menulis, mengembangkan kepekaan terhadap sastra.
Pembelajaran Sastra
dimaksudkan Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra.
E.Pengajaran Drama
1.
Praktik Dramatis dan Prinsip-prinsip
Pedagogi
Pembelajaran
sastra, khususnya drama saat ini masih menitikberatkan pada aspek kognitif atau
pengetahuan saja. Akibatnya, para siswa hanya mampu mengetahui atau mungkin
hapal istilah-istilah yang ada dalam teori drama, di antaranya judul naskah,
ringkasan cerita, maupun nama pengarangnya. Keadaan seperti ini tentu saja
tidak dapat dijadikan tuntutan agar siswa mampu aktif dalam suatu kegiatan.
Dari
pembelajaran apresiasi drama yang diharapkan pada dasarnya adalah segi
apresiasinya, yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Itulah
sebabnya, kegiatan apresiasi drama di kalangan para siswa merupakan masalah
yang harus ditangani bersama. Di samping memiliki pengetahuan yang layak
mengenai drama, diharapkan para siswa memiliki atensi yang pantas terhadap
kegiatan drama. Bahkan bila dimungkinkan mampu melakukan kegiatan praktik
berupa pementasan drama.
Untuk dapat
menyampaikan materi pembelajaran drama dengan baik diperlukan tenaga pengajar
yang benar-benar mampu dan menguasai seluk-beluk drama, baik secara teori
maupun praktik. Penguasaan teori dan praktik secara bersama sangat penting agar
nantinya para siswa mampu menerapkan teori yang diperolehnya pada saat proses
belajar mengajar berlangsung, ke dalam bentuk praktik pementasan naskah drama.
Untuk dapat menghasilkan hasil pementasan yang bermutu, tentu saja diperlukan
keterlibatan bimbingan tenaga pengajar yang kompeten.
Penulis seperti Jonothan Neelands (1998), John O'Toole (1992), Cecily O'Neill
(1995) dan Michael Fleming
(1994, 1997, 2001) membuat upaya untuk memperluas basis teoritis pengajaran drama dalam pendidikan atau
proses drama sebagai praktik
teater yang sah. Gavin Bolton (2000)
seorang praktisi lama
yang peduli dengan
eksplorasi hubungan antara
pendidikan drama dan
teater berpendapat
bahwa konsep
teater harus
diadopsi dan ini akan memungkinkan drama dalam pendidikan dianggap sebagai sub genre teater yang sah. Praktisi drama sekolah selama periode
ini mulai mengembangkan model konseptual yang lebih masuk dalam praktek . Secara umum
mereka berusaha untuk:
1) Melegitimasi drama
dalam pendidikan (atau proses drama) sebagai sub - genre teater dalam drama itu sendiri.
2) Menjelaskan
hubungan drama dengan
genre teater utama
lainnya.
3) Menekankan kembali
hasil teater dalam pengajaran drama, di samping tujuan yang lebih instrumental
terkait untuk
pengembangan pribadi dan
sosial dan konten tematik.
4) Memberikan
klarifikasi sifat pembelajaran dalam drama/teater dan
mengeksplorasi isu-isu perkembangan dan penilaian.
5) Mengakui bahwa
kurikulum drama / teater harus luas dan seimbang.
6) Membangun secara luas konsensus pendapat
sehubungan dengan poin di atas.
Kesepakatan
umum bahwa pendidikan drama terpusat untuk
mendorong siswa mencapai pemahaman baru dengan membentuk dan mengembangkan
ide-ide dalam proses pembuatan dan
melakukan drama, dan mendapatkan wawasan dalam beragam dramatis, praktik teater
dan performatif, sejarah dan tradisi.
Ketika siswa memperoleh dan mencapai pemahaman baru dalam praktek drama, hal
ini menyiratkan keterlibatan kreatifitas dan pribadi siswa dalam melakukan
drama. Sehubungan dengan
pendidikan drama, bentuk pemahaman adalah konsep yang sulit untuk digambarkan.
Wisehammer mengungkapkan gagasan bahwa drama harus
membuat siapa pun memahami sesuatu yang baru dengan berbagai macam praktek dalam
pengajarannya. Pendidikan
drama tidak semata-mata berkaitan dengan skrip drama,
tapi tidak memungkinkan siswa untuk mencapai pemahaman baru dengan
mempelajari konteks drama. Secara umum
dengan berbagai bentuk seni, drama sering dianggap sebagai media edukatif
yang merupakan cara untuk menciptakan, melambangkan dan mewakili nilai-nilai, ide-ide dan perasaan.
Pendidikan drama mengajak siswa tidak hanya untuk terlibat dengan
narasi dramatis, tetapi juga untuk menemukan cara mengkomunikasikan
ide-ide mereka. Dalam drama, intelektual dan keterlibatan emosional dengan
cerita orang lain merupakan
bagian integral dari pembelajaran dimana moral, politik dan nilai-nilai budaya yang terbuka, dan
kontingen
untuk renegosiasi dan interpretation.[9] Dalam konteks membuat drama, semua guru drama
yang melibatkan proses
diskusi, mempertanyakan, spekulasi, eksperimentasi dan refleksi itu
memerlukan siswa untuk mengeksplorasi sendiri
ide dan nilai-nilai dan menginterpretasikannya. Dari
sudut pandang ini, pendidikan drama
adalah bentuk seni dimana
siswa mungkin memahami sesuatu yang baru baik tentang
kehidupan mereka sendiri dan orang lain.
2. Bahasa Drama
Salah
satu kualitas
khusus dari drama adalah bahwa peserta mampu
berpikir,
merasakan dan merasa serius dalam berbagai cara yang berbeda. Tidak seperti banyak praktek pendidikan tradisional yang didominasi oleh kata-kata tertulis,
drama bentuk seni yang
'multi-modal', dan tentu menuntut siswa untuk
menggunakan gambar visual, gerakan dan suara serta kata-kata. Ini berarti, dalam prakteknya bahwa peserta dalam drama menggunakan
visual, kinestetik, aural dan lisan
untuk membentuk, melambangkan
dan mewakili pikiran dan perasaan ke dalam struktur dramatis, genre dan bentuk yang dikenali
oleh orang lain.
Menerapkan istilah bahasa untuk drama ini mungkin mengejutkan bagi kita yang bekerja dalam iklim pendidikan di mana bahasa dan tulisan telah terkait dengan kebenaran dan akurasi
daripada kreativitas. Memahami bahasa bukan hanya kasus decoding, mendefinisikan
kata-kata individu, atau hafalan. Sebaliknya,
memperoleh bahasa adalah
proses yang melibatkan kedua
emosi dan kognisi. Bahasa memungkinkan kita untuk berpikir, untuk menggambarkan emosi, untuk berpartisipasi dalam budaya dan berlatih drama. Menulis
secara khusus tentang pendidikan drama, Michael Fleming menunjukkan bahwa untuk
menggunakan bahasa secara efektif adalah belajar untuk hidup dengan ketidakpastian tata batas.[10]
Dalam mengidentifikasi fisik, kualitas
dinamis dan kreatif bahasa,
Merleau Ponty-menggambarkan
bahasa drama sebagai 'mesin ajaib', yang terletak di jantung dari semua
sosial interaction.[11]
Memahami dan menggunakan
bahasa drama untuk berpikir serta merasa, memungkinkan siswa untuk menafsirkan dan mempertanyakan campuran pribadi, sosial, seni dan budaya dalam narasi yang mereka bawa.
Karena drama tentu
mencakup berbagai bahasa artistik - visual,
verbal, aural, kinestetik. Drama membuka berbagai cara menjelajahi
pengalaman dan berkomunikasi dengan orang lain.
verbal, aural, kinestetik. Drama membuka berbagai cara menjelajahi
pengalaman dan berkomunikasi dengan orang lain.
3. Struktur dan Fleksibilitas
Di kelas drama,
salah satu tantangan yang dihadapi guru yang
bekerja dengan siswa dalam rentang usia 11-18 adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan tujuan pembelajaran terstruktur dengan jenis fleksibilitas yang mengarah ke inovatif dan kreatif drama. Ini adalah kasus bagaimana memperkenalkan siswa berbagai bentuk dan praktik budaya yang dramatis, dan mendorong mereka untuk merasa fisik, intelektual dan emosional terlibat dengan drama. Selanjutnya, bagi para guru drama di sekolah menengah dan perguruan tinggi ada potensi ketegangan antara di satu sisi tuntutan sistem pendidikan didorong oleh standarisasi dan hasil pembelajaran yang diukur, dan yang lainnya adalah proses bekerja dalam drama yang paling menarik sering tak terduga.
bekerja dengan siswa dalam rentang usia 11-18 adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan tujuan pembelajaran terstruktur dengan jenis fleksibilitas yang mengarah ke inovatif dan kreatif drama. Ini adalah kasus bagaimana memperkenalkan siswa berbagai bentuk dan praktik budaya yang dramatis, dan mendorong mereka untuk merasa fisik, intelektual dan emosional terlibat dengan drama. Selanjutnya, bagi para guru drama di sekolah menengah dan perguruan tinggi ada potensi ketegangan antara di satu sisi tuntutan sistem pendidikan didorong oleh standarisasi dan hasil pembelajaran yang diukur, dan yang lainnya adalah proses bekerja dalam drama yang paling menarik sering tak terduga.
Menemukan
keseimbangan antara
kedua posisi yang saling bertentangan membutuhkan teori pembelajaran yang tidak
hanya
terbuka dan dialogis, tetapi juga mengakui bahwa siswa sering didukung dan ditantang oleh pendekatan pembelajaran yang jelas terstruktur . Dalam upaya untuk mengenali makna tak terduga dari drama, dan untuk memberikan lingkungan pembelajaran terstruktur. Banyak penulis menarik langsung atau tidak langsung pada karya Vygotsky dan Bruner, teori tentang hubungan antara pikiran, bahasa dan pembelajaran telah lama tertanam dalam teori pendidikan dan drama education.[12]
terbuka dan dialogis, tetapi juga mengakui bahwa siswa sering didukung dan ditantang oleh pendekatan pembelajaran yang jelas terstruktur . Dalam upaya untuk mengenali makna tak terduga dari drama, dan untuk memberikan lingkungan pembelajaran terstruktur. Banyak penulis menarik langsung atau tidak langsung pada karya Vygotsky dan Bruner, teori tentang hubungan antara pikiran, bahasa dan pembelajaran telah lama tertanam dalam teori pendidikan dan drama education.[12]
Rancangan metafora sangat bermanfaat dalam pendidikan drama
karena menunjukkan pembelajaran yang kreatif dan eksploratif
yang merupakan pusat untuk subjek, dan jenis intervensi
terstruktur yang memungkinkan
siswa untuk bergerak maju. Dalam prakteknya, hal ini artinya adalah bahwa pemikiran, titik awal dan tujuan pembelajaran untuk drama
direncanakan secara hati-hati terlebih dahulu. Meskipun tidak
seperti ilmu pengetahuan
di mana hasil percobaan dapat diprediksi, dalam drama pembelajaran dirancang dan bukan bentuk atau hasil dari kerja praktek.
Kemampuan untuk
menawarkan rancangan pembelajaran siswa yang relevan dengan
kurikulum drama ditujukan untuk mendorong siswa mencoba ide-ide baru selama proses belajar. Richard Wollheim telah menunjukkan proses spekulasi, improvisasi dan penemuan media di mana ide-ide direvisi dan diubah untuk
mengambil bentuk sebuah karya
seni.[13] Persiapan
yang
rinci memberikan fokus pembelajaran dengan tujuan untuk menentukan kriteria penilaian yang
jelas, untuk mendorong siswa
menginterpretasikan ide-ide secara fleksibel dan
menggunakan media secara kreatif.[14]
Dalam praktek drama
peran guru bukan
sebagai instruksi didaktik, tetapi intervensi dipandu. Bimbingan
hampir selalu tertanam dalam kegiatan praktis kelas, di mana
guru memantau dan mengevaluasi kemajuan siswa, dan memperkenalkan sumber daya yang tepat,
informasi dan bahan-bahan untuk
mengkonsolidasikan dan menantang pembelajaran
mereka sebagai pembelajaran yang berkembang. Dalam drama, sebagai bentuk seni fisik dan
singkat, salah satu cara untuk memperkenalkan ide-ide baru adalah
melalui pemodelan praktek dan menyediakan frame yang jelas diidentifikasi untuk pekerjaan mereka. kedua
proses Pemodelan dan framing adalah bentuk
rancangan yang memungkinkan
siswa untuk mengenali dan memahami struktur dan
konvensi dari bentuk dramatis dimana mereka belajar.
Menemukan keseimbangan antara struktur dan fleksibilitas dalam pendidikan drama
seharusnya tidak menjadikan
tujuan pedagogik menjadi kaku
dikurikulum. Sebaliknya, praktisi drama telah
mengadopsi proses
pembelajaran yang sesuai. Baik praktek kreatif membuat dan melakukan drama, maupun praktik rancangan pendidikan adalah proses linier, konsep, ide dan perasaan yang ditinjau, direvisi, diperebutkan, ditafsirkan dan dinegosiasi ulang. Dengan demikian, belajar membuat, melakukan dan menanggapi drama adalah proses siklus, di mana kurikulum terstruktur dengan baik akan memungkinkan untuk refleksi dan eksperimen. Bagian dari keajaiban pengajaran drama tidak hanya terletak dalam memperkenalkan siswa untuk keragaman dramatis bahasa, tetapi juga dalam memberi mereka ruang dan waktu untuk menemukan kesenjangan dan memahami makna yang dibuat.
pembelajaran yang sesuai. Baik praktek kreatif membuat dan melakukan drama, maupun praktik rancangan pendidikan adalah proses linier, konsep, ide dan perasaan yang ditinjau, direvisi, diperebutkan, ditafsirkan dan dinegosiasi ulang. Dengan demikian, belajar membuat, melakukan dan menanggapi drama adalah proses siklus, di mana kurikulum terstruktur dengan baik akan memungkinkan untuk refleksi dan eksperimen. Bagian dari keajaiban pengajaran drama tidak hanya terletak dalam memperkenalkan siswa untuk keragaman dramatis bahasa, tetapi juga dalam memberi mereka ruang dan waktu untuk menemukan kesenjangan dan memahami makna yang dibuat.
4. Pembelajaran Konteks
Salah satu kenikmatan
pengajaran drama adalah meskipun ada peningkatan penekanan pada standardisasi dalam pendidikan, tapi
sering ada fleksibilitas yang cukup untuk memilih
aspek drama yang termasuk dalam kerangka kerja kurikulum tertentu
atau program pendidikan. Drama, berdasarkan sifatnya, meliputi tradisi sastra teater
barat, teknologi film, televisi dan seni
hidup, peristiwa performatif seperti ritual,
karnaval dan teater jalanan, dan spontanitas improvisasi dan roleplay.
Memang, teater antropologi telah memperluas deskripsi drama, kinerja dan praktek-praktek baru terus muncul sebagai tradisi disandingkan, ditinjau dan ditafsirkan kembali . Dalam prakteknya, ini berarti bahwa setiap kurikulum drama selalu selektif, praktek-praktek dan pedagogi termasuk dalam kelas drama mencerminkan nilai-nilai guru, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan konteks lokal tertentu dalam tempat mereka bekerja.
karnaval dan teater jalanan, dan spontanitas improvisasi dan roleplay.
Memang, teater antropologi telah memperluas deskripsi drama, kinerja dan praktek-praktek baru terus muncul sebagai tradisi disandingkan, ditinjau dan ditafsirkan kembali . Dalam prakteknya, ini berarti bahwa setiap kurikulum drama selalu selektif, praktek-praktek dan pedagogi termasuk dalam kelas drama mencerminkan nilai-nilai guru, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan konteks lokal tertentu dalam tempat mereka bekerja.
Sharon Bailin
menggambarkan pendekatan pendidikan drama sebagai kreativitas dalam konteks, di mana siswa didorong
untuk membuat hubungan antara pekerjaan mereka sendiri
dan lainnya practitioners.[15]
Dengan cara ini, kreativitas baik inventif dan refleksif merupakan proses di mana siswa terlibat dalam interogasi kritis
kedua bentuk dramatis dan
ide-ide, perasaan dan nilai-nilai yang mereka berusaha untuk melambangkan
dan mewakili.
Praktek kritis dan kreatif sangat erat terhubung dan semua drama budaya spesifik, menempatkan penekanan baru pada konteks
produksi dan penerimaan dramatis. Bourdieu menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik
antara self refleksivitas
dan pengertian lainnya. Dalam rangka membangun estetika populer, ia
berpendapat, ada kebutuhan baik untuk mengenali dan
menginterogasi asumsi sendiri dan memahami konteks sosial
di mana karya seni yang diproduksi. Bourdieu menganggap ini sebagai salah satu cara di mana
individu dapat memperpanjang cakrawala budaya mereka, melalui kontras nilai-nilai sendiri dengan orang lain,
ia berpendapat hal itu menjadi mungkin untuk menghindari jenis kontemplasi diri yang ia
sebut sebagai narcissistic.[16]
Mengakui konteks
produksi dan penerimaan dramatis adalah salah satu cara untuk menghindari perangkap eksotisme dan
kedangkalan wisata budaya yang
kadang-kadang menyertai studi dan praktek bentuk dramatis non-Barat. Pendidikan drama tidak menyediakan sebuah forum yang aktif
dan dinamis untuk
debat , self - interpretasi dan pertukaran budaya . Dengan cara ini, keragaman
suara, bentuk dramatis, bahasa budaya dan pengalaman
mungkin tidak diakui,diinterogasi dan dihargai .
5. Budaya Partisipasi
Siswa belajar dengan baik dengan mempraktekan. Namun, apa yang
khusus tentang drama adalah
bahwa pengalaman belajar tidak hanya
pedagogik alat, itu adalah intrinsik dengan bentuk seni itu sendiri.
Tidak seperti banyak mata pelajaran lain
di kurikulum, drama memerlukan tindakan fisik dan kolaborasi; proses
kreatif, keterlibatan kritis dan hidup dengan ide-ide dan praktek-praktek
dalam bentuk belajar. Selain itu, sebagai bentuk seni kolaboratif,
drama tidak bergantung pada individual, tetapi pada kerja kelompok, siswa diwajibkan untuk bekerja sama untuk mencapai pemahaman bersama dan interpretasi yang disepakati.
Mencapai sebuah
budaya partisipasi dalam drama di mana siswa mungkin terlibat dalam perdebatan dan berbagi praktik bijaksana,
bagaimanapun tidak semata-mata tergantung pada perilaku siswa, meskipun hal ini jelas penting. Siswa juga didukung sebagai pembelajar
kolaboratif ketika mereka memiliki pemahaman yang tepat tentang tujuan dan
ruang lingkup drama dan ketika strategi mengajar termasuk dalam pelajaran
mengakomodasi cara belajar yang berbeda. Di sinilah konsep bahasa yang dramatis, bila dikombinasikan dengan teori gaya belajar sangat
bermanfaat. Penelitian
terbaru tentang bagaimana siswa belajar menegaskan tidak mengejutkan bahwa mereka belajar dengan cara berbeda. Michael Fielding menunjukkan
bahwa beberapa siswa terutama pelajar visual, lebih memilih untuk belajar melalui kata-kata tertulis, diagram, gambar dan gambar visual lainnya. Beberapa terutama pelajar auditori, merasa lebih mudah untuk belajar melalui pembicaraan,
diskusi dan mendengarkan orang lain, dan beberapa siswa yang paling sering mengabaikan metode pengajaran tradisional adalah pelajar
kinestetik yang
mengingat apa yang mereka lakukan dan pengalaman yang didapat secara
fisik, seperti maju kedepan kelas.[17] Apa yang mengejutkan dari deskripsi ini adalah
gaya pembelajaran yang berbeda yang mencerminkan praktek drama, yang sering mensintesis aural, visual, kinestetik dan lisan bahasa. Oleh karena itu drama tentu mencakup berbagai gaya belajar dalam bentuk seni
itu sendiri. Untuk misalnya, kinestetik peserta didik dapat langsung terlibat
ketika mereka mampu mengeksplorasi ide-ide dalam gerakan, dan ketika mereka
dapat menggunakan koreografi sebagai bentuk dialog. Peserta didik aural mungkin merasa paling nyaman
dengan dinamika suara dan kata yang diucapkan. Pelajar visual mungkin memiliki wawasan tertentu dalam citra visual dan penggunaan ruang.
Kekuatan bekerja dalam drama adalah bahwa keterampilan ini dapat
dikumpulkan dan
semua yang diperlukan untuk praktek kreatif terasa hidup. Dalam hal kepraktisan kelas, sebuah budaya partisipasi tidak bergantung terutama pada
niat siswa untuk bekerja sama satu sama lain, namun
mereka juga didukung dengan berbagai bentuk dan praktik dramatis .
Memang, telah lama diakui bahwa drama adalah media belajar yang kuat dan ini
adalah sebagian dijelaskan oleh fakta bahwa multi- modalitas memungkinkan siswa
untuk menemukan poin entri yang berbeda ke dalam pekerjaan dan sekali terlibat mereka
dapat mengembangkannya yang lebih luas dari gaya belajar .
Mengembangkan budaya partisipasi dalam drama dimana siswa aktif terlibat dalam pembelajaran mereka sendiri adalah
salah satu cara untuk menantang jenis
pasif yang kadang-kadang dikaitkan dengan budaya
pelajar. Sebagai
guru juga memungkinkan kita untuk menunjukkan kepedulian
terhadap ide-ide siswa. Dalam
konteks ini, pendidikan drama menyediakan forum publik untuk dialog, diskusi, debat dan perbedaan pendapat.
Ini adalah tempat di mana perbedaan, dan batas-batas
perbedaan, mungkin
dinegosiasikan dan dieksplorasi. Dalam
drama, siswa dapat mengeksplorasi ide-ide dalam
percakapan, bernegosiasi dalam gerakan, dan
perdebatan dalam gambar visual.
Budaya aktif berpartisipasi di kelas drama
mengajak siswa untuk berkomunikasi dengan tubuh mereka serta kata-kata.
Keterlibatan aktif dan fisik
dalam drama memungkinkan
siswa untuk
mengembangkan pemahaman
baru. Hal istimewa tentang
kurikulum drama adalah bahwa
siswa juga diharapkan untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka, baik
abstrak atau kompleks, menggunakan kinestetik, aural dan bahasa
visual serta kata-kata tertulis. Dengan cara ini, pendidikan drama
menawarkan salah satu cara untuk mendorong semua siswa untuk menjadi
aktif, pelaku dan pemikir. Dalam praktek drama, dialogis interaksi memungkinkan
siswa untuk unfix, menginterogasi dan menafsirkan
makna budaya daripada menjadi pasif.
6. Berfikir Praktis
Dalam pendidikan
drama, menurut Michael Fleming dari diam-diam kemudian bergerak untuk pengetahuan eksplisit dalam bentuk dramatis merupakan elemen penting dari
sebuah kemajuan.[18]
Menghubungkan pengembangan menjadi penilaian, ia
berpendapat bahwa siswa
didukung bila mereka memahami tujuan pembelajaran dari pekerjaan, dan
ketika tujuan ini berhubungan dengan kriteria penilaian subjek khusus. Penekanannya pada kriteria penilaian yang berakar kuat dalam substansi dramatis praktek adalah penting, sebagai guru drama kita pasti mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menafsirkan, mewakili dan melambangkan nilai-nilai, perasaan dan ide-ide tetapi untuk menilai keyakinan tertentu dan sikap yang dimiliki oleh siswa tampaknya tidak invasif. Akibatnya, drama sepenuhnya dibedakan berdasarkan kurikulum dalam menemukan cara untuk menghargai keterlibatan kognitif dan afektif siswa dengan pekerjaan. Hal ini mengakui bahwa dalam rentang usia 11-18 perkembangan siswa dalam drama dilihat dari kemampuan mereka untuk mengeksplorasi, menciptakan dan mengkomunikasikan makna menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman proses dan bentuk dramatis. Dalam konteks ini, belajar adalah tentu saja tidak linear tetapi spiral, siswa akan sering kembali pada bidang pembelajaran, dan mengkonsolidasikan, memperdalam dan memperluas pengalaman drama mereka sebagai sebuah kemajuan.
didukung bila mereka memahami tujuan pembelajaran dari pekerjaan, dan
ketika tujuan ini berhubungan dengan kriteria penilaian subjek khusus. Penekanannya pada kriteria penilaian yang berakar kuat dalam substansi dramatis praktek adalah penting, sebagai guru drama kita pasti mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menafsirkan, mewakili dan melambangkan nilai-nilai, perasaan dan ide-ide tetapi untuk menilai keyakinan tertentu dan sikap yang dimiliki oleh siswa tampaknya tidak invasif. Akibatnya, drama sepenuhnya dibedakan berdasarkan kurikulum dalam menemukan cara untuk menghargai keterlibatan kognitif dan afektif siswa dengan pekerjaan. Hal ini mengakui bahwa dalam rentang usia 11-18 perkembangan siswa dalam drama dilihat dari kemampuan mereka untuk mengeksplorasi, menciptakan dan mengkomunikasikan makna menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman proses dan bentuk dramatis. Dalam konteks ini, belajar adalah tentu saja tidak linear tetapi spiral, siswa akan sering kembali pada bidang pembelajaran, dan mengkonsolidasikan, memperdalam dan memperluas pengalaman drama mereka sebagai sebuah kemajuan.
F. Mengajar Drama untuk Siswa Usia 11-14
Tahun
Jennifer
Simons mengeksplorasi hubungan antara drama, narasi, cerita
dan role play.[19]
Karyanya ini berfokus pada siswa yang lebih muda
dalam kelompok usia ini banyak di antaranya berada di titik transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Dia menunjukkan cara-cara di mana sebagai guru mungkin membangun pengalaman mereka bekerja dalam di sekolah dasar. Pada tahun-tahun awal pendidikan menengah, dia menyarankan guru harus mendukung siswa dalam pekerjaannya, mendorong mereka untuk belajar, berpikir, dan merasa memahami materi. Bekerja dalam konteks ruang kelas bahasa Inggris, Denise Margetts
menemukan cara untuk membantu murid-muridnya yang berumur 14 tahun merefleksikan pekerjaan mereka dengan mendorong mereka untuk memahami bagaimana makna dibuat dan disajikan dalam bentuk dramatis. Dia meminta siswa untuk memperlambat proses kerja dengan menangkap dan membingkai momen dramatis menggunakan berbagai bentuk teknologi computer seperti video dan kamera digital . Meskipun konteks pendidikan yang berbeda, kedua proses menekankan pentingnya kolaborasi kerja praktek. Drama menuntut siswa tidak hanya untuk berbagi ide dan wawasan, tetapi juga untuk mewujudkan ide mereka.
dalam kelompok usia ini banyak di antaranya berada di titik transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Dia menunjukkan cara-cara di mana sebagai guru mungkin membangun pengalaman mereka bekerja dalam di sekolah dasar. Pada tahun-tahun awal pendidikan menengah, dia menyarankan guru harus mendukung siswa dalam pekerjaannya, mendorong mereka untuk belajar, berpikir, dan merasa memahami materi. Bekerja dalam konteks ruang kelas bahasa Inggris, Denise Margetts
menemukan cara untuk membantu murid-muridnya yang berumur 14 tahun merefleksikan pekerjaan mereka dengan mendorong mereka untuk memahami bagaimana makna dibuat dan disajikan dalam bentuk dramatis. Dia meminta siswa untuk memperlambat proses kerja dengan menangkap dan membingkai momen dramatis menggunakan berbagai bentuk teknologi computer seperti video dan kamera digital . Meskipun konteks pendidikan yang berbeda, kedua proses menekankan pentingnya kolaborasi kerja praktek. Drama menuntut siswa tidak hanya untuk berbagi ide dan wawasan, tetapi juga untuk mewujudkan ide mereka.
G. Mengajar Drama untuk Siswa Usia 14-16
Tahun
Pada
saat siswa
mencapai usia 14, mereka
telah mendapatkan hampir sepuluh tahun pendidikan drama. Siswa pada usia 14 cenderung
memiliki pengalaman bekerja dalam berbagai bentuk drama. Mereka mungkin telah
terlibat dalam bermain peran
atau simulasi. mereka mungkin telah membaca, menulis atau membaca skrip drama, dan menciptakan improvisasi dalam drama. Pada bagian ini siswa usia
14-16 tahun diberi
kesempatan untuk
meningkatkan
struktur drama mereka
sendiri dengan menggunakan pengalaman pribadi mereka
dan
pengetahuan mereka tentang bentuk dramatis.
pengetahuan mereka tentang bentuk dramatis.
H. Mengajar Drama untuk Siswa Usia 16-18
Tahun
Siswa di usia 16-18 mengembangkan pemahaman
mereka tentang drama dengan mengakui hubungan
eksplisit ganda dan timbal balik antara konteks produksi dan penerimaan.
Pendekatan mengajar drama ini menandai pengaruh
teori kritis dan kinerja pada praktik pendidikan. Janelle Reinelt dan Joseph
Roach menunjukkan sesuatu yang menarik dalam konteks penampilan telah mengubah
pandangan bahwa drama mengkomunikasikan kebenaran sejarah secara umum.[20] Hal ini berarti dari pada meminta siswa untuk menemukan
tema secara umum atau makna yang
tersembunyi teks dramatis, lebih baik diarahkan untuk mengeksplorasi berbagai
interpretasi.
I.
Proses Belajar Mengajar Drama
Dalam proses belajar mengajar drama
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dan siswa, seperti yang
dirumuskan oleh Rainer dan Lewis dalam figure dibawah ini.[21]
Berdasarkan
waluyo (2001) yang dimaksud dengan proses belajar mengajar adalah apa yang
disebut “Metode” oleh Mac key di dalamnya terdapat keseluruhan peristiwa
seperti Seleksi, Grasi, Prsentasi, Repetisi, Evaluasi.[22]
1.
Seleksi atau pemilihan materi
Seleksi materi
ditentukan oleh pengajaran ini. Untuk melatih keterampilan mana, konsep,
informasi, prspektif, apresiasi atau justru tujuan pengajaran drama dapat
mentaskan atau dapat mengadakan festival drama. Hal ini memerlukan sleksi
materi, dalam hal jenis, panjang, mutu,tingkat kesulitan, jumlah pemain dan
sebagainya.
2.
Gradasi (urutan penahapan)
Debora Elkin
menyatakan, bahwa latihan-latihan drama harus mengarah pada pementasan dan
festival drama. Untuk pementasan drama hendaknya dimulai dari role flying atau
(bermain peran). Role flying lebih baik jika bersumber pada hasil observasi
terhadap suatu kejadian tertentu (misalnya; percakapan di terminal bis, rapat
desa, transaksi dagang, peristiwa-peristiwa yang terjadi).
3.
Persentasi atau teknik penyampaian
Untuk dapat
menghayati naskah drama dengan lebih baik, dapat juga di berikan tugas menulis
naskah drama kepada siswa. Penulisan juga dimulai dengan naskah role flying
kemudian naskah dari saduran cerita atau cerita populer dari karya sastra,
dongeng atau film.
4.
Pengulangan
Materi yang sudah
diberikan harus diulangi dalam bentuk ulasan guru atau tanya jawab, dapat juga
berwujud resensi terhadap drama yang sudah dibaca, dilihat atau ditulis.
Parafrase dari bentuk drama kedalam bentuk prosa, dapat juga merupakan
repetisi, contohnya; mendiskusi, menonton ditempat lain, mementaskan sendiri
(naskah) menulis drama dengan tema yang sama dan sebagainya merupakan repetisi.
5.
Evaluasi dalam pengajaran drama
•
Evaluasi untuk apresiasi drama dalam hal pemahaman naskah, pada
hakikatnya sama dengan evaluasi dalam pengajaran sastra.
•
Tes informasi merupakan tingkat tes paling rendah, sebab itu butir soal
yang lebih banyak
•
Evaluasi dalam tugas individual dalam penampilan memerankan dalam suatu
tokoh.
• Tugas kelompok dalam mementaskan
role flying.
J.
Strategi Pengajaran Teks Drama
(Sebagai Karya Sastra)
1.
Strategi strata
Strategi ini
diciptakan oleh leslie stratta dan dapat diterapkan untuk drama dan prosa
fiksi. Ada tiga tahap pengajaran dalam strategi ini, yaitu; (1) tahap
penjelajahan, (2) interprestasi dan (3) rekreasi.
2.
Langkah –langkah penyajian
Sebelum guru
dapat mengajarkan satu drama di dalam kelas ia harus mengadakan dua macam
persiapan yaitu memilih bahan yang cocok untuk kelasnya dan menyusun persiapan
guna dapat mengajarkan dengan baik, sebelum ia siap untuk membawa bahan itu ke
kelas.
3.
Strategi induktif Model Taba
Model ini
dikemukakan oleh Hilda Taba. Model pengajarannya bersifat induktif, dan
biasanya strategi induktif cocok untuk pembahasan sastra. Data-data sastra
dapat langsung diteliti siswa, kemudian diadakan penyimpulan-penyimpulan. Hal
ini sesuai dengan pendekatan apresiasi yang telah dikemukakan hilda Taba yaitu
mengembangkan model pengajaran yang berorientasi pada pengelolaan informasi.
4.
Strategi analisis
Strategi ini
disebut strategi analisis karena menitik beratkan pada frase analisis terhadap
tema sebagai hasil akhir, setelah penguraian penokohan, plot, hubungan sebab
akibat dan sebagainya, yang kemudian disusul dengan pemahaman hal atau unsur
yang abstrak dari naskah drama. S.H burton menyatakan bahwa yang harus
dianalisis adalah makna harfiah dari naskah, sikap pengarang terhadap tuliasnya
dan pembacanya tujuan yang hendak dicapai melalui tulisannya, jenis, dan gaya
tulisan tersebut.
5.Strategi
sinektik atau Model Gordon
Strategi ini
dikembangkan oleh Gordon dalam bukunya The Metaforical Way of Learning
knowling. Dalam strategi ini dikombinasikan oleh beberapa unsure yang berbeda
dan nyata. Treffenger memasukan metode ini dalam pembentukan kreatifitas pada
tahap kedua.
6.
Role playing atau Bermain Peran
Sebetulnya
metode ini termasuk pementasan drama yang sangat sederhana. Peran diambil dari
kehidupan nyata sehari-hari (bukan imajinatif). Dari aspek role flying dapat
dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan memecahkan
masalah, dan pemahaman terhadap permasalahan pokok.
7.Simulasi
Arti sederhana
dari simulasi adalah ”peniruan dari keadaan yang sebenarnya”. Dari masa orde
baru simulasi ini banyak sekali digunakan untuk penataran P/04 dari tingkat kampung
sampai tingkat nasional (penulis adalah manggala BP/07). Strategi simulasi
adalah strategi untuk memberikan kemungkinan murid agar ia dapat menguasi suatu
ketrampilan melalui latihan dalam situasi tiruan.
K.
Strategi Pembelajaran Drama Pentas
1.
Pementasan drama di kelas
Pementasan
drama di kelas terkait pelajaran bahasa indonesia aspek sastra dapat berupa
pementasan satu naskah drama oleh satu kelompok, dapat berupa kelompok atau
kelompok-kelompok yang dibentuk dari seluruh murid di kelas. Pada waktu
pementasan, murid yang tidak mendapatkan giliran berpentas dapat ditugasi
sebagai pengamat. Yang dipentaskan tentulah drama-drama pendek denagn durasi 30
menit sampai 35 menit sehingga tersisa waktu diskusi dalam satu jam pelajaran.
Jika ada jam pelajaran yang berurutan, dapat mementaskan drama denagn durasi 60
menit.
2.
Pementasan drama oleh teater sekolah
Pementasan
oleh teater sekolah dapat memilih teks drama karya dramawan dengan durasi lebih
dari satu jam(rata-rata 90 menit sampai 180 menit). Untuk pementasan sekolah
hendaknya di pilih naskah-naskah yang kominakatif, yang mudah dipahami,
memiliki konflik batin yang kuat dan atraktif.
3.
Teknik pembinaan apresiasi drama
Kata
”pembinaan” di sin dapat bermakna dua yaitu pembinaan hal yang sudah terlaksana
supaya lebih baik, dan juga berarti membuat yang belum ada, menyelenggaraan
pembinaan. Sulitnya naskah drama dan belum tentu setiap guru mampu
menyutradarai drama menjadikan prospek pengajaran drama kurang memuaskan. Tanpa
pembaca naskah sendiri oleh siswa dan menonton pertunjukan drama sendiri, maka
pembinaan ini sulit dilakukan.
4.
Catatan tambahan tentang pemilihan
materi
Pemilihan
bahan naskah drama untuk diajarkan memenuhi kriteria:
•
Sesuai dan menarik bagi tingkat kematangan jiwa murid
• Jika tingkat kesulitan bahasanya
sesuai untuk tingkat kemampuan bahasa murid yang akan menggunakannya.
• Bahasanya sedapat mungkin
mengguankan bahasa yang standar kecuali kalau cerita mempermaslahkan penggunaan
dialeg.
•
Isinya tidak bertentangan dengan haluan negara kita.
DAFTAR PUSTAKA
Cuddon,
J. A., Literary Terms and Literary
Theory. Oxford: Blackwell Publishers, 1996.
Hornby
et al., Oxford Advance Learner’s
Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1987.
KBBI.
“Kamus Besar Bahasa Indonesia,” Pusat
Bahasa Depdiknas. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
(diakses 30 November 2013).
Klarer,
Mario. An Introduction to
Literary Studies. New York: Routledge. 1999.
Koesoemawiria,
Edith, “Rubrik International”, Deutsche
Welleh, http://www.dw.de/alice-munro-menangkan-nobel-sastra (diakses 30 November 2013).
Koven,
Mikel J. Film, folklore, and urban
legends. United States of America: Scarecrow Press, Inc. 2008.
Lewis,
Martin and Rainer, John. Teaching
classroom drama and theatre: practical projects for secondary schools.
USA and Canada: Routledge. 2005.
M.
Dahlan Yacub Al Barry. Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer. Surabaya: Arkola, 2001.
Nicholson,
Helen and the contributors. Teaching Drama. Great Britain: Biddies
Ltd. 2000.
Waluyo,
Herman. Drama Teori dan Pengajaranya.
Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya. 2001.
Penulis
pro, “Penulis pro”, Penulis pro Online, http://blog.penulispro.com/syarat- masuk-nominasi-nobel-sastra
(diakses 1 Desember 2013).
[1] Hornby et al., Oxford Advance Learner’s Dictionary (Oxford:
Oxford University Press, 1987), h. 37.
[2] M. Dahlan Yacub Al Barry., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Surabaya:
Arkola, 2001),h. 46.
[3]Hornby et al, op.
cit., h. 496.
[5] J. A. Cuddon, “Literary Terms and Literary Theory”
(Oxford: Blackwell Publishers, 1996), h. 216.
[7]
KBBI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia.,”, Pusat Bahasa Depdiknas; http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
(diakses 30 November 2013).
[8] Penulis pro, "Penulis pro" Penulis pro
Online. http://blog.penulispro.com/syarat-masuk-nominasi-nobel-sastra (diakses 1 Desember 2013).
[10] Fleming, M. (1994) Starting Drama Teaching
(London: David Fulton), p. 22.
[12] O'Toole, J. (1992) The Process of Drama:
Negotiatihng Art and Meaning (London: Routledge), pp. 226-7; Vygotsky, L.
(1978) Interaction between Learning and Development in Mind and Society (Cambridge,
MA: Harvard University Press)
[13] Wollheim, R. (1987) Painting
as an Art (Princeton, NJ: Princeton University Press), pp. 16-25.
[14] Pascoe, R. (1997)
'Research and the arts in schools: a two-way dialogue'. NAD IE Journal, 21(2),
33-48
[15] Bailin, S. (1998) 'Creativity in context', in
D. Hornbrook (ed.) On the Subject of Drama (London: Routledge), pp.
36-50.
[17] Fielding, M. (1996) 'How and why learning
styles matter: valuing difference in teachers and learners', in S. Hart (ed.) Differentiation
and the Secondary Curriculum (London: Routledge), pp. 81-103.
[18]
Fleming, M. (1994) op. cit., p. 143.
[19]
See Helen Nicholson, 2000. Teaching Drama. (Great Britain: Biddles Ltd). P. 13
[20]See
Helen Nicholson 2000, op.cit. p. 117
[21]
Martin
Lewis and John Rainer. Teaching classroom
drama and theatre: practical projects for secondary schools. USA and Canada: Routledge. 2005. p.
15
[22] Waluyo herman. Drama teori dan
pengajaranya. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya. 2001. p.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar