Kamis, 20 November 2014

APRESIASI DAN PENGAJARAN DRAMA



Makalah Kelompok 13
APRESIASI DAN PENGAJARAN DRAMA


Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA


logo unj.jpg

Oleh :
Leroy Holman Siahaan (No. Reg. 7316130167)
Melinda Putri                   (No. Reg. 7316130269)







Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014
A.  Pendahuluan
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
Drama / teater adalah salah satu sastra yang amat popular hingga sekarang. Bahkan di zaman ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang teater. Contohnya sinetron, film layar lebar, dan pertunjukan – pertunjukan lain yang menggambarkan kehidupan makhluk hidup. Selain itu, seni drama / teater juga telah menjadi lahan bisnis yang luar biasa. Dalam hal ini, penyelanggara ataupun pemeran akan mendapat keuntungan financial serta menjadi terkenal, tetapi sebelum sampai ke situ seorang penyelenggara atau pemeran harus menjadi insan yang profesionalitas agar dapat berkembang terus.
Pada makalah ini, akan dibahas mengenai apresiasi drama dan film serta pengajarannya.



B.  Apresiasi
Istilah apresiasi berasal dari bahasa Inggris "appreciate" dalam kamus Oxford judge rightly the value of; understand and enjoy[1], yang berarti menetapkan sebuah penilaian, pengertian dan kenikmatan dari sesuatu. Sedangkan, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “apresiasi berarti penilaian dan penghargaan hasil karya”[2].
Apresiasi terhadap nilai seni yang terkandung sastra terdapat dalam tulisan atau sebuah pembelajaran yang menghasilkan karya seni yang bernilai seperti drama, fiksi, essay, puisi, film dan biografi[3]. Adanya nilai seni dalam karya tulis sastra seperti karya William Shakespeare dalam Romeo and Juliet sangat berbeda dengan buku telepon, surat kabar, dokumen resmi dan tulisan ilmiah[4].
            Dengan demikian, yang dimaksud dengan apresiasi dalam karya sastra adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berbentuk drama maupun film atau suatu kegiatan mengakrabkan sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.



1.  Apresiasi Drama
Drama merupakan pengemukaan gagasan dan perasan melalui bentuk dialog antara berbagai tokoh. In general any work meant to be performed on a stage by actors. A more particular meaning is a serious play; not necessarily tragedy. See comédie; comedy; drame; tragedy[5]. Drama adalah salah satu genre sastra yang berada pada dua dunia seni, yaitu seni sastra dan seni pertunjukan atau teater.The dramatic or performing arts, however, combine the verbal with a number of non-verbal or optical- visual means, including stage, scenery, shifting of scenes, facial expressions, gestures, make-up, props, and lighting”[6]. Drama atau pertunjukkan seni, bagaimanapun juga merupakan pertunjukkan verbal atau non-verbal atau seni optikal visual, termasuk panggung, gambar, pergantian layar, ekspresi wajah, gesture, make-up, penopang atau pilar dan cahaya. Orang yang melihat drama sebagai seni sastra menunjukkan perhatiannya pada seni tulis teks drama yang dinamakan juga dengan seni lakon. Teknik penulisan teks drama berbeda dengan teknik penulisan puisi atau prosa. Orang yang menganggap drama sebagai seni pertunjukan (teater) fokus perhatiannya ditujukan pada pertunjukannya atau pementasannya, tidak semata pada teksnya saja.
Drama anak merupakan suatu bentuk drama yang diperankan/ tokoh pelakunya adalah anak-anak. Misalnya: opera anak (trans7), ketoprak anak, dll.
2.  Apresiasi Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Yang pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Yang kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup. Dalam konteks khusus, film diartikan sebagai lakon hidup atau gambar gerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar negatif[7]. Meskipun kini film bukan hanya dapat disimpan dalam media selaput seluloid saja. Film dapat juga disimpan dan diputar kembali dalam media digital.
Jika kita benar-benar ingin memahami film, maka kita harus mengetahui aspek-aspek pembangun dari sebuah film. Seperti layaknya karya seni lainnya, film juga memiliki sifat-sifat dasar dari sebuah karya seni. Seperti seni pahat, film memiliki garis, susunan, warna, bentuk, volume dan massa. Seperti seni drama, film melakukan komunikasi visual melalui laku dramatik, gerak dan ekspresi dan komunikasi verbal melalui dialog. Seperti seni musik, film mempergunakan irama yang kompleks dan halus. Seperti seni puisi, film berkomunikasi melalui citra dan metafora juga lambang-lambang. Seperti pantomim, film memusatkan diri pada gambar bergerak. Seperti seni tari, gambar bergerak pada film memiliki sifat-sifat ritmis tertentu. Seperti novel, film memiliki kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu. Nah, ternyata film sangat memiliki hampir semua aspek dari seni-seni yang lain.
Selain banyak persamaan dengan karya seni lain, film juga memiliki perbedaan yang merupakan nilai lebih dari karya seni lain. Film dapat bergerak bebas dan tetap sehingga mampu mengatasi keterbatasan statis dari sebuah karya lukis dan pahat. Film memiliki kemampuan mengambil sudut pandang, gerak, waktu yang beragam yang tidak dapat dilakukan dengan seni drama panggung. The most obvious difference between film and drama is the fact that a film is recorded and preserved rather than individually staged in the unique and unrepeatable manner of a theater performance. Films, and particularly video tapes, are like novels, which in  theory can be repeatedly read, or viewed. Perbedaan yang paling nyata antar film dan drama faktanya, bahwa suatu film bisa direkam,  disimpan  diedit bisa juga diulangi kembali berbeda dengan teater. Ada persamaan film dan novel yaitu bisa dibaca dan dilihat berulang-ulang. Perbedaannya dengan novel, film tidak berkomunikasi dengan lambang-lambang yang tercetak pada media kertas, tetapi film berkomunikasi melalui lambang visual dan suara aslinya atau juga dengan rekayasa.
Saat ini film hampir mengakomodasi sensasi dari seluruh panca indera manusia. Mungkin masyarakat luas hanya dapat menikmati film melalui indera mata dan telinga. Namun di sejumlah gedung bioskop di luar negeri mulai diupayakan melepas aroma tertentu demi menunjang penghayatan dari sebuah cerita film. Selain itu juga dengan peralatan listrik dan teknologi komputer yang canggih seperti 3D yang bisa membuat seolah-olah gambarnya nampak keluar.
C. Metode Apresiasi Sastra
Metode apresiasi sastra terbagi dalam tiga kategori :
1.    Apresiasi secara langsung
Kegiatan langsung yang terwujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi, misalnya saat Anda melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di panggung terbuka. Kedua bentuk kegiatan itu dalam hal ini perlu dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berulang kali, sehingga dapat melatih dan mengembangkan kepekaan pikiran dan perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra, baik yang dipaparkan lewat media tulisan, lisan, maupun visual.
2.    Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung
Kegiatan ini dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan itu disebut sebagai kegiatan apresiasi secara tidak langsung karena kegiatan tersebut nilai akhirnya bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.
Dengan demikian, kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu pada gilirannya akan ikut berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi sastra jika bahan bacaan tentang sastra yang telah ditelaahnya itu memiliki relevansi dengan kegiatan apresiasi sastra. Misalnya membaca masalah minat baca sastra murid, kemampuan apresiasi sastra masyarakat Indonesia atau mungkin artikel tentang pengajaran sastra di sekolah. Meskipun pembahasan itu sangat penting untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan, pembahasan itu sedikit sekali peranannya atau bahkan tidak berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi. Dalam hal demikian, pembaca tidak melaksanakan kegiatan apresiasi secara langsung maupun tidak langsung.
3.    Apresiasi secara dokumentatif
Termasuk dalam kegiatan ini antara lain upaya mengumpulkan atau mengadakan koleksi tentang hasil-hasil karya sastrawan.Contoh Nominasi untuk Penghargaan Nobel dalam kategori Sastra didokumentasi  oleh orang-orang ahli.
-       Proses Nominasi dan Seleksi
Komite Nobel untuk  kategori Sastra akan mengirimkan surat undangan untuk orang-orang yang memenuhi syarat pencalonan untuk Hadiah Nobel dalam Sastra.
-       Nominator Berkualitas
Hak untuk mengajukan proposal penghargaan dari Hadiah Nobel Sastra diatur oleh undang-undang, dapat dinikmati oleh:
1.         Anggota Akademi Swedia dan akademi lainnya, lembaga dan          masyarakat yang serupa dalam visi da misi;
2.         Profesor sastra dan linguistik di universitas dan perguruan tinggi    universitas;
3.         Sebelumnya adalah pemenang Nobel dalam Sastra;
4.         Presiden masyarakat-masyarakat penulis yang mewakili produksi   sastra di negara masing-masing.
5.         Apresiasi secara kreatif: Termasuk dalam kegiatan ini adalah melakukan upaya penciptaan prosa itu sendiri atau menulis tentang prosa[8].
D. Tujuan dan Manfaat Apresiasi Sastra
Manfaat apresiasi sastra, diantaranya :
1. Nilai Personal
Memberi kesenangan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman yang dapat terhayati, mengembangkan pandangan ke arah persoalan kemanusiaan, menyajikan pengalaman yang bersifat emosional;


2. Nilai Pendidikan
Membantu perkembangan bahasa, meningkatkan kelancaran-kemahiran membaca, meningkatkan keterampilan menulis, mengembangkan kepekaan terhadap sastra.
Pembelajaran Sastra dimaksudkan Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra.
E.Pengajaran Drama
1.  Praktik Dramatis dan Prinsip-prinsip Pedagogi
Pembelajaran sastra, khususnya drama saat ini masih menitikberatkan pada aspek kognitif atau pengetahuan saja. Akibatnya, para siswa hanya mampu mengetahui atau mungkin hapal istilah-istilah yang ada dalam teori drama, di antaranya judul naskah, ringkasan cerita, maupun nama pengarangnya. Keadaan seperti ini tentu saja tidak dapat dijadikan tuntutan agar siswa mampu aktif dalam suatu kegiatan.
Dari pembelajaran apresiasi drama yang diharapkan pada dasarnya adalah segi apresiasinya, yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Itulah sebabnya, kegiatan apresiasi drama di kalangan para siswa merupakan masalah yang harus ditangani bersama. Di samping memiliki pengetahuan yang layak mengenai drama, diharapkan para siswa memiliki atensi yang pantas terhadap kegiatan drama. Bahkan bila dimungkinkan mampu melakukan kegiatan praktik berupa pementasan drama.
Untuk dapat menyampaikan materi pembelajaran drama dengan baik diperlukan tenaga pengajar yang benar-benar mampu dan menguasai seluk-beluk drama, baik secara teori maupun praktik. Penguasaan teori dan praktik secara bersama sangat penting agar nantinya para siswa mampu menerapkan teori yang diperolehnya pada saat proses belajar mengajar berlangsung, ke dalam bentuk praktik pementasan naskah drama. Untuk dapat menghasilkan hasil pementasan yang bermutu, tentu saja diperlukan keterlibatan bimbingan tenaga pengajar yang kompeten.
Penulis seperti Jonothan Neelands (1998), John O'Toole (1992), Cecily O'Neill (1995) dan Michael Fleming (1994, 1997, 2001) membuat upaya untuk memperluas basis teoritis pengajaran drama dalam pendidikan atau proses drama sebagai praktik teater yang sah. Gavin Bolton (2000) seorang praktisi lama yang peduli dengan eksplorasi hubungan antara pendidikan drama dan teater berpendapat bahwa konsep teater harus diadopsi dan ini akan memungkinkan drama dalam  pendidikan dianggap sebagai sub genre teater yang sah. Praktisi drama sekolah selama periode ini mulai mengembangkan model konseptual yang lebih masuk dalam praktek . Secara umum mereka berusaha untuk:
1)    Melegitimasi drama dalam pendidikan (atau proses drama) sebagai sub - genre teater dalam drama itu sendiri.
2)    Menjelaskan hubungan drama dengan genre teater utama lainnya.
3)    Menekankan kembali hasil teater dalam pengajaran drama, di samping tujuan yang lebih instrumental terkait untuk pengembangan pribadi dan sosial dan konten tematik.
4)    Memberikan klarifikasi sifat pembelajaran dalam drama/teater dan mengeksplorasi isu-isu perkembangan dan penilaian.
5)    Mengakui bahwa kurikulum drama / teater harus luas dan seimbang.
6)    Membangun secara luas konsensus pendapat sehubungan dengan poin di atas.
Kesepakatan umum bahwa pendidikan drama terpusat untuk mendorong siswa  mencapai pemahaman baru dengan membentuk dan mengembangkan ide-ide dalam proses pembuatan dan melakukan drama, dan mendapatkan wawasan dalam beragam dramatis, praktik teater dan performatif, sejarah dan tradisi. Ketika siswa memperoleh dan mencapai pemahaman baru dalam praktek drama, hal ini menyiratkan keterlibatan kreatifitas dan pribadi siswa dalam melakukan drama. Sehubungan dengan pendidikan drama, bentuk pemahaman adalah konsep yang sulit untuk digambarkan.
Wisehammer mengungkapkan gagasan bahwa drama harus membuat siapa pun memahami sesuatu yang baru dengan berbagai macam praktek dalam pengajarannya. Pendidikan drama tidak semata-mata berkaitan dengan skrip drama, tapi tidak memungkinkan  siswa untuk mencapai pemahaman baru dengan mempelajari konteks drama. Secara umum dengan berbagai bentuk seni, drama sering dianggap sebagai media edukatif yang merupakan cara untuk menciptakan, melambangkan dan mewakili nilai-nilai, ide-ide dan perasaan.
Pendidikan drama mengajak siswa tidak hanya untuk terlibat dengan narasi dramatis, tetapi juga untuk menemukan cara mengkomunikasikan ide-ide mereka. Dalam drama, intelektual dan keterlibatan emosional dengan cerita orang lain merupakan bagian integral dari pembelajaran dimana moral, politik dan nilai-nilai budaya yang terbuka, dan kontingen untuk renegosiasi dan interpretation.[9] Dalam konteks membuat drama, semua guru drama yang melibatkan proses diskusi, mempertanyakan, spekulasi, eksperimentasi dan refleksi itu memerlukan siswa untuk mengeksplorasi sendiri ide dan nilai-nilai dan menginterpretasikannya.  Dari sudut pandang ini, pendidikan drama adalah bentuk seni dimana siswa mungkin memahami sesuatu yang baru baik tentang kehidupan mereka sendiri dan orang lain.
2.  Bahasa Drama
Salah satu kualitas khusus dari drama adalah bahwa peserta mampu berpikir, merasakan dan merasa serius dalam berbagai cara yang berbeda. Tidak seperti banyak praktek pendidikan tradisional yang didominasi oleh kata-kata tertulis, drama bentuk seni yang 'multi-modal', dan tentu menuntut siswa untuk menggunakan gambar visual, gerakan dan suara serta kata-kata. Ini berarti, dalam prakteknya bahwa peserta dalam drama menggunakan visual, kinestetik, aural dan lisan untuk membentuk, melambangkan dan mewakili pikiran dan perasaan ke dalam struktur dramatis, genre dan bentuk yang dikenali oleh orang lain.
Menerapkan istilah bahasa untuk drama ini mungkin mengejutkan bagi kita yang bekerja dalam iklim pendidikan di mana bahasa dan tulisan telah terkait dengan kebenaran dan akurasi daripada kreativitas. Memahami bahasa bukan hanya kasus decoding, mendefinisikan kata-kata individu, atau hafalan. Sebaliknya, memperoleh bahasa adalah proses yang melibatkan kedua emosi dan kognisi. Bahasa memungkinkan kita untuk berpikir, untuk menggambarkan emosi, untuk berpartisipasi dalam budaya dan berlatih drama. Menulis secara khusus tentang pendidikan drama, Michael Fleming menunjukkan bahwa untuk menggunakan bahasa secara efektif adalah belajar untuk hidup dengan ketidakpastian tata batas.[10] Dalam mengidentifikasi fisik, kualitas dinamis dan kreatif bahasa, Merleau Ponty-menggambarkan bahasa drama sebagai 'mesin ajaib', yang terletak di jantung dari semua sosial interaction.[11]
Memahami dan menggunakan bahasa drama untuk berpikir serta merasa, memungkinkan siswa untuk menafsirkan dan mempertanyakan campuran pribadi, sosial, seni dan budaya dalam narasi yang mereka bawa. Karena drama tentu mencakup berbagai bahasa artistik - visual,
verbal, aural, kinestetik
. Drama membuka berbagai cara menjelajahi
pengalaman dan berkomunikasi dengan orang lain.
3.  Struktur dan Fleksibilitas
Di kelas drama, salah satu tantangan yang dihadapi guru yang
bekerja dengan siswa dalam rentang usia 11-18 adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan
tujuan pembelajaran terstruktur dengan jenis fleksibilitas yang mengarah ke inovatif dan kreatif drama. Ini adalah kasus bagaimana memperkenalkan siswa berbagai bentuk dan praktik budaya yang dramatis, dan mendorong mereka untuk merasa fisik, intelektual dan emosional terlibat dengan drama. Selanjutnya, bagi para guru drama di sekolah menengah dan perguruan tinggi ada potensi ketegangan antara di satu sisi tuntutan sistem pendidikan didorong oleh standarisasi dan hasil pembelajaran yang diukur, dan yang lainnya adalah proses bekerja dalam drama yang paling menarik sering tak terduga.
Menemukan keseimbangan antara kedua posisi yang saling bertentangan membutuhkan teori pembelajaran yang tidak hanya
terbuka
dan dialogis, tetapi juga mengakui bahwa siswa sering didukung dan ditantang oleh pendekatan pembelajaran yang jelas terstruktur . Dalam upaya untuk mengenali makna tak terduga dari drama, dan untuk memberikan lingkungan pembelajaran terstruktur. Banyak penulis menarik langsung atau tidak langsung pada karya Vygotsky dan Bruner, teori tentang hubungan antara pikiran, bahasa dan pembelajaran telah lama tertanam dalam teori pendidikan dan drama education.[12]  
Rancangan metafora sangat bermanfaat dalam pendidikan drama karena menunjukkan pembelajaran yang kreatif dan eksploratif yang merupakan pusat untuk subjek, dan jenis intervensi terstruktur yang memungkinkan siswa untuk bergerak maju. Dalam prakteknya, hal ini artinya adalah bahwa pemikiran, titik awal dan tujuan pembelajaran untuk drama direncanakan secara hati-hati terlebih dahulu. Meskipun tidak seperti ilmu pengetahuan di mana hasil percobaan dapat diprediksi, dalam drama pembelajaran dirancang dan bukan bentuk atau hasil dari kerja praktek.
Kemampuan untuk menawarkan rancangan pembelajaran siswa yang relevan dengan kurikulum drama ditujukan untuk mendorong siswa mencoba ide-ide baru selama proses belajar. Richard Wollheim telah menunjukkan proses spekulasi, improvisasi dan penemuan media di mana ide-ide direvisi dan diubah untuk mengambil bentuk sebuah karya seni.[13]  Persiapan yang rinci memberikan fokus pembelajaran dengan tujuan untuk menentukan kriteria penilaian yang jelas, untuk mendorong siswa menginterpretasikan ide-ide secara fleksibel dan menggunakan media secara kreatif.[14]
Dalam praktek drama peran guru bukan sebagai instruksi didaktik, tetapi intervensi dipandu. Bimbingan hampir selalu tertanam dalam kegiatan praktis kelas, di mana guru memantau dan mengevaluasi kemajuan siswa, dan memperkenalkan sumber daya yang tepat, informasi dan bahan-bahan untuk mengkonsolidasikan dan menantang pembelajaran mereka sebagai pembelajaran yang berkembang. Dalam drama, sebagai bentuk seni fisik dan singkat, salah satu cara untuk memperkenalkan ide-ide baru adalah melalui pemodelan praktek dan menyediakan frame yang jelas diidentifikasi untuk pekerjaan mereka. kedua proses Pemodelan dan framing adalah bentuk rancangan yang  memungkinkan siswa untuk mengenali dan memahami struktur dan konvensi dari bentuk dramatis dimana mereka belajar.
Menemukan keseimbangan antara struktur dan fleksibilitas dalam pendidikan drama seharusnya tidak menjadikan tujuan pedagogik menjadi kaku dikurikulum. Sebaliknya, praktisi drama telah mengadopsi proses
pembelajaran yang sesuai. Baik praktek kreatif membuat dan melakukan drama, maupun praktik rancangan pendidikan adalah proses linier, konsep, ide dan perasaan yang ditinjau, direvisi, diperebutkan, ditafsirkan dan dinegosiasi ulang. Dengan demikian, belajar membuat, melakukan dan
menanggapi drama adalah proses siklus, di mana kurikulum terstruktur dengan baik akan memungkinkan untuk refleksi dan eksperimen. Bagian dari keajaiban pengajaran drama tidak hanya terletak dalam memperkenalkan siswa untuk keragaman dramatis bahasa, tetapi juga dalam memberi mereka ruang dan waktu untuk menemukan kesenjangan dan memahami makna yang dibuat.
4.  Pembelajaran Konteks
Salah satu kenikmatan pengajaran drama adalah meskipun ada peningkatan penekanan pada standardisasi dalam pendidikan, tapi sering ada fleksibilitas yang cukup untuk memilih aspek drama yang termasuk dalam kerangka kerja kurikulum tertentu atau program pendidikan. Drama, berdasarkan sifatnya, meliputi tradisi sastra teater barat, teknologi film, televisi dan seni hidup, peristiwa performatif seperti ritual,
karnaval dan teater jalanan, dan spontanitas improvisasi dan roleplay.
Memang, teater antropologi telah memperluas deskripsi drama
, kinerja dan praktek-praktek baru terus muncul sebagai tradisi disandingkan, ditinjau dan ditafsirkan kembali . Dalam prakteknya, ini berarti bahwa setiap kurikulum drama selalu selektif, praktek-praktek dan pedagogi termasuk dalam kelas drama mencerminkan nilai-nilai guru, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan konteks lokal tertentu dalam tempat mereka bekerja.
Sharon Bailin menggambarkan pendekatan pendidikan drama sebagai kreativitas dalam konteks, di mana siswa didorong untuk membuat hubungan antara pekerjaan mereka sendiri dan lainnya practitioners.[15] Dengan cara ini, kreativitas baik inventif dan refleksif merupakan proses di mana siswa terlibat dalam interogasi kritis kedua bentuk dramatis dan ide-ide, perasaan dan nilai-nilai yang mereka berusaha untuk melambangkan dan mewakili. Praktek kritis dan kreatif sangat erat terhubung dan semua drama budaya spesifik, menempatkan penekanan baru pada konteks produksi dan penerimaan dramatis. Bourdieu menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik antara self refleksivitas dan pengertian lainnya. Dalam rangka membangun estetika populer, ia berpendapat, ada kebutuhan baik untuk mengenali dan menginterogasi asumsi sendiri dan memahami konteks sosial di mana karya seni yang diproduksi. Bourdieu menganggap ini sebagai salah satu cara di mana individu dapat memperpanjang cakrawala budaya mereka, melalui kontras nilai-nilai sendiri dengan orang lain, ia berpendapat hal itu menjadi mungkin untuk menghindari jenis kontemplasi diri yang ia sebut sebagai narcissistic.[16]
Mengakui konteks produksi dan penerimaan dramatis adalah salah satu cara untuk menghindari perangkap eksotisme dan kedangkalan wisata budaya yang kadang-kadang menyertai studi dan praktek bentuk dramatis non-Barat. Pendidikan drama tidak menyediakan sebuah forum yang aktif dan dinamis untuk debat , self - interpretasi dan pertukaran budaya . Dengan cara ini, keragaman suara, bentuk dramatis, bahasa budaya dan pengalaman mungkin tidak diakui,diinterogasi dan dihargai .
5.  Budaya Partisipasi
Siswa belajar dengan baik dengan mempraktekan. Namun, apa yang khusus tentang drama adalah bahwa pengalaman belajar tidak hanya pedagogik alat, itu adalah intrinsik dengan bentuk seni itu sendiri. Tidak seperti banyak mata pelajaran lain di kurikulum, drama memerlukan tindakan fisik dan kolaborasi; proses kreatif, keterlibatan kritis dan hidup dengan ide-ide dan praktek-praktek dalam bentuk belajar. Selain itu, sebagai bentuk seni kolaboratif, drama tidak bergantung pada individual, tetapi pada kerja kelompok, siswa diwajibkan untuk bekerja sama untuk mencapai pemahaman bersama dan interpretasi yang disepakati.
Mencapai sebuah budaya partisipasi dalam drama di mana siswa mungkin terlibat dalam perdebatan dan berbagi praktik bijaksana, bagaimanapun tidak semata-mata tergantung pada perilaku siswa, meskipun hal ini jelas penting. Siswa juga didukung sebagai pembelajar kolaboratif ketika mereka memiliki pemahaman yang tepat tentang tujuan dan ruang lingkup drama dan ketika strategi mengajar termasuk dalam pelajaran mengakomodasi cara belajar yang berbeda. Di sinilah konsep bahasa yang dramatis, bila dikombinasikan dengan teori gaya belajar sangat bermanfaat. Penelitian terbaru tentang bagaimana siswa belajar menegaskan tidak mengejutkan bahwa mereka belajar dengan cara berbeda. Michael Fielding menunjukkan bahwa beberapa siswa terutama pelajar visual, lebih memilih untuk belajar melalui kata-kata tertulis, diagram, gambar dan gambar visual lainnya. Beberapa terutama pelajar auditori, merasa lebih mudah untuk belajar melalui pembicaraan, diskusi dan mendengarkan orang lain, dan beberapa siswa yang paling sering mengabaikan metode pengajaran tradisional adalah pelajar kinestetik yang mengingat apa yang mereka lakukan dan pengalaman yang didapat secara fisik, seperti maju kedepan kelas.[17] Apa yang mengejutkan dari deskripsi ini adalah gaya pembelajaran yang berbeda yang mencerminkan praktek drama, yang sering mensintesis aural, visual, kinestetik dan lisan bahasa. Oleh karena itu drama tentu mencakup berbagai gaya belajar dalam bentuk seni itu sendiri. Untuk misalnya, kinestetik peserta didik dapat langsung terlibat ketika mereka mampu mengeksplorasi ide-ide dalam gerakan, dan ketika mereka dapat menggunakan koreografi sebagai bentuk dialog. Peserta didik aural mungkin merasa paling nyaman dengan dinamika suara dan kata yang diucapkan. Pelajar visual mungkin memiliki wawasan tertentu dalam citra visual dan penggunaan ruang. Kekuatan bekerja dalam drama adalah bahwa keterampilan ini dapat dikumpulkan dan semua yang diperlukan untuk praktek kreatif terasa hidup. Dalam hal kepraktisan kelas, sebuah budaya partisipasi tidak bergantung terutama pada niat siswa untuk bekerja sama satu sama lain, namun mereka juga didukung dengan berbagai bentuk dan praktik dramatis . Memang, telah lama diakui bahwa drama adalah media belajar yang kuat dan ini adalah sebagian dijelaskan oleh fakta bahwa multi- modalitas memungkinkan siswa untuk menemukan poin entri yang berbeda ke dalam pekerjaan dan sekali terlibat mereka dapat mengembangkannya yang lebih luas dari gaya belajar .
Mengembangkan budaya partisipasi dalam drama dimana siswa aktif terlibat dalam pembelajaran mereka sendiri adalah salah satu cara untuk menantang jenis pasif yang kadang-kadang dikaitkan dengan budaya pelajar. Sebagai guru juga memungkinkan kita untuk menunjukkan kepedulian terhadap ide-ide siswa. Dalam konteks ini, pendidikan drama menyediakan forum publik untuk dialog, diskusi, debat dan perbedaan pendapat. Ini adalah tempat di mana perbedaan, dan batas-batas perbedaan, mungkin dinegosiasikan dan dieksplorasi. Dalam drama, siswa dapat mengeksplorasi ide-ide dalam percakapan, bernegosiasi dalam gerakan, dan perdebatan dalam gambar visual. Budaya aktif berpartisipasi di kelas drama mengajak siswa  untuk berkomunikasi dengan tubuh mereka serta kata-kata. Keterlibatan aktif dan fisik dalam drama memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemahaman baru. Hal istimewa tentang kurikulum drama adalah bahwa siswa juga diharapkan untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka, baik abstrak atau kompleks, menggunakan kinestetik, aural dan bahasa visual serta kata-kata tertulis. Dengan cara ini, pendidikan drama menawarkan salah satu cara untuk mendorong semua siswa untuk menjadi aktif, pelaku dan pemikir. Dalam praktek drama, dialogis interaksi memungkinkan siswa untuk unfix, menginterogasi dan menafsirkan makna budaya daripada menjadi pasif.
6.  Berfikir Praktis
Dalam pendidikan drama, menurut Michael Fleming dari diam-diam kemudian bergerak untuk pengetahuan eksplisit dalam bentuk dramatis merupakan elemen penting dari sebuah kemajuan.[18] Menghubungkan pengembangan menjadi penilaian, ia berpendapat bahwa siswa
didukung bila mereka memahami tujuan pembelajaran dari pekerjaan, dan
ketika tujuan ini berhubungan dengan kriteria penilaian subjek khusus. Penekanannya pada kriteria penilaian yang berakar kuat dalam substansi dramatis praktek adalah penting, sebagai guru drama kita pasti mendorong siswa untuk mengeksplorasi, menafsirkan, mewakili dan melambangkan nilai-nilai, perasaan dan ide-ide tetapi untuk menilai keyakinan tertentu dan sikap yang dimiliki oleh siswa tampaknya tidak invasif. Akibatnya, drama sepenuhnya dibedakan berdasarkan kurikulum dalam menemukan cara untuk menghargai keterlibatan kognitif dan afektif siswa dengan pekerjaan.
Hal ini mengakui bahwa dalam rentang usia 11-18 perkembangan siswa dalam drama dilihat dari kemampuan mereka untuk mengeksplorasi, menciptakan dan mengkomunikasikan makna menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman proses dan bentuk dramatis. Dalam konteks ini, belajar adalah tentu saja tidak linear tetapi spiral, siswa akan sering kembali pada bidang pembelajaran, dan mengkonsolidasikan, memperdalam dan memperluas pengalaman drama mereka sebagai sebuah kemajuan.
F.  Mengajar Drama untuk Siswa Usia 11-14 Tahun
Jennifer Simons mengeksplorasi hubungan antara drama, narasi, cerita dan role play.[19] Karyanya ini berfokus pada siswa yang lebih muda
dalam kelompok usia ini
banyak di antaranya berada di titik transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Dia menunjukkan cara-cara di mana sebagai guru mungkin membangun pengalaman mereka bekerja dalam di sekolah dasar. Pada tahun-tahun awal pendidikan menengah, dia menyarankan guru harus mendukung siswa dalam pekerjaannya, mendorong mereka untuk belajar, berpikir, dan merasa memahami materi. Bekerja dalam konteks ruang kelas bahasa Inggris, Denise Margetts
menemukan cara untuk membantu murid-muridnya
yang berumur 14 tahun merefleksikan pekerjaan mereka dengan mendorong mereka untuk memahami bagaimana makna dibuat dan disajikan dalam bentuk dramatis. Dia meminta siswa untuk memperlambat proses kerja dengan menangkap dan membingkai momen dramatis menggunakan berbagai bentuk teknologi computer seperti video dan kamera digital . Meskipun konteks pendidikan yang berbeda, kedua proses menekankan pentingnya kolaborasi kerja praktek. Drama menuntut siswa tidak hanya untuk berbagi ide dan wawasan, tetapi juga untuk mewujudkan ide mereka.
G. Mengajar Drama untuk Siswa Usia 14-16 Tahun
Pada saat siswa mencapai usia 14, mereka telah mendapatkan hampir sepuluh tahun pendidikan drama. Siswa pada usia 14 cenderung memiliki pengalaman bekerja dalam berbagai bentuk drama. Mereka mungkin telah terlibat dalam bermain peran atau simulasi. mereka mungkin telah membaca, menulis atau membaca skrip drama, dan menciptakan improvisasi dalam drama. Pada bagian ini siswa usia 14-16 tahun diberi kesempatan untuk meningkatkan struktur drama mereka sendiri dengan menggunakan pengalaman pribadi mereka dan
pengetahuan mereka tentang b
entuk dramatis.
H. Mengajar Drama untuk Siswa Usia 16-18 Tahun
Siswa di usia 16-18 mengembangkan pemahaman mereka tentang drama dengan mengakui hubungan eksplisit ganda dan timbal balik antara konteks produksi dan penerimaan. Pendekatan mengajar drama ini menandai pengaruh teori kritis dan kinerja pada praktik pendidikan. Janelle Reinelt dan Joseph Roach menunjukkan sesuatu yang menarik dalam konteks penampilan telah mengubah pandangan bahwa drama mengkomunikasikan kebenaran sejarah secara umum.[20] Hal ini berarti dari pada meminta siswa untuk menemukan tema  secara umum atau makna yang tersembunyi teks dramatis, lebih baik diarahkan untuk mengeksplorasi  berbagai interpretasi.

I.    Proses Belajar Mengajar Drama
Dalam proses belajar mengajar drama ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dan siswa, seperti yang dirumuskan oleh Rainer dan Lewis dalam figure dibawah ini.[21]
Berdasarkan waluyo (2001) yang dimaksud dengan proses belajar mengajar adalah apa yang disebut “Metode” oleh Mac key di dalamnya terdapat keseluruhan peristiwa seperti Seleksi, Grasi, Prsentasi, Repetisi, Evaluasi.[22]
1.  Seleksi atau pemilihan materi
Seleksi materi ditentukan oleh pengajaran ini. Untuk melatih keterampilan mana, konsep, informasi, prspektif, apresiasi atau justru tujuan pengajaran drama dapat mentaskan atau dapat mengadakan festival drama. Hal ini memerlukan sleksi materi, dalam hal jenis, panjang, mutu,tingkat kesulitan, jumlah pemain dan sebagainya.
2.  Gradasi (urutan penahapan)
Debora Elkin menyatakan, bahwa latihan-latihan drama harus mengarah pada pementasan dan festival drama. Untuk pementasan drama hendaknya dimulai dari role flying atau (bermain peran). Role flying lebih baik jika bersumber pada hasil observasi terhadap suatu kejadian tertentu (misalnya; percakapan di terminal bis, rapat desa, transaksi dagang, peristiwa-peristiwa yang terjadi).
3.  Persentasi atau teknik penyampaian
Untuk dapat menghayati naskah drama dengan lebih baik, dapat juga di berikan tugas menulis naskah drama kepada siswa. Penulisan juga dimulai dengan naskah role flying kemudian naskah dari saduran cerita atau cerita populer dari karya sastra, dongeng atau film.
4. Pengulangan
Materi yang sudah diberikan harus diulangi dalam bentuk ulasan guru atau tanya jawab, dapat juga berwujud resensi terhadap drama yang sudah dibaca, dilihat atau ditulis. Parafrase dari bentuk drama kedalam bentuk prosa, dapat juga merupakan repetisi, contohnya; mendiskusi, menonton ditempat lain, mementaskan sendiri (naskah) menulis drama dengan tema yang sama dan sebagainya merupakan repetisi.
5. Evaluasi dalam pengajaran drama
  Evaluasi untuk apresiasi drama dalam hal pemahaman naskah, pada hakikatnya sama dengan evaluasi dalam pengajaran sastra.
  Tes informasi merupakan tingkat tes paling rendah, sebab itu butir soal yang lebih banyak
  Evaluasi dalam tugas individual dalam penampilan memerankan dalam suatu tokoh.
• Tugas kelompok dalam mementaskan role flying.
J.  Strategi Pengajaran Teks Drama (Sebagai Karya Sastra)
1. Strategi strata
Strategi ini diciptakan oleh leslie stratta dan dapat diterapkan untuk drama dan prosa fiksi. Ada tiga tahap pengajaran dalam strategi ini, yaitu; (1) tahap penjelajahan, (2) interprestasi dan (3) rekreasi.
2. Langkah –langkah penyajian
Sebelum guru dapat mengajarkan satu drama di dalam kelas ia harus mengadakan dua macam persiapan yaitu memilih bahan yang cocok untuk kelasnya dan menyusun persiapan guna dapat mengajarkan dengan baik, sebelum ia siap untuk membawa bahan itu ke kelas.
3.  Strategi induktif Model Taba
Model ini dikemukakan oleh Hilda Taba. Model pengajarannya bersifat induktif, dan biasanya strategi induktif cocok untuk pembahasan sastra. Data-data sastra dapat langsung diteliti siswa, kemudian diadakan penyimpulan-penyimpulan. Hal ini sesuai dengan pendekatan apresiasi yang telah dikemukakan hilda Taba yaitu mengembangkan model pengajaran yang berorientasi pada pengelolaan informasi.
4.  Strategi analisis
Strategi ini disebut strategi analisis karena menitik beratkan pada frase analisis terhadap tema sebagai hasil akhir, setelah penguraian penokohan, plot, hubungan sebab akibat dan sebagainya, yang kemudian disusul dengan pemahaman hal atau unsur yang abstrak dari naskah drama. S.H burton menyatakan bahwa yang harus dianalisis adalah makna harfiah dari naskah, sikap pengarang terhadap tuliasnya dan pembacanya tujuan yang hendak dicapai melalui tulisannya, jenis, dan gaya tulisan tersebut.

5.Strategi sinektik atau Model Gordon
Strategi ini dikembangkan oleh Gordon dalam bukunya The Metaforical Way of Learning knowling. Dalam strategi ini dikombinasikan oleh beberapa unsure yang berbeda dan nyata. Treffenger memasukan metode ini dalam pembentukan kreatifitas pada tahap kedua.
6. Role playing atau Bermain Peran
Sebetulnya metode ini termasuk pementasan drama yang sangat sederhana. Peran diambil dari kehidupan nyata sehari-hari (bukan imajinatif). Dari aspek role flying dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan memecahkan masalah, dan pemahaman terhadap permasalahan pokok.
7.Simulasi
Arti sederhana dari simulasi adalah ”peniruan dari keadaan yang sebenarnya”. Dari masa orde baru simulasi ini banyak sekali digunakan untuk penataran P/04 dari tingkat kampung sampai tingkat nasional (penulis adalah manggala BP/07). Strategi simulasi adalah strategi untuk memberikan kemungkinan murid agar ia dapat menguasi suatu ketrampilan melalui latihan dalam situasi tiruan.
K. Strategi Pembelajaran Drama Pentas
1.  Pementasan drama di kelas
Pementasan drama di kelas terkait pelajaran bahasa indonesia aspek sastra dapat berupa pementasan satu naskah drama oleh satu kelompok, dapat berupa kelompok atau kelompok-kelompok yang dibentuk dari seluruh murid di kelas. Pada waktu pementasan, murid yang tidak mendapatkan giliran berpentas dapat ditugasi sebagai pengamat. Yang dipentaskan tentulah drama-drama pendek denagn durasi 30 menit sampai 35 menit sehingga tersisa waktu diskusi dalam satu jam pelajaran. Jika ada jam pelajaran yang berurutan, dapat mementaskan drama denagn durasi 60 menit.
2.  Pementasan drama oleh teater sekolah
Pementasan oleh teater sekolah dapat memilih teks drama karya dramawan dengan durasi lebih dari satu jam(rata-rata 90 menit sampai 180 menit). Untuk pementasan sekolah hendaknya di pilih naskah-naskah yang kominakatif, yang mudah dipahami, memiliki konflik batin yang kuat dan atraktif.
3.  Teknik pembinaan apresiasi drama
Kata ”pembinaan” di sin dapat bermakna dua yaitu pembinaan hal yang sudah terlaksana supaya lebih baik, dan juga berarti membuat yang belum ada, menyelenggaraan pembinaan. Sulitnya naskah drama dan belum tentu setiap guru mampu menyutradarai drama menjadikan prospek pengajaran drama kurang memuaskan. Tanpa pembaca naskah sendiri oleh siswa dan menonton pertunjukan drama sendiri, maka pembinaan ini sulit dilakukan.

4.  Catatan tambahan tentang pemilihan materi
Pemilihan bahan naskah drama untuk diajarkan memenuhi kriteria:
   Sesuai dan menarik bagi tingkat kematangan jiwa murid
• Jika tingkat kesulitan bahasanya sesuai untuk tingkat kemampuan bahasa murid yang akan menggunakannya.
• Bahasanya sedapat mungkin mengguankan bahasa yang standar kecuali kalau cerita mempermaslahkan penggunaan dialeg.
   Isinya tidak bertentangan dengan haluan negara kita.




















DAFTAR PUSTAKA

Cuddon, J. A., Literary Terms and Literary Theory. Oxford: Blackwell Publishers, 1996.
Hornby et al., Oxford Advance Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1987.
KBBI. “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” Pusat Bahasa Depdiknas.  http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (diakses 30 November 2013).
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies. New York: Routledge. 1999.
Koesoemawiria, Edith, “Rubrik International”, Deutsche Welleh, http://www.dw.de/alice-munro-menangkan-nobel-sastra (diakses 30 November 2013).
Koven, Mikel J. Film, folklore, and urban legends. United States of America: Scarecrow Press, Inc. 2008.
Lewis, Martin and Rainer, John. Teaching classroom drama and theatre: practical projects for secondary schools. USA and Canada: Routledge. 2005.
M. Dahlan Yacub Al Barry. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Surabaya: Arkola, 2001.
Nicholson, Helen  and the contributors. Teaching Drama. Great Britain: Biddies Ltd. 2000.
Waluyo, Herman. Drama Teori dan Pengajaranya. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya. 2001.
Penulis pro, “Penulis pro”, Penulis pro Online,  http://blog.penulispro.com/syarat- masuk-nominasi-nobel-sastra (diakses 1 Desember 2013).



[1] Hornby et al., Oxford Advance Learner’s Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1987), h. 37.
[2] M. Dahlan Yacub Al Barry., Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Surabaya: Arkola, 2001),h. 46.
[3]Hornby et al, op. cit., h. 496.
[4] Mario, Klarer,  An Introduction to Literary Studies (New York:Routledge, 1999), h. 1.
[5] J. A. Cuddon, “Literary Terms and Literary Theory” (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), h. 216.
[6] Mario, Klarer, op. cit., h. 43.
[7] KBBI, “Kamus Besar Bahasa Indonesia.,”, Pusat Bahasa Depdiknas;   http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (diakses 30 November 2013).

[8]   Penulis pro, "Penulis pro" Penulis pro Online. http://blog.penulispro.com/syarat-masuk-nominasi-nobel-sastra (diakses 1 Desember 2013).
[9] Winston, J. (1998) Drama, Narrative and Moral Education (London: Palmer Press).
[10]   Fleming, M. (1994) Starting Drama Teaching (London: David Fulton), p. 22.
[11] Merleau-Ponty, M. (1973) The Prose of the World (trans. J. O'Neill) (London:Heinemann), p. 17.
[12] O'Toole, J. (1992) The Process of Drama: Negotiatihng Art and Meaning (London: Routledge), pp. 226-7; Vygotsky, L. (1978) Interaction between Learning and Development in Mind and Society (Cambridge, MA: Harvard University Press)
[13] Wollheim, R. (1987) Painting as an Art (Princeton, NJ: Princeton University Press), pp. 16-25.
[14] Pascoe, R. (1997) 'Research and the arts in schools: a two-way dialogue'. NAD IE Journal, 21(2), 33-48
[15] Bailin, S. (1998) 'Creativity in context', in D. Hornbrook (ed.) On the Subject of Drama (London: Routledge), pp. 36-50.
[16] Bourdieu, P. (1996) The Rules of Art (trans. S. Emanuel) (Cambridge: Polity Press), p. 302.
[17] Fielding, M. (1996) 'How and why learning styles matter: valuing difference in teachers and learners', in S. Hart (ed.) Differentiation and the Secondary Curriculum (London: Routledge), pp. 81-103.
[18] Fleming, M. (1994) op. cit., p. 143.

[19] See Helen Nicholson, 2000. Teaching Drama. (Great Britain: Biddles Ltd). P. 13
[20]See Helen Nicholson 2000, op.cit. p. 117
[21] Martin Lewis and John Rainer. Teaching classroom drama and theatre: practical projects for secondary schools. USA and Canada: Routledge. 2005. p. 15
[22] Waluyo herman. Drama teori dan pengajaranya. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya. 2001. p.23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar