Kamis, 20 November 2014

TEORI KOGNITIF SOSIAL DAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVIS (Sosial Cognitive and Constructivist Theory of Learning)



Makalah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan
TEORI KOGNITIF SOSIAL DAN TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVIS
(Sosial Cognitive and Constructivist Theory of Learning)











DISUSUN OLEH KELOMPOK 7:
AHDA SADIDANSYAH (No.Reg. 7316130241)
MIDA SULFIANA (No.Reg.731613271)



PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014

DAFTAR ISI
 COVER .................................................................................................... 1
I.                   HAKIKAT TEORI KOGNITIF SOSIAL
a.       Pengertian Teori Kognitif Sosial ............................................ 3
b.      Penerapan Teori Sosial Kognitif ............................................ 4
c.       Pengertian Self-Efficacy dan Self-Regulation dalam
Kognitif Sosial ....................................................................... 5
II.                HAKIKAT TEORI KONSTRUKTIVISME
a.       Teori Konsruktivisme ............................................................ 8
b.      Konstruktivisme kognitif ....................................................... 9
c.       Konstruktivisme Sosial .......................................................... 9
d.      Dimensi-dimensi pengajaran konstruktivisme ...................... 10
e.       Implikasi teori Konstrutivisme dalam Pembelajaran ............ 11
Glosarium .................................................................................... 13
Daftar pustaka ............................................................................. 14

















I.                   HAKIKAT TEORI KOGNITF SOSIAL

A.    Teori Kognitif Sosial

Pembahasan mengenai kognitif sosial memerlukan pemahaman yang menyeluruh kepada aspek kognitif dan sosial berkaitan dengan pembelajaran. Pada awal pembahasan tentang psikologi pendidikan telah dijelaskan seputar pemahaman perkembangan kognitif. Demi mendapatkan pemahaman secara jelas dan utuh mengenai teori kognitif sosial, maka dibutuhkan pendalaman pengetahuan mengenai aspek kognitif dan sosial dalam meninjau hal-hal yang berhubungan dengan kognitif dan sosial.
Teori kognitif sosial yang berkaitan dengan pembelajaran siswa menguraikan konsep pengembangan proses kognitif yang diaplikasikan dan diwujudkan ke dalam aspek sosial terutama di ranah pendidikan. Kita mesti mengetahui penggambaran apa yang bisa dihadirkan dalam memahami konsep kognitif sosial. Untuk itu kita terlebih dahulu mendeskripsikan hal-hal yang berhubungan dengan aspek kognitif dan aspek sosial. Teori kognitif sosial mempunyai dua aspek yang tak terpisahkan dalam hubungannya dengan proses pembelajaran karena kedua aspek tersebut saling berinteraksi dan berpengaruh satu sama lain, yaitu aspek kognitif dan aspek sosial atau lingkungan.
Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan mengenai proses kognitif yang didefinisikan sebagai perubahan dalam pemikiran, kecerdasan dan bahasa anak. Bila dikembangkan pengertian tentang konsep kognitif, bisa didapatkan pemahaman tentang definisi kognitif sebagai faktor yang mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi, pemikiran, dan kecerdasan. (Santrock, 2008: 285). Di lain sumber mengatakan bahwa definisi kognitif diartikan sebagai proses yang terjadi secara internal di dalam otak pada waktu manusia sedang berpikir (Martinis, 2010: 8). Faktor dalam hal ini konteks sosial dalam pembelajaran bisa dideskripkan sebagai lingkungan yang mana proses kognitif tersebut dapat diaplikasikan melalui cara mengamati tindakan dan konsekuensi orang lain. Dengan demikian, konsep teori kognitif sosial dapat didefinisikan sebagai teori yang menambahkan faktor-faktor kognitif, seperti keyakinan, persepsi-diri, dan ekspektasi pada teori pembelajaran sosial (Woolfolk, 2009: 125).
Pembahasan utama mengenai teori kognitif sosial dipelopori oleh Albert Bandura, salah satu penggagas perspektif teori kognitif sosial. Bandura memfokuskan kajiannya terhadap faktor-faktor dominan yang berpengaruh pada teori sosial kognitif, seperti:
1.      Faktor Perilaku
2.      Faktor Personal
3.      Faktor Lingkungan
Ketiga faktor tersebut saling memberikan pengaruh timbal balik dalam hal pembelajaran yang membentuk satu interaksi kuat yang dinamakan Determinasi Resiprokal.
B.     Penerapan Teori Kognitif Sosial
Proses pembelajaran dengan merepresentasikan paham teori kognitif sosial dapat diterapkan melalui Model Pembelajaran Observasional, yang juga disebut sebagai imitasi atau modeling. Santrock (2008: 286) mendefinisikan istilah tersebut sebagai metode pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Untuk menempuh model pembelajaran tersebut, Bandura (1986) menyebutkan empat proses spesifik yang terlibat dalam pembelajaran, yaitu:
1.      Atensi (Perhatian), proses secara sadar atas sebongkah kecil informasi dari keseluruhan informasi yang tersedia, dari penginderaan maupun proses kognitif lainnya.
2.      Retensi (Ingatan), proses di mana informasi yang diperoleh dari observasi dapat digunakan atau bisa bermanfaat di saat ia membutuhkan informasi tersebut. Bandura berpendapat bahwa terjadi retentional process, dimana informasi disimpan melalui dua cara yaitu secara imajinasi atau secara verbal  
3.      Produksi, proses menerjemahkan citraan atau deskripsi model ke dalam bentuk perilaku nyata. Pada tahap ini kita dituntut untuk berimprovisasi dari hasil Atensi dan Retensi tadi sehingga menghasilkan suatu perilaku yang mungkin baik atau berdampak buruk bagi kita.
4.      Motivasi, proses penguat tindakan yang muncul dari dalam diri individu berdasarkan pada apa yang dikatakan atau dilakukan oleh model.
Selain itu, penerapan teori sosial kognitif dalam hal pembelajaran dan pengajaran di bidang pendidikan melibatkan dua elemen penting, yaitu Self-Efficacy dan Self-Regulated Learning.
*      Self-Efficacy
Fungsi utama daripada menerapkan teori sosial kognitif yaitu untuk mengenali dan mengidentifikasi kemampuan seorang siswa yang bisa dikontribusikan dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dilakukan secara strategis dan logis. Maka muncul pertanyaan dari dalam faktor kognisi tentang keyakinan seorang siswa apakah hasil prediksi dari tindakan strategis tadi akan mampu atau tidak dalam menyelesaikan pokok persoalan yang dihadapi dengan baik. Prediksi akan hal tersebut dapat memengaruhi motivasi individu. Bentuk kasus yang menyinggung permasalahan mengenai keyakinan tadi dibahas dalam pengertian yang dinamakan self-efficacy (efikasi diri). Menurut Woolfolk (2009: 127), istilah ini didefinisikan sebagai keyakinan individu tentang kompetensi atau efektivitas pribadi di bidang tertentu. Bandura (dalam Woolfolk, 2009) memaknai efikasi-diri sebagai “keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu.” Pada prinsipnya, efikasi diri ini lebih melihat kepada pengetahuan dan perasaan seseorang akan kemampuannya sendiri dalam menuntaskan persoalan tersebut tanpa membandingkan dari kemampuan orang lain. Oleh karena itu, dari pendeskripsian istilah efikasi diri dapat disimpulkan bahwa dalam menyeleseaikan suatu persoalan, masing-masing individu memiliki keyakinannya tersendiri menghadapi situasi tersebut dan menghasilkan hasil positif. 
Woolfolk (2009: 128) mengemukakan bahwa sumber pemicu timbulnya keyakinan yang kuat pada diri individu berasal dari empat hal, yaitu:
1.      Mastery Experience, yaitu Sumber keyakian yang berasal dari pengalaman langsung individu dalam proses memperoleh pengetahuan.
2.      Physiological and Emotional Arousal, yaitu pengaruh reaksi fisik dan emosi terhadap hasil penginterpretasian sesuatu yang menyebabkan seseorang merasa siaga, bergairah, atau tegang.
3.      Vicarious Experience, yaitu proses pencapaian pengetahuan dengan cara melihat pengalaman orang lain sebagai model penyelesaian persoalan.
4.      Social Persuasion, yaitu kemampuan yang dikerahkan sebagai bentuk upaya memperoleh timbal balik atas hasil kinerja individu demi mencapai kesuksesan.

*      Self-Regulated
Pengapilkasian pengetahuan siswa terhadap pemahaman dlaam pembelajaan dapat dilakukan melalui satu metode yang dinamakan Self-Regulated Learning.         Barry Zimmerman (2002) dalam Woolfolk (2009: 130) menyatakan pengertian self-regulation sebagai proses dalam pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi individu dalm menggapai tujuan tertentu. Di lain pihak, pemahaman tentang self-regulated learning terfokus kepada pemunculan dan pemonitoran sendiri terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku siswa dalam meraih suatu tujuan (Santrock, 2008: 296). Tentu saja tujuan yang dimaksud dari definisi di atas menyangkut hal kognitif yang bersifat akademik dalam meningkatkan kompetensi siswa tersebut dan berkenaan dengan pengendalian emosi dalam bersosialisasi dengan sesama siswa lain. Dalam praktiknya, kriteria pembelajaran menggunakan metode tersebut lebih mengarah kepada menuntut siswa untuk lebih mengorganisir keterampilan belajarnya secara mandiri dan teratur sehingga mereka bisa tetap terus belajar secara mandiri sepanjang hidupnya. Keterampilan belajar ini memadukan kemampuan akademik dan pengendalian diri dalam membuat proses pembelajaran terasa lebih mudah. Kebanyakan siswa yang berprestasi tinggi memiliki kemampuan mengontrol proses belajar mereka sendiri dengan menyiasati dan memonitor proses belajar lebih menjanjikan dalam menghasilakan kompetensi yang unggul.
Dibalik tujuan siswa menetapkan standar kompetensi mereka selalu ada yang mempengaruhi keputusannya mengaplikasikan metode belajar ini. Woolfolk (2009: 131) merincikan tiga faktor yang mempengaruhi siswa dalam menerapkan regulasi-diri (self-regulation), diantaranya: (1) faktor pengetahuan, (2) faktor motivasi, (3) faktor disiplin-diri atau volition (kemauan-diri). Faktor pengetahuan dalam menciptakan individu self-regulated mendalami peran diri sendiri mengenali seluk-beluk pribadi akan ketertarikannya kepada konteks pembelajaran. Faktor motivasi dapat menggerakkan siswa untuk lebih belajar giat melalui cara menghargai pelajarn yang mereka sukai dan mendapatkan manfaat dari ilmu yang disukainya tersebut sehingga siswa mampu memahami alasan tersendiri mengapa ia harus belajar karena itu pilihannya sendiri. Faktor disiplin-diri berasal dari kekuatan kemauan yang mana pada akhirnya menentukan komitmen siswa dalam membentengi diri dari berbagai gangguan demi terwujudnya tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Woolfolk (2009: 132), model pengembangan kompetensi siswa menggunakan pembelajaran self-regulated mengarahkan kapabilitas siswa menata berbagai kemampuan belajar, motivasi, dan emosi dalam meraih tujuan. Ia mengklasifikasikan fase-fase pada pembelajar self-regulated ke dalam empat tahap: (1) menganalisis tugas, (2) menetapkan tujuan, (3) merancang rencana, (4) menerapkan taktik dan strategi, (5) meregulasi pembelajaran. Proses pembelajaran dengan menerapkan self-regulated mampu membuat daya kognitif siswa menjadi lebih berkembang terhadap penyesuaian diri kondisi lingkungan di sekitarnya.     
Di lain pihak, Santrock (2008: 296) menjelaskan bahwa setiap siswa bisa meregulasi diri sendiri cara belajar dan berpikir mereka demi menetapkan atau merengkuh tujuan utama siswa meraih prestasi yang tinggi dengan melakukan hal-hal berikut ini:
1.      Mengevaluasi dan memonitor diri sendiri
2.      Menentukan tujuan dan perencanaan strategis
3.      Melaksanakan rencana dan memonitornya
4.      Memonitor hasil dan memperbaiki strategi
.
II.                HAKIKAT TEORI KONSTRUKTIVISME
A.    Teori Konstruktivisme
Pandangan konstruktivisme dilandasi oleh para pemikir seperti Piaget, Vygotsky, dan Brunner (Woolfolk, 2009:145). Konstruktivisme merupakan sebuah pandangan dimana pelajar lebih aktif pada proses pembelajaran dalam membangun pemahaman dan memahami informasi. (Jamaris, 2010:207). Konstruktivisme dikenal sebagai pendekatan dalam psikologi yang memandang bahwa anak dapat membangun pemahaman serta pengetahuan mereka sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membelajarkan dirinya sendiri melalui berbagai pengalaman yang telah dimilikinya (Woolfolk,2009:145).
Penerapan teori konstruktivisme memandang bahwa belajar bukan hanya sekadar menerima secara pasif informasi yang disampaikan oleh guru. Sehingga bentuk pembelajaran berupa pengonstruksian pengetahuan yang bersifat aktif dan personal. Sebagai contoh, ada seorang anak dengan ayahnya sedang berjalan-jalan di sepanjang pantai. Kemudian sang anak menemukan kulit kerang abalone dan secara aktif bertanya mengenai abalone pada ayahnya. Dalam pandangan konstruktivisme hal yang dilakukan anak tersebut merupakan pengetahuan yang sedang dikonstruksikan tentang makhluk-makhluk laut dan kegunaanya. Berdasarkan hal tersebut maka pembelajaran menurut konstruktivisme mendorong siswa dalam menggunakan pengalaman dan pengetahuannya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dan selanjutnya siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri sebagai hasil daripemahamannya terhadapa masalah yang sedang dihadapinya.
Pendekatan konstruktivisme ini dapat diaplikasikan pada bidang pendidikan seperti sains dan matematika, psikologi dan antropologi, serta komputer. Untuk lebih mempermudah mengorganisasikan tentang pandangan-pandangan konstruktivisme, maka konstruktivisme dibagi menjadi dua yakni konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme sosial.
Para konstrukivis memiliki tujuan pembelajaran yang hampir mirip. Mereka lebih menekankan bahwa belajar guna mendapatkan pengetahuan yang kemudian digunakan daripada disimpan sebagai konspe atau keterampian yang tidak diaktifkan. Mereka berpendapat tujuan pembelajaran juga termasuk mengembangkan kemampuan untuk menemukan dan mengatasi masalah-masalah yang rumit yang membutuhkan pemikiran kritis, self determinatiaon dan keterbukaan terhadap berbagai macam perspektif (Driscoll, 2005 dalam Woolfolk, 2009:151)
B.     Konstruktivisme kognitif
Konstruktivisme kognitif memfokuskan pada kehidupan psikologis dalam diri seseorang. Konstruktivisme kognitif menekankan pada proses kognitif dimana dalam pembelajaran, individu belajar memahami sesuai dengan tahap perkembangan kognitif dan cara belajarnya. Pendekata konstruktivisme juga menggunakan teori pemrosesan informasi yang bersifat konstruktivis. Pendekatan pemrosesan informasi tentang pembelajaran menganggap bahwa pikiran manusia  sebagai sebuah sistem pemroses simbol. Sistem ini mengonversi input sensorik menjadi struktur simbol (proposisi, gambaran, atau skema), dan kemudian memproses dengan cara me-rehearse ata mengelaborasi struktur simbol itu sehingga pengetahuan dapat disimpan dalam ingatan dan di –retrieve.
C.    Konstruktivisme Sosial
Kosntruktivisme sosial lebih menekankan proses dalam memaknai dan memahami sesuatu dengan bantuan orang-orang di sekitar individu. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial, perangkat kultural, dan aktivitas menentukan perkembangan dan pembelajaran individual sama seperti cerita seorang anak yang sedang di pantai bersama ayahnya di atas. Dengan cara melakukan aktivitas bersama orang lain, pembelajar appropiate (mengaprosiasikan), menginternalisasikan atau mengambil untuk dirinya sendiri produk-produk yang dihasilkan dengan cara bekerja bersama-sama. Hasil yang didapatkan dapat berupa strategi maupun pengetahuan baru. Teori konstruktivisme sosial ini banyak menyandarkan diri pada interaksi sosial dan konteks kultural. Vygotsky juga memberikan pandangan mengenai konstruktivisme sosial ini. Salah satu keunggulan teori pembelajarannya yakni cara belajar yang mempertimbangkan psikologis maupun sosial. Kosnep pembelajaran Vygotsky yang terkenal adalah Zone of Proximal Development dan scaffolding (Woolfolk, 2009:147). Salah satu cara untuk memasukkan konstruktivisme ke dalam individual dan sosial adalah dengan “memikirkan pengetahuan yang dikonstruksikan secara individual dan di mediasi secara sosial” (Windschitlt, 2002 dalam Woolfolk, 2009:148)
D.    Dimensi-dimensi penagajaran konstruktivisme
Untuk lebih memahami pelaksanaan pembelajaran konstruktivisme, berikut ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam mengaplikasikan pengajaran konstruktivisme.
1.      Lingkungan pembelajaran yang kompleks dan tugas-tugas yang autentik. Para kosntruktivis meyakini bahwasiswa seharusnya tidak diberikan masalah atau soal-soal yang sederhana dengan diajari keterampilan-keterampilan dasar, tetapi harus dihadapkan pada lingkungan pembelajaran yang kompleks. Dengan hal ini sekolah seharusnya memastika setiap siswa memiliki pengalaman untuk menyelesaikan yang kompleks. Berkaitan dengan pandangan konstruktivisme terhadap kemampuan siswa dalam membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri maka, penggunaan kurikulum yang standar perlu dihindari. Oleh karena it hendak nya kurukulum dikembangkan berdasarkan pengetahuan aktual yang dimiliki siswa..
2.      Negosiasi sosial. Bentuk kolaborasi sosial dianggap penting dalam konstruktivisme. Language Development and Hypermedia group mengatakan “tujuan utama pengajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa unuk menegakkan dan mempertahankan pendapatnya” Woolfolk, 2009:152) akan tetapi tetap menjaga dan menghormati pendapat orang lain. Sehingga tetapi bisa bekerjasama untuk menegosiasi dan mengonstruksikan makna. Untuk dapat terlaksana, maka siswa harus bertukar pendapat dengan cara berbicara dan mendengarkan (diskusi).
3.      Banyak perspektif dan representasi isi. Pemebalajaran konstruktivis ini mengaharapka siswa akan lebih memilki pandangan yang lebih luas. Ketika mereka menyelesaikan maslaah, maka siswa bisa menyediakan multiple representations of content dengan menggunakan berbagai macam analogi, contoh, dan metafora.
4.      Memahami proses pengonstruksian pengetahuan. Pendekatan konstruktivis menekankan kesadaran siswa akan peran mereaka sendiri dalam mengonstruksikan pengetahuan (cunningham, 19912 dalam Woolfolk, 2009:153). Tentu saja hal ini harus diddukung dengan asumsi, keyakinan serta pengalaman siswa yang nantinya akan menentukan mereka mengetahui tentang susatu hal di dunia ini.
5.      Rasa memiliki pembelajaran. Rasa memiliki pada diri siswa bukan berati guru mengabaikan tanggung jawab mereka dalam tugas mengajar. dalam ini siswa diharapkan memiliki kesadaran bahwa setiap proses pembelajaran bisa menjadi miliki mereka (ownership of learning).

E.     Implikasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Pandangan konstruktivis lebih menekankan pada siswa mencari dan membangun penegtahuannya sendiri berdasarakan pengalaman mereka, maka berikut penerapan teori konstruktime dalam pembelajaran.
Pertama, guru menerapkan metode Vygotsky berupa ZDP mupun scaffolding. Guru memberikan proses bimbingan pada siswa berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki terhadap apa yang harus diketahuinya. Pada saat mengembangkan keterampilan siswa, maka guru hatrus mempertimbangkan aspek-aspek seperti; keterampilan yang belum dikuasi siswa, keterampilan yang tidak dapat dilakukan siswa, keterampilan yang mungkin dapat dilakukan siswa, serta keterampilan yang dapat dilakukan siswa dengan  bantuan orang lain. Guru bisa mendorong siswa agar menegmukakan pengetahuan tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru dapat memnacing dengan pertanyaan secara open-ended.
Kedua, guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterprerasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Hal ini akan memunculkan rasa ingin tahu siswa tentang pengetahuan baru.
Ketiga, siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkanpada hasil observasi siswa sendiri, ditambah dengan penguatan yang diberikan oleh guru. Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari.
Keempat, guru berusaha menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konspetualnya, baik melalui kegiatan maupun dengan pemunculan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu di lingkungan siswa tersebut.
Berikut adalah contoh penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran.










Glosarium
Determinisme Resiprokal: Istilah yang merujuk kepada adanya pengaruh timbal balik kuat dari faktor-faktor perilaku, personal, lingkungan yang saling berhubungan.
Retensi: proses di mana informasi yang diperoleh dari observasi dapat digunakan atau bisa bermanfaat di saat ia membutuhkan informasi tersebut
Self-Efficacy: keyakinan seseorang akan kapabilitasnya untuk mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian tertentu
Mastery Experience: Sumber keyakian yang berasal dari pengalaman langsung individu dalam proses memperoleh pengetahuan.
Vicarious Experience: proses pencapaian pengetahuan dengan cara melihat pengalaman orang lain sebagai model penyelesaian persoalan.
Social Persuasion: kemampuan yang dikerahkan sebagai bentuk upaya memperoleh timbal balik atas hasil kinerja individu demi mencapai kesuksesan.
Self-Regulated: proses dalam pembelajaran yang digunakan untuk mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku, dan emosi individu dalm menggapai tujuan tertentu.
Appropiate : (mengapropriasikan) menginternalisasikan atau mengambil untuk diri pengetahuan dan keterampilan yang dikemabangkan dalam interaksi dengan orang lain atau dengan alat-alat budaya.
Multiple representations of content : Mempertimbangkan berbagai masalah dengan menggunakan berbagai analogi, contoh dan metafora.
Retrieval : proses mencari dan menemukan informasi dalam ingatan jangka panjang.
Scaffolding : (perancah) dukungan untuk belajar dan problem solving. Dukungan itu dapat berupapetunjuk, pengingat, memberi semangat, memecah masalah menjadi langkah-langkah, memberika contoh, atau hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh sebagai pembelajar yang mandiri.
Zone of Proximal Development : (zona perkembangan proksimal) Fase perkembangan seorang anak yang dapat menguasai sebuah tugas bila diberi banuan dan dukungan yang tepat guna.

DAFTAR PUSTAKA
Jamaris, Martini. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Penamas Murni.
Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology Bagian Kedua ( edisi terjemahan). Yogyakarta:Pustaka Belajar.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar