Kamis, 20 November 2014

jarum sajarah pengetahuan



JARUM SEJARAH PENGETAHUAN



Makalah Ini Disusun Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu



Dosen Pengampu:
Dr. Endang Koenmarjati, M.Pd
Dr. Hanif Pujiati




Oleh:
Karmila No. Reg. 7316130265
Reni Oktaviani No Reg. 7316130283






PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Sebelum abad ke 17, tidak ada perbedaan antara jenis-jenis pengetahuan. Konsep dasar pengetahuan adalah kriteria kesamaan bukan perbedaan. Pada masa itu, pengetahuan bersifat universal dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu seperti raja atau orang pintar. Seorang kepala suku misalnya dia merangkap sebagai hakim, penghulu, panglima perang dan ahli pengobatan.
Setelah berkembangnya abad penalaran pada pertengahan abad ke 17 konsep dasarnya berubah dari kesamaan kepada perbedaan berbagai pengetahuan yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pada masa ini, manusia telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang berasal dari pengalaman pribadi maupun kelompok, yang berhubungan dengan bagaimana cara seseorang atau kelompok itu menemukan pengetahuan itu.
Pohon pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Pengetahuan merupakan kumpulan ilmu untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari yang ditemui manusia. Dalam filsafat ilmu, pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita.



B.  Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari sejarah?
2.      Apa definisi dari pengetahuan?
3.      Bagaimana jarum sejarah pengetahuan?

C.  Tujuan penulisan makalah
1.      Mengetahui definisi dari sejarah.
2.      Mengetahui definisi dari pengetahuan.
3.      Mengetahui jarum sejarah pengetahuan.

















BAB II
Landasan Teori
         
A.           Pengertian Sejarah
          Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang artinya pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju. Maka dari itu, sejarah diumpamakan menyerupai perkembangan sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang paling kecil yang kemudian bisa diartikan silsilah. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah (history) berarti masa lampau umat manusia. Sedangkan dalam bahasa Jerman, kata sejarah (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin dan Yunani, kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai.[1]
Menurut Dr. Kuntowijoyo sejarah dapat diartikan dua macam:
1.    Sejarah dalam arti negatif
a.    Sejarah itu bukan mitos
Meskipun sama-sama menceritakan masa lalu, sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadiannya tidak masuk akal di masa sekarang. Contoh mitos dari Jawa tentang Raja Dewatasangkar, pemakan manusia yang dikalahkan oleh Ajisaka, sedangkan dalam sejarah semua peristiwa secara tepat diceritakan waktu dan tempat terjadinya.
a.    Sejarah bukan filsafat
Sejarah mempelajari sesuatu yang konkret, sedangkan filsafat itu abstrak dan spekulatif, dalam arti hanya berkaitan dengan pikiran umum.
b.    Sejarah bukan ilmu alam
Sejarah menuliskan sesuatu yang khas atau unik, sedangkan ilmu alam menuliskan sesuatu yang umum.
c.    Sejarah itu bukan sastra
Perbedaan sejarah dengan sastra ada 4 hal yaitu cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan.
2.    Sejarah dalam arti positif
a.    Sejarah adalah ilmu tentang manusia
Karena yang dipelajari adalah manusia dalam sebuah peristiwa bukan cerita masa lalu manusia secara keseluruhan.
b.    Sejarah adalah ilmu tentang waktu
Sejarah membicarakan masyarakat dari segi waktu, jadi sejarah adalah ilmu tentang waktu yang mencakup empat hal yaitu:
                         i.     Perkembangan, terjadi bila masyarakat secara terus menerus bergerak dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks.
                       ii.     Kesinambungan, terjadi bila sesuatu, masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama.
                     iii.     Pengulangan, terjadi bila suatu peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi di masa sekarang.
                     iv.      Perubahan, terjadi bila masyarakat mengalami pergerakan dan perkembangan yang besar dalam waktu yang singkat yang disebabkan oleh pengaruh dari luar.
c.    Sejarah adalah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial
Dalam sejarah yang dipelajari bukan hanya aktivitas manusia saja, melainkan aktivitas manusia yang mempunyai makna sosial.
d.   Sejarah adalah ilmu tentang sesuatu yang terperinci dan tertentu
Sejarah adalah sejarah tertentu. Sejarah menulis peristiwa, tempat, dan waktu yang hanya sekali terjadi. Sejarah harus terperinci artinya sejarah harus menyajikan yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar.[2]
Jadi dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah peristiwa yang pernah terjadi dan digambarkan secara terperinci baik meliputi tempat maupun waktu.
B. Pengertian Sejarah Berdasarkan Bentuk dan Sifatnya
1. Sejarah sebagai peristiwa
Peristiwa merupakan aktivitas manusia yang hanya sekali terjadi dan hilang bersama dengan lewatnya waktu, yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas lain. Sejarah sebagai peristiwa adalah peristiwa masa lampau, dalam arti peristiwa sebagaimana terjadi.
2. Sejarah sebagai kisah
Sejarah sebagai kisah adalah peristiwa yang sudah terjadi diungkap kembali melalui tulisan maupun lisan. Peristiwa sejarah yang dimaksud terutama peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara umum.

3. Sejarah sebagai ilmu
Sejarah sebagai ilmu dikarenakan sejarah sebagai pengetahuan. Ilmu pengetahuan sejarah seperti halnya ilmu pengetahuan lainnya mulai berkembang pada abad ke-19. Pengetahuan ini meliputi kondisi-kondisi masa manusia yang hidup pada suatu jenjang sosial tertentu.
Ciri-ciri sejarah sebagai ilmu adalah
a.    Sejarah itu mempunyai obyek, yaitu aktivitas dan peristiwa di masa lampau.
b.    Sejarah itu mempunyai teori, yaitu memberi penjelasan tentang kapan sesuatu itu terjadi.
c.    Sejarah itu mempunyai metode, yaitu bahwa suatu pernyataan dari peneliti harus didukung oleh bukti-bukti sejarah. Proses rekonstruksi sejarah mulai dari heuristik (mencari sumber sejarah), kritik sumber, interpretasi data sampai dengan penulisan hasil penelitian (historiografi), harus berdasarkan metode. Dengan metode itu rekonstruksi sejarah akan menghasilkan tulisan sejarah ilmiah dan penulisan sejarah tanpa dilandasi oleh metode sejarah hanya akan menghasilkan tulisan populer yang uraiannya bersifat deskriptif naratif dan tidak menunjukkan ciri-ciri karya ilmiah sejarah.
d.   Sejarah bersifat sistematis, yaitu sejarah sebagai kisah ditulis secara sistematis. Hubungan antar bab dengan hubungan antar sub bab pada setiap bab disusun secara kronologis, sehingga uraian secara keseluruhan bersifat diakronis (memanjang menurut alur waktu). Uraian sistematis akan menunjukkan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain yang bersifat kausalitas (hubungan sebab akibat) karena sejarah merupakan proses.

4. Sejarah sebagai seni
Sejarah sebagai seni merupakan sejarah tentang pengetahuan rasa. Sejarah memerlukan pemahaman dan pendalaman. Sejarah tidak saja mempelajari segala sesuatu gerakan dan perubahan yang tampak di permukaan tetapi juga mempelajari motivasi yang mendorong terjadinya perubahan.
Adapun ciri-ciri sejarah sebagai seni antara lain:
a.    Sejarah menentukan intuisi, yaitu pemahaman langsung dan instingtif selama masa penelitian berlangsung.
b.    Sejarah memerlukan imajinasi, yaitu untuk membayangkan apa yang sebelum, sekarang dan sesudah kejadian sebuah peristiwa.
c.    Sejarah memerlukan emosi, yaitu untuk membuat orang yang membaca tulisan sejarah seolah-olah hadir menyaksikan sendiri peristiwa itu.
d.   Sejarah memerlukan gaya bahasa.[3]
C. Fungsi Intrinsik Sejarah
1. Sejarah sebagai ilmu
Sejarah sebagai ilmu artinya siapa saja dapat mengaku sebagai sejarawan secara sah asal hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagai ilmu.
2. Sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau
Terhadap sejarah setelah orang mengetahui masa lampaunya pasti akan melestarikan atau menolaknya.


3. Sejarah sebagai pernyataan pendapat
Banyak penulis sejarah yang menggunakan ilmunya untuk menyatakan pendapat.
4. Sejarah sebagai profesi
Tidak semua lulusan sejarah dapat tertampung dalam profesi kesejarahannya dan tidak sedikit yang menjadi guru di luar ilmunya.

D. Fungsi Ekstrinsik Sejarah
Fungsi sejarah yang penting untuk dipahami adalah fungsi edukatif yang mencakup:
1. Sejarah sebagi pendidikan moral
Jika pendidikan moral harus berbicara tentang benar dan salah maka sejarah harus berbicara dengan fakta. Fakta sangat penting dalam sejarah tanpa fakta tidak boleh bersuara.
2. Sejarah sebagai pendidikan penalaran
Mempelajari sejarah secara kritis atau menulis sejarah secara ilmiah akan mendorong meningkatkan daya nalar orang yang bersangkutan.
3. Sejarah sebagai pendidikan politik
Sejarah mengandung pendidikan politik karena peristiwa tertentu menyangkut tindakan politik atau kegiatan bersifat politik.
4. Sejarah sebagai pendidikan kebijakan
Kebijakan di masa lampau sangat mungkin dapat dijadikan bahan acuan dalam menghadapi kehidupan di masa kini.

5. Sejarah sebagai pendidikan perubahan
Sejarah adalah proses yang menyangkut perubahan. Pada dasarnya kehidupan manusia terus berubah, walaupun kadar perubahan dari waktu ke waktu tidak sama. Perubahan itu karena disengaja atau tidak disengaja. Sejarah bisa relevan dengan perubahan asalkan tidak mempelajari waktu yang terlalu jauh.
6. Sejarah sebagai pendidikan keindahan
Pengalaman estetik akan datang melalui mata waktu kita antara lain datang ke monumen, candi, istana dan membaca. Kita hanya diminta untuk membuka hati dan perasaan.
7. Sejarah sebagai alat bantu
Sejarah sebagai pengetahuan dan ilmu dapat membantu menjelaskan permasalahan yang dikaji oleh ilmu-ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, hukum, dan lain-lain.
8. Sejarah sebagai latar belakang
Tanpa mengetahui sejarah latar belakang maka seseorang tidak akan menjadi terampil.
9. Sejarah sebagai bukti
Sejarah selalu dipakai untuk membenarkan perbuatan.

E. Kegunaan Sejarah
Sejarah mempunyai beberapa kegunaan atau manfaat antara lain:
1. Kegunaan Edukatif
Banyak manusia belajar dari sejarah. Belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Pengalaman tidak hanya terbatas pada pengalaman yang dialaminya sendiri, melainkan juga dari generasi sebelumnya. Dengan belajar sejarah, seseorang akan senantiasa berdialog antara masa kini dan masa lampau sehingga bisa memperoleh nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupannya. Nilai-nilai itu dapat berupa ide maupun konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah kini dan selanjutnya untuk merealisasikan harapan masa yang akan datang.
2. Kegunaan Inspiratif
Berbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi para pembaca dan pendengarnya. Belajar sejarah akan memperoleh ide atau konsep baru kreatif yang berguna bagi pemecahan masalah masa kini, juga penting untuk memperoleh inspirasi dan semangat bagi mewujudkan identitas sebagai suatu bangsa, semangat nasionalisme maupun dalam upaya mnumbuhkan harga diri bangsa.
3. Kegunaan Rekreatif
Sejarah sebagai kisah dapat memberi suatu hiburan yang segar. Melalui penulisan sejarah yang menarik pembaca dapat terhibur. Membaca menjadi media hiburan yang rekreatif.
4. Kegunaan Instruktif
Kegunaan instruktif sejarah berkaitan dengan fungsi sejarah dalam menunjang bidang-bidang teknologi, dalam artian bahwa studi tahu hasil penelitian sejarah yang menyangkut penemuan-penemuan teknik sepanjang sejarah kehidupan manusia, dimana sejarah masing-masing penemuan tersebut diperlukan bagi usaha menjelaskan prinsip-prinsip kerja teknik-teknik tertentu dalam masa setelahnya.

F. Pengertian Pengetahuan
          Pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu.[4] Selain itu, pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.[5] Jadi dapat disimpulkan pengetahuan adalah sumber jawaban dari rasa ingin tahu manusia dalam kehidupan.
          Setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi). Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita. Tahap selanjutnya dengan mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis dan berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempertanyakan dasar-dasar pikiran. Lalu berkembang lagi ke arah empirisme yang didasarkan pada kenyataan pengalaman.
          Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan. [6]

G. Jarum Sejarah Pengetahuan
            Konsep keilmuan sejarah berjalan secara lambat, walaupun orang telah menggunakan istilah-istilah history (Inggris), geschichte (Jerman), geschidenis (Belanda), dan yang lain. Menurut W. H. Walsh terdapat dua disiplin yang memikirkan peristiwa masa lampau, yaitu filsafat sejarah dan ilmu sejarah. Filsafat sejarah memusatkan perhatian pada tindakan manusia dan objek tindakan tersebut secara analitis dan spekulatif. Ilmu sejarah memusatkan perhatiannya pada pengalaman-pengalaman dan tindakan manusia.[7] Pemerolehan pengalaman dan tindakan manusia tersebut menjadi penuturan berasal dari olahan metodis sehingga pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau tersebut tersusun secara sistematis. Paparan cerita tersebut tersusun menjadi suatu bangunan kebenaran umum. Pengetahuan tersebut memungkinkan terjadinya suatu prediksi yang berhasil untuk mengontrol kejadian-kejadian pada masa yang akan datang, suatu kontrol pada batas-batas tertentu. Pengetahuan tentang pengalaman manusia pada masa lampau tersebut adalah objektif. Paparan tentang pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau tersebut adalah bersfat ilmiah, artinya memenuhi persyaratan ilmu pengetahuan. Sejarah yang ditulis berdasarkan aturan penelitian keilmuan tersebut adalah benar-benar suatu cabang ilmu pengetahuan. Demikianlah sejarah sebagai suatu penuturan cerita pengalaman dan tindakan manusia pada masa lampau baru menjadi ilmu pengetahuan otonom pada awal abad dua puluh.
          Contoh sejarah pengetahuan yaitu pernahkah Anda mendengar seorang tukang obat menawarkan panacea (untuk segala macam penyakit) di kaki lima yang berkata, “Untuk urat kaku, pegal, linu, darah tinggi, sakit bengek, eksim, keputihan, sukar tidur, hilang nafsu makan, kurang jantan… makanlah tablet ini tiga kai sehari, diguyur dengan air minum, yang hamil dilarang makan?” Raja obat yang mampu mengobati segala macam penyakit ini adalah warisan dari zaman dulu, di mana pada waktu itu, perbedaan antara ujud yang satu dengan ujud yang lain, belum dilakukan. [8]
          Pada masyarakat primitif, perbedaan antara berbagi organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku, umpamanya, bisa merangkap hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang kemasyarakatan maka status itu tetap, ke mana pun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi sekali menjadi seorang ahli maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. Seorang ahli di bidang peternakan ayam akan dianggap ahli dalam masalah perkawinan, kebatinan, perdagangan, ekonomi, seks, kenakalan remaja dan entah apa saja.
Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batasan-batasannya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara objek yang satu dengan yang lain. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental, dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17. Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama. Jadi wajar saja kalau dalam kurun waktu itu tidak terdapat pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan, apakah itu cara memburu gajah, cara mengobati sakit gigi, menentukan kapan mulai bercocok tanam atau biografi para dewa di kayangan. Pokoknya semua adalah satu apakah itu objeknya, metodenya, atau kegunaannya.
Dengan berkembangnya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segi metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma dari Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan. Deferensiasi dalam bidang ilmu dengan cepat terjadi. Secara metafisika ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan objek yang ditelaahnya mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Orang yang ingin memutar jarum sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan. Dengan dalih inter-disipliner maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu dalam kesatuan yang berdifusi.
Pendekatan inter-disipliner merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma (konsep dasar yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuwan) baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika, dan bahasa. Setelah Perang Dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengkajian bersama antar-disiplin keilmuan. Jelasnya bahwa pendekatan inter-disipliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, di mana tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telaahan bersama.    















BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Sejarah adalah peristiwa yang pernah terjadi dan digambarkan secara terperinci baik meliputi tempat maupun waktu. Sedangkan pengetahuan adalah sumber jawaban dari rasa ingin tahu manusia dalam kehidupan. Dalam jarum sejarah pengetahuan, kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batasan-batasannya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara objek yang satu dengan yang lain.
Dengan berkembangnya Abad Penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan.













DAFTAR PUSTAKA

Dimyati, Muhammad. Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem Ilmu pengetahuan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.

Suhartono, Suparlan. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2009.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010.



[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Suparlan Suhartono, Ph.D, Dasar-dasar Filsafat (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2009), H. 11.
[5] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 104.
[6] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 9.

[7] Muhammad Dimyati, Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial di Sekolah: Bagian Integral Sistem Ilmu pengetahuan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), h. 7-8.
[8] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar