Kamis, 20 November 2014

POST-STRUKTURALISME DAN DEKONSTRUKSI



Makalah Kelompok 8
POST-STRUKTURALISME DAN DEKONSTRUKSI


Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA



Oleh :
Fahrudin      (No. Reg 7316130257)
                                                Nurrahmah  (No. Reg 7316130279)





Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Sejalan dengan berkembangnya karya sastra, berkembang pula teori-teori dalam mengkaji karya sastra tersebut. Banyaknya teori sastra yang hadir merupakan bukti bahwa tidak ada satu teori pun yang dianggap sempurna. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa teori baru yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat dilepaskan dari teori-teori sebelumnya. Artinya, teori yang baru merupakan penyempurna teori yang sebelumnya. Yang termasuk di antara teori-teori yang berkembang tersebut adalah postrukturalisme dan dekonstruksi.
Postrukturalisme merupakan teori yang hadir setelah teori strukturalisme. Kedua teori ini (strukturalisme dan postrukturalisme) membahas tentang cara seseorang pembaca memahami makna sebuah teks sastra. Jika strukturalisme selalu berorientasi pada struktur yang tetap, postrukturalisme adalah pemahaman sebuah karya sastra yang tidak hanya terikat pada strukturnya saja, tetapi boleh dari sisi mana saja.[1]
Teori postrukturalisme terdiri atas beberapa teori, salah satunya adalah dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan ciri khas postrukturalisme.[2] Hal ini disebabkan dekonstruksi adalah  sebuah teori yang mengkaji makna sebuah karya sastra dari berbagai sisi, bisa dimulai dari aspek apa saja bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak diperkirakan banyak orang.[3]
Teori postrukturalisme dan dekonstruksi ini tentu saja salah satu teori dapat kita gunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra dalam penyusunan tesis. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas kedua teori ini berdasarkan hasil diskusi kelompok.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Post-Strukturalisme
Postrukturalisme terdiri atas kata post + struktur + isme yang berarti paham sesudah struktur. Artinya, postrukturalisme merupakan sebuah teori pengkajian sastra yang lahir setelah teori strukturalisme. Dalam sastra, teori ini berkembang pada tahun 1970-an. Teori ini merupakan perkembangan terakhir teori sastra, khususnya teori-teori yang didasarkan atas relevansi struktur.
Teori postrukturalisme ini lahir didasarkan atas kelemahan-kelemahan yang terdapat pada teori strukturalisme. Pada umunya terdapat beberapa kelemahan strukturalisme. Pertama, model analisis strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan atas struktur dan sistem tertentu. Kedua, strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca. Ketiga, hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.[4]
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme. Oleh karena itu, sebagaimana halnya strukturalisme, postrukturalisme juga merupakan sebuah teori yang digunakan untuk mengkaji makna yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Hanya saja, terdapat perbedaan pandangan antara kelompok strukturalisme dan postrukturalisme dalam pencarian makna tersebut.
Pencarian makna oleh kelompok strukturalisme masih bertumpu pada struktur karya sastra. Artinya, makna selalu dihasilkan dalam kaitannya dengan penanda, makna sebagai hasil artikulasi lambang-lambang, makna sebagai hasil perbedaan antara dua penanda. Hal tersebut berbeda dengan pengkajian makna menurut postrukturalisme. Menurut postrukturalisme, mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur.[5] Artinya, makna tidak selalu hanya diwakili kata (penanda), tetapi justru sering berada di luar bahasa atau kata.
 Pemaknaan sebuah karya sastra jika hanya ditelaah berdasarkan penanda, bisa saja makna itu hadir setelah penanda tersebut dibandingkan dengan penanda yang lain.[6] Oleh karena itu, ketika penanda tersebut berdiri sendiri, kemungkinan belum memiliki makna yang utuh dan baru merujuk makna yang lengkap ketika dirangkai dengan penanda yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menelaah makna sebuah karya sastra akan dapat muncul jika dilihat dari hubungan antarunsur pembentuknya dan dapat juga muncul kaitannya dengan unsur di luar teks.
Ada dua tahapan dalam menelaah makna karya sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme seperti yang dikembangkan oleh Riffaterre dan Roland Barthes (dalam Nyoman) sebagai berikut.
1.     Mendaftar semua unsur (struktur) yang terdapat pada karya yang ditelaah dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak ada satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.
2.    Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dengan Y).[7]
Berdasarkan dua tahapan tersebut, jelaslah bahwa esensi pemaknaan sebuah karya sastra dapat muncul dari hubungan antarstruktur dan unsur di luar struktur. Unsur di luar struktur yang dimaksud seperti kode budaya dan juga hal-hal lainnya yang mempengaruhi penciptaan karya sastra tersebut.
Selain menghubungkan dengan unsur di luar struktur, menurut postrukturalisme memahami sebuah karya sastra itu bersifat bebas, boleh dari sisi mana saja, karena ia tidak terikat dengan struktur. Dengan demikian, kajian posstrukturalisme ini juga akan melupakan struktur sebuah karya sastra dengan melakukan dekonstruksi terhadap karya sastra tersebut. Oleh karena itu, paham postrukturalisme ini sering juga disebut dengan pengkajian dekonstruksi. Artinya, sebuah ragam penelitian sastra yang tidak menghiraukan struktur.[8]
Karena tidak menghiraukan struktur, bahkan melupakan struktur dengan melakukan dekonstruksi terhadap sebuah karya, maka ciri khas dari postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks. Artinya, makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan oleh teks tersebut.[9] Dengan demikian, terjadi pergeseran dari penerima menjadi pencipta. Makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, tetapi partisipasi aktif. Karya bukan milik pengarang, melainkan milik pembaca. Makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka secara terus menerus berinteraksi ke luar dirinya.
2.2 Dekonstruksi
            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa postrukturalisme sering disebut dengan pengkajian dekonstruksi, maka dekonstruksi merupakan ciri utama teori postrukturalisme.  Bahkan, pada dasarnya dekonstruksi merupakan pengembangan dari postrukturalisme.  Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Yunus (dalam Zainuddin) bahwa dekonstruksi adalah postrukturalisme yang bersifat eksterm, yaitu pemaknaan karya sastra yang bisa dimulai dari aspek apa saja, bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak diperkirakan banyak orang.[10] Artinya, pemaknaan sebuah karya sastra dengan dekonstruksi dapat menyebabkan unsur-unsur yang semula dianggap tidak bermakna, bisa menjadi bermakna.
Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang telah baku.[11] Selain itu, penolakan yang dimaksud dalam dekonstruksi adalah penolakan terhadap adanya satu pusat. Pusat yang dimaksud dalam hal ini adalah fungsi. Dekonstruksi menolak bahwa karya sastra memiliki satu fungsi, tapi ia memiliki banyak fungsi.
Para postrukruralis sering menggunakan kata pembongkaran, serta penghancuran struktur untuk istilah dekonstruksi. Artinya, mengkaji makna sebuah karya sastra berdasarkan dekonstruksi dilakukan dengan cara membongkar teks untuk mendapatkan makna yang lebih kompleks dan berbeda dari makna strukturalnya. Selain itu, makna juga bisa digali dari unsur yang selama ini tidak dihiraukan. Ia bisa berasal dari unsur dalam teks dan bisa juga dari unsur di luar teks.
Sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna tidak tetap, melainkan terus berkembang. Untuk mendapatkan makna yang seperti ini, maka dekonstruksi mengobrak-abrik teks, sehingga lari dari struktur yang ada. Oleh karena itu, dekonstruksi membiarkan teks menentang segala kemungkinan. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa prinsip dekonstruksi adalah menangkap makna melalui paradoks atau pertentangan dari apa yang secara logika bisa distrukturkan.[12]
Sebagai contoh, bisa dilihat pada novel Sitti Nurbaya. Secara struktural, tokoh Datuk Maringgih selalu dianggap sebagai tokoh antagonis. Karena penempatannya menjadi tokoh antagonis, keberadaan Datuk Maringgih lalu menjadi tokoh yang jika diukur secara tradisi, perilakunya sangat tidak etis, jahat, dan menyebalkan. Di samping sebagai rentenir, Datuk Maringgih masih tega ingin menikahi Sitti Nurbaya dengan tukar pembebasan hutang. Namun, secara dekonstruksi, Datuk Maringgih belum tentu dianggap tokoh yang antagonis.
Secara dekonstruksi, perilaku Datuk Maringgih bisa saja hanya sebagai kamuflase untuk menyamarkan ideologi pengarang. Bisa saja Datuk Maringgih merupakan sebuah ringkikan (seperti ringkik kuda) pengarang akan kenyataan yang dihadapi bangsa Indonesia. Ternyata dalam perilakunya, Datuk Maringgihlah tokoh yang tidak mau menurut dengan penjajah Belanda. Dengan demikian, dalam konsep ideologis, keberadaan Datuk Maringgih, bisa saja didudukkan sebagai pahlawan. Hal ini jelas bertentangan dengan struktur teks. Menurut dekonstruksi pemaknaan tersebut bisa jadi justru merupakan esensi ditulisnya novel Sitti Nurbaya.
Berdasarkan pendeskripsian tersebut, teori dekonstruksi diumpamakan sebagai teks yang tidak hanya memiliki satu makna, tapi memiliki beberapa makna yang berbeda yang disebut dengan oposisi biner.[13] Oposisi biner melihat bahwa tanda yang mewakili suatu teks bukan satu-satunya yang dapat diinterpretasikan oleh pembaca.
Teori dekonstruksi berkaitan dengan semiotik. Hal ini disebabkan kedua teori ini berbicara tentang makna-makna yang dihasilkan oleh sebuah teks. Hanya saja terdapat perbedaan di antara kedua paham ini. Jika paham semiotik logosentrisme selalu mengandalkan makna pada kata yang diucapkan, dan kebenaran ditentukan oleh sesuatu yang hadir, dekonstruksi justru berbicara sebaliknya.
Seperti semiotik, dekonstruksi juga menitikberatkan pada pengembangan karakter sebuah teks yang di dalamnya terdapat tanda. Metode postrukturalis memulai analisisnya lewat sebuah asumsi pada sebuah teks yang dapat dianalisa (didekonstruksi) dan menaruh persamaan dengan konstruksi teksnya.[14] Menurut teori ini, dekonstruksi sebuah teks tidak dapat tetap sama setelah direkonstruksi semenjak analisa tentang tanda diinterpretasikan.
Peletak dasar dekonstruksi adalah Jacques Derrida. Derrida adalah seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Teori dekonstruksi Derrida ini lebih banyak berdasarkan teori filsafat. Dekonstruksi dikembangkan menjadi salah satu teori yang paling berpengaruh di bidang kritik sastra sekitar tahun 1970 dan 1980. Sebuah contoh penting konsep Derrida adalah konsep perbedaan (concept of differences).[15] Kata differences berasal dari bahasa latin,  differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi temporal Makna kata differences berada dalam posisi mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena itu, tanda-tanda megimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dengan kenyataan selalu mempunyai jarak dan sekaligus perbedaaan.



BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal:
1.        Postrukturalisme merupakan sebuah teori sastra yang mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur.
2.        Ada dua tahapan dalam menelaah makna karya sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme. Pertama, mendaftar semua unsur yang terdapat pada karya yang ditelaah dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Kedua, Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan.
3.        Dekonstruksi merupakan salah satu teori postrukturalisme yang berarti teori sastra yang mengkaji makna sebuah karya sastra dengan cara membongkar teks untuk mendapatkan makna yang lebih kompleks dan berbeda dari makna strukturalnya.
DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Fananie, Z. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Klarer, M. 1999. An introduction to literary studies. Rout ledge.
Kutha Ratna, Nyoman. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




[1] Suwardi. Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), h. 167.
[2] Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.221.
[3] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 144.
[4] Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hh.143-144.
[5]  Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 144.
[6]  Suwardi. Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), h. 169.
[7] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 145.
[8] Suwardi. Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), h. 167.
[9]  Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 161.
[10] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 151..
[11]  Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 223
[12] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 151.
[13] Mario klarer, An introduction to literary studies  (Rout ledge, 1999), h. 88.
[14] Mario klarer, An introduction to literary studies  (Rout ledge, 1999), h. 89.
[15] Mario klarer, An introduction to literary studies  (Rout ledge, 1999), h. 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar