Makalah Kelompok 8
POST-STRUKTURALISME
DAN DEKONSTRUKSI
Disajikan Untuk Mata Kuliah
Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir,
M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA
Oleh :
Fahrudin (No. Reg 7316130257)
Nurrahmah
(No. Reg 7316130279)
Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sejalan
dengan berkembangnya karya sastra, berkembang pula teori-teori dalam mengkaji
karya sastra tersebut. Banyaknya teori sastra yang hadir merupakan bukti bahwa
tidak ada satu teori pun yang dianggap sempurna. Meskipun demikian, tidak dapat
diingkari bahwa teori baru yang muncul baik secara langsung maupun tidak
langsung tidak dapat dilepaskan dari teori-teori sebelumnya. Artinya, teori
yang baru merupakan penyempurna teori yang sebelumnya. Yang termasuk di antara
teori-teori yang berkembang tersebut adalah postrukturalisme dan dekonstruksi.
Postrukturalisme
merupakan teori yang hadir setelah teori strukturalisme. Kedua teori ini
(strukturalisme dan postrukturalisme) membahas tentang cara seseorang pembaca
memahami makna sebuah teks sastra. Jika strukturalisme selalu berorientasi pada
struktur yang tetap, postrukturalisme adalah pemahaman sebuah karya sastra yang
tidak hanya terikat pada strukturnya saja, tetapi boleh dari sisi mana saja.[1]
Teori
postrukturalisme terdiri atas beberapa teori, salah satunya adalah
dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan ciri khas postrukturalisme.[2]
Hal ini disebabkan dekonstruksi adalah sebuah
teori yang mengkaji makna sebuah karya sastra dari berbagai sisi, bisa dimulai
dari aspek apa saja bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak
diperkirakan banyak orang.[3]
Teori
postrukturalisme dan dekonstruksi ini tentu saja salah satu teori dapat kita
gunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra dalam penyusunan tesis. Oleh karena
itu, dalam makalah ini kami akan membahas kedua teori ini berdasarkan hasil
diskusi kelompok.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Post-Strukturalisme
Postrukturalisme
terdiri atas kata post + struktur + isme yang berarti paham sesudah struktur.
Artinya, postrukturalisme merupakan sebuah teori pengkajian sastra yang lahir
setelah teori strukturalisme. Dalam sastra, teori ini berkembang pada tahun
1970-an. Teori ini merupakan perkembangan terakhir teori sastra, khususnya
teori-teori yang didasarkan atas relevansi struktur.
Teori
postrukturalisme ini lahir didasarkan atas kelemahan-kelemahan yang terdapat
pada teori strukturalisme. Pada umunya terdapat beberapa kelemahan
strukturalisme. Pertama, model
analisis strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu
kaku sebab semata-mata didasarkan atas struktur dan sistem tertentu. Kedua, strukturalisme terlalu banyak
memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan
struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang
dan pembaca. Ketiga, hasil analisis
dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk
kepentingan masyarakat secara luas.[4]
Dasar
teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme. Oleh karena itu,
sebagaimana halnya strukturalisme, postrukturalisme juga merupakan sebuah teori
yang digunakan untuk mengkaji makna yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Hanya saja, terdapat perbedaan pandangan antara kelompok strukturalisme dan
postrukturalisme dalam pencarian makna tersebut.
Pencarian
makna oleh kelompok strukturalisme masih bertumpu pada struktur karya sastra.
Artinya, makna selalu dihasilkan dalam kaitannya dengan penanda, makna sebagai
hasil artikulasi lambang-lambang, makna sebagai hasil perbedaan antara dua
penanda. Hal tersebut berbeda dengan pengkajian makna menurut postrukturalisme.
Menurut postrukturalisme, mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan
struktur, tetapi dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur.[5]
Artinya, makna tidak selalu hanya diwakili kata (penanda), tetapi justru sering
berada di luar bahasa atau kata.
Pemaknaan sebuah karya sastra jika hanya
ditelaah berdasarkan penanda, bisa saja makna itu hadir setelah penanda
tersebut dibandingkan dengan penanda yang lain.[6]
Oleh karena itu, ketika penanda tersebut berdiri sendiri, kemungkinan belum
memiliki makna yang utuh dan baru merujuk makna yang lengkap ketika dirangkai
dengan penanda yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menelaah
makna sebuah karya sastra akan dapat muncul jika dilihat dari hubungan antarunsur
pembentuknya dan dapat juga muncul kaitannya dengan unsur di luar teks.
Ada
dua tahapan dalam menelaah makna karya sastra dengan menggunakan teori
postrukturalisme seperti yang dikembangkan oleh Riffaterre dan Roland Barthes
(dalam Nyoman) sebagai berikut.
1. Mendaftar
semua unsur (struktur) yang terdapat pada karya yang ditelaah dan meletakkan
semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara
terpisah. Dengan demikian, tidak ada satu unsur pun yang dianggap tidak penting
atau tidak mempunyai peranan.
2. Unsur-unsur
yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk mengetahui
apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua
unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X
dengan Y).[7]
Berdasarkan dua tahapan
tersebut, jelaslah bahwa esensi pemaknaan sebuah karya sastra dapat muncul dari
hubungan antarstruktur dan unsur di luar struktur. Unsur di luar struktur yang
dimaksud seperti kode budaya dan juga hal-hal lainnya yang mempengaruhi
penciptaan karya sastra tersebut.
Selain
menghubungkan dengan unsur di luar struktur, menurut postrukturalisme memahami
sebuah karya sastra itu bersifat bebas, boleh dari sisi mana saja, karena ia
tidak terikat dengan struktur. Dengan demikian, kajian posstrukturalisme ini juga
akan melupakan struktur sebuah karya sastra dengan melakukan dekonstruksi
terhadap karya sastra tersebut. Oleh karena itu, paham postrukturalisme ini
sering juga disebut dengan pengkajian dekonstruksi. Artinya, sebuah ragam
penelitian sastra yang tidak menghiraukan struktur.[8]
Karena tidak menghiraukan
struktur, bahkan melupakan struktur dengan melakukan dekonstruksi terhadap
sebuah karya, maka ciri khas dari postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks.
Artinya, makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa
yang dimaksudkan oleh teks tersebut.[9]
Dengan demikian, terjadi pergeseran dari penerima menjadi pencipta. Makna teks
tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, tetapi partisipasi aktif. Karya
bukan milik pengarang, melainkan milik pembaca. Makna teks tergantung pada
konteks, interaksi pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka secara
terus menerus berinteraksi ke luar dirinya.
2.2 Dekonstruksi
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa postrukturalisme sering
disebut dengan pengkajian dekonstruksi, maka dekonstruksi merupakan ciri utama
teori postrukturalisme. Bahkan, pada
dasarnya dekonstruksi merupakan pengembangan dari postrukturalisme. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Yunus
(dalam Zainuddin) bahwa dekonstruksi adalah postrukturalisme yang bersifat
eksterm, yaitu pemaknaan karya sastra yang bisa dimulai dari aspek apa saja,
bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak diperkirakan banyak
orang.[10]
Artinya, pemaknaan sebuah karya sastra dengan dekonstruksi dapat menyebabkan
unsur-unsur yang semula dianggap tidak bermakna, bisa menjadi bermakna.
Secara
leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penolakan. Jadi,
dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu
intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang telah baku.[11]
Selain itu, penolakan yang dimaksud dalam dekonstruksi adalah penolakan
terhadap adanya satu pusat. Pusat yang dimaksud dalam hal ini adalah fungsi. Dekonstruksi
menolak bahwa karya sastra memiliki satu fungsi, tapi ia memiliki banyak
fungsi.
Para
postrukruralis sering menggunakan kata pembongkaran, serta penghancuran
struktur untuk istilah dekonstruksi. Artinya, mengkaji makna sebuah karya
sastra berdasarkan dekonstruksi dilakukan dengan cara membongkar teks untuk
mendapatkan makna yang lebih kompleks dan berbeda dari makna strukturalnya.
Selain itu, makna juga bisa digali dari unsur yang selama ini tidak dihiraukan.
Ia bisa berasal dari unsur dalam teks dan bisa juga dari unsur di luar teks.
Sebuah
teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna. Jaringan-jaringan
makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna.
Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna tidak tetap, melainkan
terus berkembang. Untuk mendapatkan makna yang seperti ini, maka dekonstruksi
mengobrak-abrik teks, sehingga lari dari struktur yang ada. Oleh karena itu,
dekonstruksi membiarkan teks menentang segala kemungkinan. Dengan demikian,
dapat disebutkan bahwa prinsip dekonstruksi adalah menangkap makna melalui
paradoks atau pertentangan dari apa yang secara logika bisa distrukturkan.[12]
Sebagai
contoh, bisa dilihat pada novel Sitti
Nurbaya. Secara struktural, tokoh Datuk Maringgih selalu dianggap sebagai
tokoh antagonis. Karena penempatannya menjadi tokoh antagonis, keberadaan Datuk
Maringgih lalu menjadi tokoh yang jika diukur secara tradisi, perilakunya
sangat tidak etis, jahat, dan menyebalkan. Di samping sebagai rentenir, Datuk
Maringgih masih tega ingin menikahi Sitti Nurbaya dengan tukar pembebasan
hutang. Namun, secara dekonstruksi, Datuk Maringgih belum tentu dianggap tokoh
yang antagonis.
Secara
dekonstruksi, perilaku Datuk Maringgih
bisa saja hanya sebagai kamuflase untuk menyamarkan ideologi pengarang. Bisa
saja Datuk Maringgih merupakan sebuah
ringkikan (seperti ringkik kuda) pengarang akan kenyataan yang dihadapi bangsa
Indonesia. Ternyata dalam perilakunya, Datuk
Maringgihlah tokoh yang tidak mau menurut dengan penjajah Belanda. Dengan
demikian, dalam konsep ideologis, keberadaan Datuk Maringgih, bisa saja didudukkan sebagai pahlawan. Hal ini
jelas bertentangan dengan struktur teks. Menurut dekonstruksi pemaknaan
tersebut bisa jadi justru merupakan esensi ditulisnya novel Sitti Nurbaya.
Berdasarkan
pendeskripsian tersebut, teori dekonstruksi diumpamakan sebagai teks yang tidak
hanya memiliki satu makna, tapi memiliki beberapa makna yang berbeda yang
disebut dengan oposisi biner.[13]
Oposisi biner melihat bahwa tanda yang mewakili suatu teks bukan satu-satunya
yang dapat diinterpretasikan oleh pembaca.
Teori
dekonstruksi berkaitan dengan semiotik. Hal ini disebabkan kedua teori ini
berbicara tentang makna-makna yang dihasilkan oleh sebuah teks. Hanya saja
terdapat perbedaan di antara kedua paham ini. Jika paham semiotik logosentrisme
selalu mengandalkan makna pada kata yang diucapkan, dan kebenaran ditentukan
oleh sesuatu yang hadir, dekonstruksi justru berbicara sebaliknya.
Seperti
semiotik, dekonstruksi juga menitikberatkan pada pengembangan karakter sebuah
teks yang di dalamnya terdapat tanda. Metode postrukturalis memulai analisisnya
lewat sebuah asumsi pada sebuah teks yang dapat dianalisa (didekonstruksi) dan
menaruh persamaan dengan konstruksi teksnya.[14]
Menurut teori ini, dekonstruksi sebuah teks tidak dapat tetap sama setelah
direkonstruksi semenjak analisa tentang tanda diinterpretasikan.
Peletak
dasar dekonstruksi adalah Jacques Derrida. Derrida adalah seorang Yahudi
Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Teori
dekonstruksi Derrida ini lebih banyak
berdasarkan teori filsafat. Dekonstruksi dikembangkan menjadi salah satu teori
yang paling berpengaruh di bidang kritik sastra sekitar tahun 1970 dan 1980. Sebuah
contoh penting konsep Derrida adalah konsep perbedaan (concept of differences).[15]
Kata differences berasal dari bahasa
latin, differe, yang sekaligus
berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi
temporal Makna kata differences berada dalam posisi
mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap
kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena itu, tanda-tanda megimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang
dan waktu. Artinya, antara konsep dengan kenyataan selalu mempunyai jarak dan
sekaligus perbedaaan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal:
1.
Postrukturalisme merupakan sebuah teori sastra
yang mengkaji makna tidak hanya terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat
dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur.
2.
Ada dua tahapan dalam menelaah makna karya
sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme. Pertama, mendaftar semua unsur yang terdapat pada karya yang
ditelaah dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Kedua, Unsur-unsur yang telah dipahami
dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah
unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan.
3.
Dekonstruksi merupakan salah satu teori
postrukturalisme yang berarti teori sastra yang mengkaji makna sebuah karya
sastra dengan cara membongkar teks untuk mendapatkan makna yang lebih kompleks
dan berbeda dari makna strukturalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Fananie, Z. 2002. Telaah
Sastra. Surakarta: Muhammadiyah
Klarer, M. 1999. An
introduction to literary studies. Rout ledge.
Kutha Ratna, Nyoman.
2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
Suwardi. Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), h. 167.
[2]
Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.221.
[3]
Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001), h. 144.
[4] Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hh.143-144.
[5] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h.
144.
[6] Suwardi. Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008),
h. 169.
[7]
Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001), h. 145.
[8]
Suwardi. Endraswara, Metodologi
Penelitian Sastra (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), h. 167.
[9] Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 161.
[10]
Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001), h. 151..
[11] Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), h. 223
[12] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2001), h. 151.
[13] Mario klarer, An introduction to literary studies (Rout ledge, 1999), h. 88.
[14]
Mario klarer, An introduction to literary
studies (Rout ledge, 1999), h. 89.
[15]
Mario klarer, An introduction to literary
studies (Rout ledge, 1999), h. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar