Kamis, 20 November 2014

PSIKOANALISIS DAN TEORI RESEPSI SASTRA



PSIKOANALISIS DAN TEORI RESEPSI SASTRA


logo unj.jpg

Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen: Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA

Disusun Oleh Kelompok 6:
Desy No.Reg.: 7316130253
Reni Oktaviani No. Reg.: 7316130283



PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah
Psikoanalisis dan teori resepsi sastra banyak ditemukan dalam buku-buku, jurnal dan perpustakaan. Teori psikoanalisis dapat dipandang sebagai teknik terapi dan aliran psikologi. Sebagai aliran psikologi, psikoanalisis banyak berbicara mengenai kepribadian, khususnya dari segi struktur, dinamika, dan perkembangannya.
Dalam psikoanalisis, dituntut untuk mengungkapkan apakah teks sastra, hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam teks sastra, tidak boleh terpaku pada kajian narasi dalam substansi karakter tokoh saja, melainkan perlu mencermati apakah hal tersebut berhubungan dengan realitas atau tidak, serta sejauh mana pengarang mampu menghadirkan unsur-unsur di atas sebagai fenomena individual, atau sosial.
Sedangkan teori resepsi sastra banyak berbicara mengenai teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca sebagai pemberi tanggapan. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. Teori Resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra.



            Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks sastra, orang dapat merujuk teori Iser yang mengatakan bahwa teks sastra tidak dapat disamakan dengan objek-objek nyata yang mengandung makna tertentu. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak tafsir.
           
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dirumuskan di atas, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1.     Apa itu psikoanalisis?
2.     Apa itu teori resepsi sastra?

C.        Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.  Untuk mengetahui psikoanalisis.
2.  Untuk mengetahui teori resepsi sastra.








BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Psikoanalisis
Secara Etimologi Psikologi berasal dari dua kata psyche yang dalam bahasa yunani berarti “jiwa” dan kata logos yang dapat diterjemahkan dengan kata “ilmu”.  Jadi Psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa.
Berbicara tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang adanya tergantung pada hidup jasmani dan menimbulkan badaniah organik behavior, yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh proses belajar. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi dan manusia.
Sehingga pengertian psikologi dapat disimpulkan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dalam mana individu tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya.
Sandler mengatakan bahwa “At one time, psychoanalysts believed that they should construct scientific theories about the workings of the human mind, particularly the influence of biological factors (i.e. the body, the brain, or the inherited constitutional endowment) on the mind. Their view was that these theories could then be applied to a variety of problems, including the treatment of patients. Freud’s earliest explication of psychoanalytic theory fits this mould[1]
Teori psikoanalis seharusnya dikembangkan berdasarkan pada cara kerja pikiran manusia, khususnya pengaruh dari faktor biologis (yaitu tubuh, otak, atau endowment konstitusional warisan) pada pikiran. Teori psikoanalitik, dimulai dengan Freud sendiri, tidak mempelajari biologi data -otak, badan-badan atau evolusi. Sebaliknya, dia mengumpulkan pengalaman dalam kerja klinisnya kemudian berspekulasi tentang model biologis yang mungkin konsisten dengan pengalaman-pengalaman.
Sebuah langkah pertama menuju pengembangan teori berdasarkan data psikoanalitik adalah untuk membawa spekulasi psikoanalis dekat dengan pengalaman linical. Berteori bergeser dari neurobiologi dan psikologi evolusi. Model psikoanalitik persepsi, kognisi, belajar, memori dan kepribadian dikembangkan. Langkah selanjutnya melibatkan mendefinisikan subyek teori psikoanalitik sehingga terfokus pada peristiwa yang terjadi dalam psikoanalisis klinis yang dapat dipelajari dengan metode psikoanalitik, daripada baik pada spekulasi biologis yang berasal dari kejadian-kejadian atau formulasi ulang psikologis berikutnya.
Psikoanalisis adalah wilayah kajian psikologi sastra. Hubungan psikoanalisis dengan sastra telah berkembang cukup pesat dengan berbagai variasi perkembangan teori yang mengikuti psikoanalisis klasik sejak diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Sigmund Freud dianggap sebagai bapak psikoanalisis yang meyakini bahwa pada umumnya manusia bertindak didorong oleh kekuatan psikologis yang tak dipahaminya.
Sigmund Freud lahir di Freiberg, Moravia, pada tahun 1856, yang menjadi wilayah kekuasaan dari Austria-Hongaria. Morivia kini lebih dikenal dengan nama Republik Ceko. Freud adalah seorang Yahudi yang mana Ayahnya seorang pedagang tekstil. Pada usia empat tahun dia pindah ke Wina dan belajar kedokteran lalu bekerja dikerja di sebuah laboratorium. Frued juga menjadi seorang dokter dirumah sakit umum Wina dalam bidang Anatomi otak dan mengadakan penelitian tentang obat bius. Pada tahun 1886 dia menikah dengan Martha Bernays dan membuka praktek dokter saraf untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Freud mengemukakan konsep ketidakadarannya sebagai unsur utama dari pelaku manusia. Freud melukiskan jiwa manusia seperti gunung es di lautan. Bagian yang muncul di permukaan adalah bagian yang terkecil yaitu puncak dari gunung es tersebut yang dala hal ini adalah bagian kesadaran dari jiwa manusia. Agak di bawah permukaan laut disebutnya prakesadaran yang sewaktu-waktu dapat muncul kekesadaran. Bagian terbesar dari gunung es di bawah permukaan air, hal ini adalah alam ketidaksadaran. Ketidaksadaran berisi dorongan-dorongan yang ingin muncul kekesadaran. Dorongan ini mendesak ke atas sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego harus mengaturnya, dan jika ego tidak kuat menahan dorongan tersebut maka akan menimbulkan kelainan-kelainan tingkah laku. Semua tingkah laku bersumber kepada dorongan yang terdapat di alam ketidaksadaran. [2]
Penemuan psikoanalisis ini membuat Freud menjadi orang yang berpengaruh pada zamannya. Istilah psikoanalisis sendiri muncul pada tahun 1895-1905. Periode ini merupakan periode terbentuknya teori psikoanalisis. Psikoanalisis ini kemudian menjadi sebuah teori setelah dilakukannya serangkaian penelitian pada beberapa pasiennya yang terkena histeria.
Freud tidak memberikan penjelasan tentang teori psikoanalisisnya, ini dikarenakan penjelasan yang diberikan Freud selalu berubah-rubah. Menurut Freud dalam buku Susanto: Pertama, istilah ini digunakan untuk menunjukan satu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti mimpi) untuk menunjukan yang selama ini tidak bisa terjangkau secara ilmiah. Kedua, Psikoanalisis juga digunakan sebagai satu metode untuk menyembuhkan gangguan-gangguan psikis yang diakibatkan oleh pasien neurosis. Dan yang ketiga, istilah ini dipakai untuk menunjukan seluruh pengetahuan psikologi yang diperoleh melalui metode dan teknik yang telah dilakukan. [3]
Sepanjang perkembangan teori psikoanalisis sebagai ilmu pengetahuan mendapatkan banyak perdebatan dan penolakan. Salah satu penentang teori ini adalah H.J. Eysenck yang mengatakan bahwa psikoanalisis bukanlah ilmu pengetahuan, dan Karl Popper yang juga berpendapat bahwa psikoanalisis bukanlah satu ilmu pengatahuan yang berstatus ilmiah melainkan hanya suatu mistis saja.[4]
Dalam pengembangan teorinya Freud mengunakan banyak metode. Metode-metode yang digunakan oleh Freud dalam pengambangan teorinya antara lain:[5]
1.    Metode Kartasis : menemukan adanya hubungan antara ingatan yang dilupakan dengan gejala-gejala histeria setelah pasien dihipnotis.
2.    Metode Asosiasi Bebas : Pasien harus meninggalkan setiap sikap kritisnya terhadap fakta-fakta yang disadari.
Proses psikis manusia juga dipengaruhi oleh tiga prinsip utama yaitu:
a.  Konstansi
Prinsip ini memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kuantitas psikis pada tahap rendah
b.  Kesenangan
Prinsip kesenangan memiliki kecenderungan bahwa psikis manusia berusaha untuk menghindari ketidak senangan dan sebanyak mungkin memperoleh kesenangan. Prinsip ini juga bisa dianggap sebagai versi subjektif dari prinsip konstansi.
c.   Realitas
Kedua prinsip sebelumnya menguasai proses psikis yang lama kelamaan akan membuat subjek mencari kesenangan yang harus dipertimbangkandunia diluar mereka. Pemuasan yang dibatalkan karena demi pemuasan yang didasaran pada realitas maka prinsip nin disebut prinsip realitas.[6]
Sedangkan Psikoanalisis memusatkan perhatiannya pada satu konsep yaitu ketidaksadaran. Freud mengatakan ketidaksadaran sebagai dimensi yang tidak bersuara, tersembunyi, ataupun realitas psikologis.[7] Konsep ketidaksadaran ini akhirnya dilanjutkan oleh Jacques Lacan dengan memtransformasikannya kedalam bahasa, terutama dalam hal hasrat dan identitas.
Menurut Freud (Alwisol, 2005 : 17), kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Sampai dengan tahun 1920-an, teori tentang konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur tersebut. Baru, pada tahun 1923, Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yaitu id, ego, dan das Ueber Ich. Struktur baru ini tidak mengganti struktur lama, tetapi melengkapi gambaran mental terutama dalam fungsi dan tujuannya.[8]
Freud juga mengemukakan bahwa “Psychoanalysis for literary studies were the enlarged conception of defense, the increased interest in early, pre-oedipal child development, and the structural hypothesis of id, ego, and superego.” [9]
Freud berpendapat bahwa teori kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: id, ego, dan super ego, yang masing memiliki asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapan sendiri.
1.         Id
Id adalah aspek kepribadian yang dimiliki individu sejak lahir. Jadi id merupakan faktor pembawaan. Id merupakan aspek biologis dari kepribadian yang berupa dorongan-dorongan instintif yang fungsinya untuk mempertahankan  keseimbangan. Misalnya rasa lapar dan haus muncul jika tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Dengan munculnya rasa lapar dan haus individu berusaha mempertahankan keseimbangan hidupnya dengan berusaha memperoleh makanan dan minuman.
Menurut Freud, id berfungsi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), munculnya dorongan yang merupakan manifestasi id, adalah dalam rangka membawa individu ke dalam keadaan seimbang. Jika ini terpenuhi maka rasa puas atau senang akan diperoleh.
Perlengkapan yang dimiliki id menurut Freud berupa gerak-gerak refleks, yaitu gerakan yang terjadi secara spontan misalnya aktivitas bernafas untuk memperoleh oksigen dan kerdipan mata. Selain gerak refleks, id juga memiliki perlengkapan berupa proses primer, misalnya mengatasi lapar dengan membayangkan makanan.



2.         Ego
Ego merupakan aspek kepribadian yang diperoleh sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Menurut Freud, ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian yang fungsinya mengarahkan individu pada realitas atas dasar prinsip realitas (reality principle). Misal, ketika individu lapar secara realistis hanya dapat diatasi dengan makan. Dalam hal ini, ego mempertimbangkan bagaimana cara memperoleh makanan. Jika kemudian terdapat makanan, apakah makanan tersebut layak untuk dimakan atau tidak. Ego dalam berfungsinya melibatkan proses kejiwaan yang tidak simple dan untuk itu Freud menyebut perlengkapan untuk berfungsinya ego dengan proses sekunder.

3.         Super Ego
Super Ego adalah aspek sosiologis dari kepribadian, yang isinya berupa nilai-nilai atau aturan-aturan yang sifatnya normatif. Super ego secara sederhana dapat diartikan sebagai representasi dari berbagai nilai dan hukum-hukum satu masyarakat yang mana individu tersebut tinggal atau hidup. Super ego diperoleh seseorang melalu proses pendidikan, sosialisasi, perintah, dan larangan ataupun hukuman.[10]
Selain ketiga konsep teori kepribadian tersebut Freud juga mengemukakan tentang naluri (instinct). Naluri diartikan sebagai manisfestasi dari ketegangan secara badaniah yang selalu berusaha mencari peredam ketenganan. Naluri merupakan sifat bawaan manusia. Naluri dapat dibedakan mejadi dua macam yaitu naluri ingin hidup (etos) atau naluri ingin mati (thantos). Kekuatan sumber energi yang menggerakan naluri adalah libido. Dimana libido ini merupakan kekuatan yang mendorong manusia hidup. Selain itu juga Freud juga mengatakan bahwa energi libido itu dikembangkan melalui tahapan psikobiologis yang terpola secara genetik.[11] Tahapan-tahapan tersebut sering disebut sebagai tahapan psikoseksual, antara lain:
  1. Fase oral (0-1 tahun) : Disini anak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dengan berorientasi pada mulut. Kontak sosial lebih bersifat fisik seperti menyusui. Peran sosial biasanya dipegang oleh ibu.
  2. Fase anal (1–3 tahun) : Pada fase ini kenikmatan berpusat di daerah anus, seperti saat buang air besar. Inilah saat untuk mengajarkan disiplin pada anak.
  3. Fase falik (3–5 tahun) : Pusat kepuasan pada fase ini adalah alat kelamin. Anak mulai tertarik pada perbedaan anatomis laki-laki dan perempuan, dan biasanya difigurkan oleh ayah dan ibu. Pada anak laki-laki terjadi Oedipus Kompleks atau gairah seksual.
  4. Peride laten (5–12 tahun) : Merupakan masa tenang dimana anak mulai mengembangkan kemampuan motorik dan kognitifnya. Anak mulai mencoba menekan rasa takut dan cemas. Anak mulai mencari fugur ideal saat ia dewasa, homoseksual alami mulai bisa terlihat pada masa ini.
  5. Fase genital ( > 12 tahun ) : Tahap kematangan pada alat reproduksi, pusat kepuasaan berada di daerah kelamin. Di sini libido mulai diarahkan untuk hubungan heteroseksual. Dan mulai merasakan cinta kepada lawan jenis.

B.   Psikoanalisis dan Sastra
Hadirnya Freud dalam penelitian psikologi sastra tidak bisa dibantah lagi. Dia seakan menjadi pusat dari semua psikologi sastra, karena sampai saat ini, teori yang paling banyak digunakan dalam pendekatan ataupun penelitian psikologi adalah teori psikolanalisisnya. 
Pondasi teori Freud ini, hakekatnya terletak pada persoalan keinginan-keinginan yang tertunda atau dialihkan sehingga menyebabkan kecemasan. Keinginan-keinginan yang diungkapkan tersebut salah satu wujudnya adalah bahasa dianggap sebagai bentuk ketidaksadaran dari sang pemiliknya.  Hubungan antara psikoanalisis dsan sastra diletakkan pada tiga fokus yaitu:
1.         Ketidaksadaran dalam teks yang menjadi wakil dari kepribadian penciptanya, bukan teks itu sendiri, dari sang pengarang, yang tidak hanya dihubungkan melalui teks.
2.         Hubungan antara teks dan pembaca.
3.         Hubungan antara pengarang dan keaktivitasnya dilambangkan sebagai pemimpin dari teksnya.
Hubungan antara psikoanalisis dengan sastra dapat dilihat dalam salah satu karya Freud yang berjudul ”Interpretation of Dream’ (1900), Repression (1915), Studies in Hysteria (1893-1895). Dalam bukunya yang berjudul Repression (1915), mengatakan bahwa pikiran yang tidak sadar mampu mengungkapkan dirinya dalam bentuk yang lain atau dalam satu tindakan-tindakan, kata-kata, fantasi-fantasi mental dalam mana arti dari keadaan tersebut dapat diketahui melalui kesadaran ataupun penyaringan dari jiwa.
Dimana dalam bukunya, Freud, menuangkan semua mimpi, fantasi, mite sebagai bahan dasar dari ketidaksadaran dalam bentuk bahasa.  psikoanalisis sebenarnya mempunyai beberapa pengertian di antaranya praktik psikologi dan sebagai teori. Psikoanalisis berdasarkan pemikirannya pada proses bawah sadar yang membentuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar. Dimana pada teori ini berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia, seperti yang diutarakan Mario Klare yaitu:
˝Psychoanalytic literary criticism, a movement which sometimes deals with the author, but primarily attempts to illuminate general psychological aspects in a text that do not necessarily relate to the author exclusively. Under the influence of Sigmund Freud (1856–1939), psychoanalytic literary criticism expanded the study of psychological features beyond the author to cover a variety of intrinsic textual aspects. For instance, characters in a text can be analyzed psychologically, as if they were real people” [12]
            Tujuan Teori psikoanalisis adalah untuk bekerja menuju pemahaman tentang psikoanalisis melalui konsep pusat, alam bawah sadar, yang mengakui dan masuk akal dari ketidaksepakatan mengakar tentang apa prinsip-prinsip dasar yang berada.

C.        Struktur Kepribadian
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud yang mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketika pengarang menciptakan tokoh kadang “bermimpi” seperti halnya realitas. Semakin jauh lagi, pengarang juga sering “gila”, sehingga yang diekspresikannya seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.[13]
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id, ego, dan super ego, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui id pula sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel psikologis misalnya ternyata merupakan karya yang dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot.[14]
Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energy buta”. Dalam perkembangannya tumbuhlah ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan. Sementara super ego berkembang mengontrol dorongan-dorongan “buta” id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar. Adapun super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).[15]
Menurut Milner (1992: 32) ada hubungan antara sastra dengan psikoanalisa, antara lain: pertama, ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mmpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi”. Baginya, mimpi seperti tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.[16] 
Dengan demikian, proses kreativitas penulis dalam menciptakan karyanya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin dikatakan dan mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk tak langsung atau telah diubah. Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang menggambarkan emosi dan pemikirannya.[17]
Psikologi dalam (psikoanalisis) ini memang dapat mempengaruhi kejiwaan siapa saja termasuk tokoh-tokoh sastra. Psikoanalisis juga sering merangsang “keadaan jiwa” pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Bahkan Wordswoth menyebut istilah semacam ini sebagai “genetik” kelahiran sastra (puisi). Untuk menulis puisi yang baik, penyair harus berada pada keadaan jiwa tertentu. Hal ini berarti memang benar pertanyaan freud bahkan penyair kadang-kadang menjadi seorang “pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Baginya, kreativitas adalah sebuah pelarian (escapism). Keadaan serupa yang mengarah pada studi psikologi sastra terhadap proses kreatif pengarang.[18]
Kepribadian seorang pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi “objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya. Gerakan jiwa menjadi pendorong lahirnya sebuah karya sastra dan memfokuskan diri pada berbagai hal yang menyangkut kejiwaan seorang pengarang sebagai pribadi.[19]
           
D.        Teori Resepsi Sastra
Teori Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Resepsi sastra meneliti teks sastra dalam kaitan tertentu. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. [20]
Teori resepsi sastra berasal dari bhs latin recipere yang berarti menerima atau penikmata karya sastra oleh pembaca.[21]Teori Resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra. Hubungan sastra dengan pembaca mengandung implikasi estetik. Implikasi tersebut terletak pada kenyataan bahwa resepsi pembaca pada suatu karya telah dibekali oleh karya-karya yang telah dibaca sebelumnya. Dengan demikian, teks sastra menjadi objek estetik setelah dibaca atau dikonkretisasi oleh pembaca.[22] 
            Dalam proses konkritisasi, peran pembaca merupakan faktor penting dalam menjadikan teks sastra sebagai objek estetik. Pembaca dalam menghadapi karya sastra telah membawa sejumlah bekal yang berupa pengetahuan dan pengalaman. Bekal pembaca itulah yang menentukan dan selanjutnya mengarahkan pembacaannya. Dalam istilahnya, bekal pengetahuan itu membangun harapan pembaca dalam menghadapi karya. Dalam proses pembacaan, harapan senantiasa dikecewakan dengan munculnya inovasi-inovasi yang dilakukan oleh pengarang sehingga timbul ketegangan antara harapan dan inovasi itu pada pembaca. Dengan demikian, pembaca yang menanggapi suatu karya sastra merupakan faktor penting dalam mewujudkan karya sastra menjadi objek estetik.[23]
            Tanggapan terhadap suatu karya sastra dari seorang pembaca ke pembaca, dari periode ke periode selalu berbeda-beda disebabkan oleh harapannya. Harapan yang berbeda-beda antara seorang pembaca dengan pembaca lain, antara periode ke periode itu ditentukan oleh tiga kriteria. Tiga kriteria tersebut antara lain: pertama, norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dengan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami teks baru, baik dari harapan-harapan sastra maupun yang bersumber pada pengetahuan pembaca tentang kehidupan.[24] 
            Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks sastra, orang dapat merujuk teori Iser. Ia mengatakan bahwa teks sastra tidak dapat disamakan dengan objek-objek nyata yang mengandung makna tertentu. Menurutnya, sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian. Wilayah ketidakpastian merupakan “bagian-bagian kosong” atau “tempat-tempat terbuka” yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak tafsir.[25]
            Dalam mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, para pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana berdialog dan berkomunikasi dengan teks sastra. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan strateginya sehingga lahirlah realisasi teks. Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pula.[26]  
            Pembaca sebagai pengungkap makna sebuah karya sastra, sebenarnya, bukanlah merupakan faktor yang mantap-stabil karena yang disebut pembaca adalah faktor yang variabel sesuai dengan masa, tempat, dan keadaan sosiobudaya yang melatari pembaca. Karena itu, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca. Hal itu menunjukkan adanya struktur teks sastra yang dinamis, makna karya sastra akan selalu diperkaya dan dapat lebih terungkap, serta nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik.[27] 
            Faktor pembaca, dalam poros komunikasi mendapat pengertian yang bermacam-macam. Salah satu di antaranya yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah pembaca nyata. Pembaca ini merupakan pembaca dalam arti fisik, yaitu manusia yang melaksanakan tindakan pembacaan. Pembaca dalam kelompok ini meliputi pembaca peneliti dan pembaca umum. Pembaca peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya dan berdiri di dalam proses pembacaan. Sementara itu, pembaca umum dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra dan berdiri di luar proses pembacaan. Tanggapan pembacaannya dapat diteliti melalui penelitian eksperimental. Dalam penelitian ini, pembaca yang dimaksudkan adalah pembaca peneliti.[28]   
            Harapan dari seorang pembaca ke pembaca dan dari periode ke periode itu selalu berbeda-beda. Hal itu antara lain ditentukan oleh norma-norma yang terpaparkan dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca dan pengalaman serta pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.[29]
            Resepsi sastra juga merupakan cabang penelitian sastra yang memusatkan pada proses hubungan teks dan pembaca, yang sebagian besar diarahkan pada fase interpretatif proses pembacaan. Proses ini berkaitan erat dengan evaluasi ketika pembaca memberikan value judgement kepada teks tertentu.[30]  
Pertimbangan lain yang harus diperhatikan dalam resepsi sastra yaitu: pertama, perlu memperhatikan nilai informasi suatu teks, yakni seberapa jauh sebuah teks membawa informasi kepada pembaca, bergantung pada pengetahuan pembaca menguasai kode-kode yang dipakai dalam teks itu. Misalnya, ketika membaca karya sastra Ayat-ayat Cinta harus memahami kode-kode keagamaan. Hal ini penting untuk meresepsi teks sastra tersebut. Kedua, perlu dicermati bahwa sering ada kode sastra yang ditempatkan di atas kode linguistik. Kode sastra biasanya memiliki ciri konotatif sehingga memungkinkan kelahiran pesan lebih dari satu. Ketiga, dalam kaitannya dengan penelitian teks sastra yang berkonteks pembaca dan dapat memanfaatkan paradigma sosial budaya.[31]









BAB III
SIMPULAN

Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Hubungan psikoanalisis dengan sastra telah berkembang cukup pesat dengan berbagai variasi perkembangan teori yang mengikuti psikoanalisis klasik sejak diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Freud berpendapat bahwa teori kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu Id, the Ego, dan Super Ego, yang masing memiliki asal, aspek, fungsi, prinsip operasi, dan perlengkapan sendiri. Pondasi teori Freud ini, hakikatnya terletak pada persoalan keinginan-keinginan yang tertunda atau dialihkan sehingga menyebabkan kecemasan.
Teori Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Resepsi sastra meneliti teks sastra dalam kaitan tertentu. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca.
Teori Resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra. Hubungan sastra dengan pembaca mengandung implikasi estetik. Implikasi tersebut terletak pada kenyataan bahwa resepsi pembaca pada suatu karya telah dibekali oleh karya-karya yang telah dibaca sebelumnya. Dengan demikian, teks sastra menjadi objek estetik setelah dibaca atau dikonkretisasi oleh pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press, 2010.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress, 2008.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Caps, 2011.
Holland, Norman N. Psychoanalytic Psychology and Literature-and-Psychology. (Toronto: Oxford University Press, 1990), h. 38
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies Second Edition. London: Routledge, 2004.
Sandler, Joseph. Psychoanalysis on the Move. New York: Routledge, 1999.
Sarumpet, Toha dan Riris K. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pusaka Obor Indonesia, 2010.
Sudjana, Nana. Teori-teori Belajar untuk Pengajar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), h. 20.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Caps, 2002.


[1] Joseph Sandler, Psychoanalysis on the Move (New York: Routledge, 1999), h.171

[2] Nana Sudjana, Teori-teori Belajar untuk Pengajar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), h. 20.
[3] Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra .(Jakarta: Caps, 2002), h. 55.
[4] Ibid.
[5] Ibid.,  h. 56
[6] Ibid.,  h. 57
[7] Ibid.
[8] Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2010 ), h.17.
[9] Norman N. Holland, Psychoanalytic Psychology and Literature-and-Psychology. (Toronto: Oxford University Press, 1990), h. 38

[10] Suwardi Endraswara, Methode Penelitian Psikologi Sastra. (Yogyakarta.: MedPress. 2008), h. 199.
[11] Ibid., h. 62
[12]  Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies Second Edition (London: Routledge, 2004), h. 91.
[13] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Caps, 2011),  h. 101.
[14] Ibid, h 101.
[15] Ibid. h 101.
[16] Ibid., h. 102.
[17] Ibid., h. 102.
[18] Ibid., h. 103.
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 115.
[21] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Caps, 2011), h. 118.
[22] Sanidu, Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2007), h. 20.
[23] Ibid.
[24] Ibid., h. 20-21.
[25] Ibid., h. 21.
[26] Ibid.
[27] Ibid., h. 21-22.
[28] Ibid., h. 22.
[29] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra (Yogyakarta: Caps, 2011), h. 118.
[30] Ibid.
[31] Ibid., h. 118-119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar