PSIKOANALISIS DAN TEORI
RESEPSI SASTRA
Disajikan Untuk Mata Kuliah
Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen: Prof. Dr. Emzir, M.Pd
dan Dr. Nuruddin, MA
Disusun
Oleh Kelompok 6:
Desy
No.Reg.: 7316130253
Reni
Oktaviani No. Reg.: 7316130283
PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Psikoanalisis
dan teori resepsi sastra banyak ditemukan dalam buku-buku, jurnal dan
perpustakaan. Teori psikoanalisis dapat dipandang sebagai teknik terapi dan
aliran psikologi. Sebagai aliran psikologi, psikoanalisis banyak berbicara
mengenai kepribadian, khususnya dari segi struktur, dinamika, dan perkembangannya.
Dalam
psikoanalisis, dituntut untuk mengungkapkan apakah teks sastra, hal-hal yang
menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam teks sastra, tidak boleh terpaku pada
kajian narasi dalam substansi karakter tokoh saja, melainkan perlu mencermati
apakah hal tersebut berhubungan dengan realitas atau tidak, serta sejauh mana
pengarang mampu menghadirkan unsur-unsur di atas sebagai fenomena individual,
atau sosial.
Sedangkan teori resepsi sastra banyak berbicara mengenai
teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca sebagai pemberi tanggapan. Teks
sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca.
Teori Resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran
pembaca dalam memberikan makna teks sastra.
Berbicara
tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks
sastra, orang dapat merujuk teori Iser yang mengatakan bahwa teks sastra tidak
dapat disamakan dengan objek-objek nyata yang mengandung makna tertentu. Hal
ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak tafsir.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah dirumuskan di atas, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
1. Apa
itu psikoanalisis?
2. Apa
itu teori resepsi sastra?
C.
Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk
mengetahui psikoanalisis.
2. Untuk
mengetahui teori resepsi sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Psikoanalisis
Secara Etimologi Psikologi berasal dari
dua kata psyche yang dalam bahasa yunani berarti “jiwa” dan kata logos
yang dapat diterjemahkan dengan kata “ilmu”. Jadi
Psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam
gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu
jiwa.
Berbicara
tentang jiwa, terlebih dahulu kita harus dapat membedakan antara nyawa dan
jiwa. Nyawa adalah daya jasmaniah yang adanya tergantung pada hidup jasmani dan
menimbulkan badaniah organik behavior, yaitu perbuatan yang ditimbulkan oleh
proses belajar. Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat
abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan
pribadi (personal behavior) dari
hewan tingkat tinggi dan manusia.
Sehingga
pengertian psikologi dapat disimpulkan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari semua tingkah laku dan perbuatan individu, dalam mana individu
tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya.
Sandler mengatakan bahwa “At one time, psychoanalysts believed that
they should construct scientific theories about the workings of the human mind,
particularly the influence of biological factors (i.e. the body, the brain, or
the inherited constitutional endowment) on the mind. Their view was that these
theories could then be applied to a variety of problems, including the
treatment of patients. Freud’s earliest explication of psychoanalytic theory
fits this mould”[1]
Teori psikoanalis seharusnya dikembangkan
berdasarkan pada cara kerja pikiran
manusia, khususnya pengaruh dari faktor biologis (yaitu tubuh, otak, atau endowment konstitusional warisan) pada
pikiran. Teori
psikoanalitik, dimulai dengan Freud sendiri, tidak mempelajari biologi data -otak, badan-badan atau evolusi. Sebaliknya, dia
mengumpulkan pengalaman dalam
kerja klinisnya kemudian berspekulasi tentang model biologis yang mungkin
konsisten dengan
pengalaman-pengalaman.
Sebuah langkah pertama menuju
pengembangan teori berdasarkan data psikoanalitik adalah untuk membawa
spekulasi psikoanalis dekat dengan pengalaman linical. Berteori bergeser dari
neurobiologi dan psikologi evolusi. Model psikoanalitik persepsi, kognisi,
belajar, memori dan kepribadian dikembangkan. Langkah selanjutnya melibatkan mendefinisikan subyek
teori psikoanalitik sehingga terfokus pada peristiwa yang terjadi dalam
psikoanalisis klinis yang dapat dipelajari dengan metode psikoanalitik,
daripada baik pada spekulasi biologis yang berasal dari kejadian-kejadian atau
formulasi ulang psikologis berikutnya.
Psikoanalisis adalah
wilayah kajian psikologi sastra. Hubungan psikoanalisis dengan sastra telah
berkembang cukup pesat dengan berbagai variasi perkembangan teori yang
mengikuti psikoanalisis klasik sejak diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Sigmund
Freud dianggap sebagai bapak psikoanalisis yang meyakini bahwa pada umumnya
manusia bertindak didorong oleh kekuatan psikologis yang tak dipahaminya.
Sigmund Freud lahir di Freiberg, Moravia, pada tahun
1856, yang menjadi wilayah kekuasaan dari Austria-Hongaria. Morivia kini lebih
dikenal dengan nama Republik Ceko. Freud adalah seorang Yahudi yang mana
Ayahnya seorang pedagang tekstil. Pada usia empat tahun dia pindah ke Wina dan
belajar kedokteran lalu bekerja dikerja di sebuah laboratorium. Frued juga
menjadi seorang dokter dirumah sakit umum Wina dalam bidang Anatomi otak dan
mengadakan penelitian tentang obat bius. Pada tahun 1886 dia menikah dengan
Martha Bernays dan membuka praktek dokter saraf untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya.
Freud mengemukakan konsep
ketidakadarannya sebagai unsur utama dari pelaku manusia. Freud melukiskan jiwa
manusia seperti gunung es di lautan. Bagian yang muncul di permukaan adalah
bagian yang terkecil yaitu puncak dari gunung es tersebut yang dala hal ini
adalah bagian kesadaran dari jiwa manusia. Agak di bawah permukaan laut
disebutnya prakesadaran yang sewaktu-waktu dapat muncul kekesadaran. Bagian
terbesar dari gunung es di bawah permukaan air, hal ini adalah alam
ketidaksadaran. Ketidaksadaran berisi dorongan-dorongan yang ingin muncul
kekesadaran. Dorongan ini mendesak ke atas sedangkan tempat di atas sangat
terbatas. Ego harus mengaturnya, dan jika ego tidak kuat menahan dorongan
tersebut maka akan menimbulkan kelainan-kelainan tingkah laku. Semua tingkah
laku bersumber kepada dorongan yang terdapat di alam ketidaksadaran. [2]
Penemuan psikoanalisis ini membuat Freud menjadi orang
yang berpengaruh pada zamannya. Istilah psikoanalisis sendiri muncul pada tahun
1895-1905. Periode ini merupakan periode terbentuknya teori psikoanalisis.
Psikoanalisis ini kemudian menjadi sebuah teori setelah dilakukannya
serangkaian penelitian pada beberapa pasiennya yang terkena histeria.
Freud tidak memberikan penjelasan tentang teori
psikoanalisisnya, ini dikarenakan penjelasan yang diberikan Freud selalu
berubah-rubah. Menurut Freud dalam buku Susanto: Pertama, istilah ini digunakan
untuk menunjukan satu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti
mimpi) untuk menunjukan yang selama ini tidak bisa terjangkau secara ilmiah.
Kedua, Psikoanalisis juga digunakan sebagai satu metode untuk menyembuhkan
gangguan-gangguan psikis yang diakibatkan oleh pasien neurosis. Dan yang
ketiga, istilah ini dipakai untuk menunjukan seluruh pengetahuan psikologi yang
diperoleh melalui metode dan teknik yang telah dilakukan. [3]
Sepanjang perkembangan teori psikoanalisis sebagai ilmu
pengetahuan mendapatkan banyak perdebatan dan penolakan. Salah satu penentang
teori ini adalah H.J. Eysenck yang mengatakan bahwa psikoanalisis bukanlah ilmu
pengetahuan, dan Karl Popper yang juga berpendapat bahwa psikoanalisis bukanlah
satu ilmu pengatahuan yang berstatus ilmiah melainkan hanya suatu mistis saja.[4]
Dalam pengembangan teorinya Freud mengunakan banyak
metode. Metode-metode yang digunakan oleh Freud dalam pengambangan teorinya
antara lain:[5]
1. Metode Kartasis : menemukan adanya hubungan antara
ingatan yang dilupakan dengan gejala-gejala histeria setelah pasien dihipnotis.
2. Metode Asosiasi Bebas : Pasien harus meninggalkan setiap
sikap kritisnya terhadap fakta-fakta yang disadari.
Proses psikis manusia juga dipengaruhi oleh tiga prinsip
utama yaitu:
a. Konstansi
Prinsip ini memiliki kecenderungan untuk mempertahankan
kuantitas psikis pada tahap rendah
b. Kesenangan
Prinsip kesenangan memiliki kecenderungan bahwa psikis
manusia berusaha untuk menghindari ketidak senangan dan sebanyak mungkin
memperoleh kesenangan. Prinsip ini juga bisa dianggap sebagai versi subjektif
dari prinsip konstansi.
c.
Realitas
Kedua prinsip sebelumnya menguasai proses psikis yang
lama kelamaan akan membuat subjek mencari kesenangan yang harus
dipertimbangkandunia diluar mereka. Pemuasan yang dibatalkan karena demi
pemuasan yang didasaran pada realitas maka prinsip nin disebut prinsip
realitas.[6]
Sedangkan Psikoanalisis
memusatkan perhatiannya pada satu konsep yaitu ketidaksadaran. Freud mengatakan
ketidaksadaran sebagai dimensi yang tidak bersuara, tersembunyi, ataupun
realitas psikologis.[7]
Konsep ketidaksadaran ini akhirnya dilanjutkan oleh Jacques Lacan dengan
memtransformasikannya kedalam bahasa, terutama dalam hal hasrat dan identitas.
Menurut Freud (Alwisol,
2005 : 17), kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious),
prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Sampai dengan
tahun 1920-an, teori tentang
konflik kejiwaan hanya melibatkan ketiga unsur tersebut. Baru, pada tahun 1923, Freud mengenalkan tiga model struktural yang lain, yaitu
id, ego, dan das Ueber Ich. Struktur
baru ini tidak mengganti struktur lama, tetapi melengkapi gambaran mental
terutama dalam fungsi dan tujuannya.[8]
Freud juga mengemukakan bahwa “Psychoanalysis for literary
studies were the enlarged conception of defense, the increased interest in
early, pre-oedipal child development, and the structural hypothesis of id, ego,
and superego.” [9]
Freud berpendapat bahwa
teori kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: id,
ego, dan super ego, yang masing memiliki asal, aspek, fungsi, prinsip operasi,
dan perlengkapan sendiri.
1.
Id
Id adalah aspek
kepribadian yang dimiliki individu sejak lahir. Jadi id merupakan faktor
pembawaan. Id merupakan aspek biologis dari kepribadian yang berupa
dorongan-dorongan instintif yang fungsinya untuk mempertahankan keseimbangan. Misalnya rasa lapar dan haus
muncul jika tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Dengan munculnya rasa lapar
dan haus individu berusaha mempertahankan keseimbangan hidupnya dengan berusaha
memperoleh makanan dan minuman.
Menurut Freud, id
berfungsi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), munculnya
dorongan yang merupakan manifestasi id, adalah dalam rangka membawa individu ke
dalam keadaan seimbang. Jika ini terpenuhi maka rasa puas atau senang akan
diperoleh.
Perlengkapan yang dimiliki
id menurut Freud berupa gerak-gerak refleks, yaitu gerakan yang terjadi secara
spontan misalnya aktivitas bernafas untuk memperoleh oksigen dan kerdipan mata.
Selain gerak refleks, id juga memiliki perlengkapan berupa proses primer,
misalnya mengatasi lapar dengan membayangkan makanan.
2.
Ego
Ego merupakan aspek
kepribadian yang diperoleh sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungannya. Menurut Freud, ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian
yang fungsinya mengarahkan individu pada realitas atas dasar prinsip realitas (reality
principle). Misal, ketika individu lapar secara realistis hanya dapat diatasi
dengan makan. Dalam hal ini, ego mempertimbangkan bagaimana cara memperoleh
makanan. Jika kemudian terdapat makanan, apakah makanan tersebut layak untuk
dimakan atau tidak. Ego dalam berfungsinya melibatkan proses kejiwaan yang
tidak simple dan untuk itu Freud menyebut perlengkapan untuk berfungsinya ego
dengan proses sekunder.
3.
Super
Ego
Super
Ego adalah aspek sosiologis dari kepribadian, yang isinya berupa nilai-nilai
atau aturan-aturan yang sifatnya normatif. Super ego secara sederhana dapat
diartikan sebagai representasi dari berbagai nilai dan hukum-hukum satu
masyarakat yang mana individu tersebut tinggal atau hidup. Super ego diperoleh
seseorang melalu proses pendidikan, sosialisasi, perintah, dan larangan ataupun
hukuman.[10]
Selain ketiga konsep teori kepribadian tersebut Freud
juga mengemukakan tentang naluri (instinct).
Naluri diartikan sebagai manisfestasi dari ketegangan secara badaniah yang
selalu berusaha mencari peredam ketenganan. Naluri merupakan sifat bawaan
manusia. Naluri dapat dibedakan mejadi dua macam yaitu naluri ingin hidup
(etos) atau naluri ingin mati (thantos). Kekuatan sumber energi yang
menggerakan naluri adalah libido. Dimana libido ini merupakan kekuatan yang
mendorong manusia hidup. Selain itu juga Freud juga mengatakan bahwa energi
libido itu dikembangkan melalui tahapan psikobiologis yang terpola secara
genetik.[11]
Tahapan-tahapan tersebut sering disebut sebagai tahapan psikoseksual, antara
lain:
- Fase oral (0-1 tahun) : Disini anak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dengan berorientasi pada mulut. Kontak sosial lebih bersifat fisik seperti menyusui. Peran sosial biasanya dipegang oleh ibu.
- Fase anal (1–3 tahun) : Pada fase ini kenikmatan berpusat di daerah anus, seperti saat buang air besar. Inilah saat untuk mengajarkan disiplin pada anak.
- Fase falik (3–5 tahun) : Pusat kepuasan pada fase ini adalah alat kelamin. Anak mulai tertarik pada perbedaan anatomis laki-laki dan perempuan, dan biasanya difigurkan oleh ayah dan ibu. Pada anak laki-laki terjadi Oedipus Kompleks atau gairah seksual.
- Peride laten (5–12 tahun) : Merupakan masa tenang dimana anak mulai mengembangkan kemampuan motorik dan kognitifnya. Anak mulai mencoba menekan rasa takut dan cemas. Anak mulai mencari fugur ideal saat ia dewasa, homoseksual alami mulai bisa terlihat pada masa ini.
- Fase genital ( > 12 tahun ) : Tahap kematangan pada alat reproduksi, pusat kepuasaan berada di daerah kelamin. Di sini libido mulai diarahkan untuk hubungan heteroseksual. Dan mulai merasakan cinta kepada lawan jenis.
B.
Psikoanalisis dan Sastra
Hadirnya Freud dalam penelitian psikologi sastra tidak bisa dibantah lagi.
Dia seakan menjadi pusat dari semua psikologi sastra, karena sampai saat ini,
teori yang paling banyak digunakan dalam pendekatan ataupun penelitian
psikologi adalah teori psikolanalisisnya.
Pondasi teori Freud ini,
hakekatnya terletak pada persoalan keinginan-keinginan yang tertunda atau
dialihkan sehingga menyebabkan kecemasan. Keinginan-keinginan yang diungkapkan
tersebut salah satu wujudnya adalah bahasa dianggap sebagai bentuk
ketidaksadaran dari sang pemiliknya.
Hubungan antara psikoanalisis dsan sastra diletakkan pada tiga fokus
yaitu:
1.
Ketidaksadaran
dalam teks yang menjadi wakil dari kepribadian penciptanya, bukan teks itu
sendiri, dari sang pengarang, yang tidak hanya dihubungkan melalui teks.
2.
Hubungan
antara teks dan pembaca.
3.
Hubungan
antara pengarang dan keaktivitasnya dilambangkan sebagai pemimpin dari teksnya.
Hubungan antara psikoanalisis dengan sastra dapat dilihat
dalam salah satu karya Freud yang berjudul ”Interpretation
of Dream’ (1900), Repression
(1915), Studies in Hysteria (1893-1895).
Dalam bukunya yang berjudul Repression
(1915), mengatakan bahwa pikiran yang tidak sadar mampu mengungkapkan dirinya
dalam bentuk yang lain atau dalam satu tindakan-tindakan, kata-kata,
fantasi-fantasi mental dalam mana arti dari keadaan tersebut dapat diketahui
melalui kesadaran ataupun penyaringan dari jiwa.
Dimana dalam bukunya, Freud, menuangkan semua mimpi,
fantasi, mite sebagai bahan dasar dari ketidaksadaran dalam bentuk bahasa. psikoanalisis sebenarnya mempunyai beberapa
pengertian di antaranya praktik psikologi dan sebagai teori. Psikoanalisis berdasarkan
pemikirannya pada proses bawah sadar yang membentuk perilaku dan segala
penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar. Dimana pada teori ini
berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia, seperti yang
diutarakan Mario Klare yaitu:
˝Psychoanalytic literary criticism, a movement which sometimes deals with
the author, but primarily attempts to illuminate general psychological aspects
in a text that do not necessarily relate to the author exclusively. Under the
influence of Sigmund Freud (1856–1939), psychoanalytic literary criticism
expanded the study of psychological features beyond the author to cover a
variety of intrinsic textual aspects. For instance, characters in a text can be
analyzed psychologically, as if they were real people” [12]
Tujuan
Teori psikoanalisis adalah untuk bekerja menuju pemahaman tentang
psikoanalisis melalui konsep pusat, alam bawah sadar, yang mengakui dan masuk
akal dari ketidaksepakatan mengakar tentang apa prinsip-prinsip dasar yang
berada.
C.
Struktur Kepribadian
Psikoanalisa adalah wilayah
kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund
Freud yang mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil
dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak
sadar. Ketika pengarang menciptakan tokoh kadang “bermimpi” seperti halnya
realitas. Semakin jauh lagi, pengarang juga sering “gila”, sehingga yang
diekspresikannya seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.[13]
Dalam kajian psikologi
sastra, akan berusaha mengungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang
meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu id, ego, dan super ego, ketiga sistem
kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan
tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id
(das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan
acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui
id pula sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi
apa yang kemudian dinamakan novel psikologis misalnya ternyata merupakan karya
yang dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah
menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot.[14]
Id adalah aspek kepribadian
yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak
kenal nilai dan agaknya berupa “energy buta”. Dalam perkembangannya tumbuhlah
ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan. Sementara super ego
berkembang mengontrol dorongan-dorongan “buta” id tersebut. Hal ini berarti ego
(das ich) merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip
kenyataan. Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan
dunia luar. Adapun super ego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang
berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk).[15]
Menurut Milner (1992: 32)
ada hubungan antara sastra dengan psikoanalisa, antara lain: pertama, ada
kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi manusia yang menyebabkan
kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra
itu memberikan jalan keluar terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada
kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi
karya sastra dengan proses elaborasi mmpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan
mimpi”. Baginya, mimpi seperti tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada
sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang
bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.[16]
Dengan demikian, proses
kreativitas penulis dalam menciptakan karyanya sangat dipengaruhi oleh sistem
sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan
hal-hal penting yang ingin dikatakan dan mendorongnya untuk mengatakan dalam
bentuk tak langsung atau telah diubah. Jadi karya sastra merupakan ungkapan
kejiwaan pengarang, yang menggambarkan emosi dan pemikirannya.[17]
Psikologi dalam
(psikoanalisis) ini memang dapat mempengaruhi kejiwaan siapa saja termasuk
tokoh-tokoh sastra. Psikoanalisis juga sering merangsang “keadaan jiwa”
pencipta sehingga muncul ide teks sastra. Bahkan Wordswoth menyebut istilah
semacam ini sebagai “genetik” kelahiran sastra (puisi). Untuk menulis puisi
yang baik, penyair harus berada pada keadaan jiwa tertentu. Hal ini berarti
memang benar pertanyaan freud bahkan penyair kadang-kadang menjadi seorang
“pelamun” yang lari dari kenyataan hidup. Baginya, kreativitas adalah sebuah
pelarian (escapism). Keadaan serupa
yang mengarah pada studi psikologi sastra terhadap proses kreatif pengarang.[18]
Kepribadian seorang
pengarang akan tampak juga dalam kejiwaan karyanya. Karya sastra menjadi
“objek” ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk meluapkan isi hatinya.
Gerakan jiwa menjadi pendorong lahirnya sebuah karya sastra dan memfokuskan
diri pada berbagai hal yang menyangkut kejiwaan seorang pengarang sebagai
pribadi.[19]
D.
Teori
Resepsi Sastra
Teori Resepsi sastra adalah pendekatan
penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Resepsi sastra meneliti teks
sastra dalam kaitan tertentu. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan
pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. [20]
Teori resepsi sastra berasal
dari bhs latin recipere yang berarti
menerima atau penikmata karya sastra oleh pembaca.[21]Teori
Resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca
dalam memberikan makna teks sastra. Hubungan sastra dengan pembaca mengandung
implikasi estetik. Implikasi tersebut terletak pada kenyataan bahwa resepsi
pembaca pada suatu karya telah dibekali oleh karya-karya yang telah dibaca
sebelumnya. Dengan demikian, teks sastra menjadi objek estetik setelah dibaca
atau dikonkretisasi oleh pembaca.[22]
Dalam
proses konkritisasi, peran pembaca merupakan faktor penting dalam menjadikan
teks sastra sebagai objek estetik. Pembaca dalam menghadapi karya sastra telah
membawa sejumlah bekal yang berupa pengetahuan dan pengalaman. Bekal pembaca
itulah yang menentukan dan selanjutnya mengarahkan pembacaannya. Dalam
istilahnya, bekal pengetahuan itu membangun harapan pembaca dalam menghadapi
karya. Dalam proses pembacaan, harapan senantiasa dikecewakan dengan munculnya
inovasi-inovasi yang dilakukan oleh pengarang sehingga timbul ketegangan antara
harapan dan inovasi itu pada pembaca. Dengan demikian, pembaca yang menanggapi
suatu karya sastra merupakan faktor penting dalam mewujudkan karya sastra
menjadi objek estetik.[23]
Tanggapan
terhadap suatu karya sastra dari seorang pembaca ke pembaca, dari periode ke
periode selalu berbeda-beda disebabkan oleh harapannya. Harapan yang
berbeda-beda antara seorang pembaca dengan pembaca lain, antara periode ke periode
itu ditentukan oleh tiga kriteria. Tiga kriteria tersebut antara lain: pertama,
norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;
kedua, pengalaman dan pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca
sebelumnya; ketiga, pertentangan antara fiksi dengan kenyataan, yaitu kemampuan
pembaca untuk memahami teks baru, baik dari harapan-harapan sastra maupun yang
bersumber pada pengetahuan pembaca tentang kehidupan.[24]
Berbicara
tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks
sastra, orang dapat merujuk teori Iser. Ia mengatakan bahwa teks sastra tidak
dapat disamakan dengan objek-objek nyata yang mengandung makna tertentu.
Menurutnya, sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah
indeterminasi atau wilayah ketidakpastian. Wilayah ketidakpastian merupakan
“bagian-bagian kosong” atau “tempat-tempat terbuka” yang “mengharuskan” pembaca
untuk mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai
banyak tafsir.[25]
Dalam
mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, para
pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana berdialog dan berkomunikasi dengan
teks sastra. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca
berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks
berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang berupa
pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan strateginya sehingga lahirlah
realisasi teks. Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang
berbeda-beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan
pengetahuan yang berbeda-beda pula.[26]
Pembaca
sebagai pengungkap makna sebuah karya sastra, sebenarnya, bukanlah merupakan
faktor yang mantap-stabil karena yang disebut pembaca adalah faktor yang
variabel sesuai dengan masa, tempat, dan keadaan sosiobudaya yang melatari
pembaca. Karena itu, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh makna yang
bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca. Hal itu menunjukkan adanya
struktur teks sastra yang dinamis, makna karya sastra akan selalu diperkaya dan
dapat lebih terungkap, serta nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik.[27]
Faktor
pembaca, dalam poros komunikasi mendapat pengertian yang bermacam-macam. Salah
satu di antaranya yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah pembaca nyata.
Pembaca ini merupakan pembaca dalam arti fisik, yaitu manusia yang melaksanakan
tindakan pembacaan. Pembaca dalam kelompok ini meliputi pembaca peneliti dan
pembaca umum. Pembaca peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan
terhadap sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya dan berdiri di dalam
proses pembacaan. Sementara itu, pembaca umum dalam resepsinya berupa reaksi
atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra dan berdiri di luar proses
pembacaan. Tanggapan pembacaannya dapat diteliti melalui penelitian
eksperimental. Dalam penelitian ini, pembaca yang dimaksudkan adalah pembaca
peneliti.[28]
Harapan
dari seorang pembaca ke pembaca dan dari periode ke periode itu selalu
berbeda-beda. Hal itu antara lain ditentukan oleh norma-norma yang terpaparkan
dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca dan pengalaman serta pengetahuan
pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.[29]
Resepsi
sastra juga merupakan cabang penelitian sastra yang memusatkan pada proses
hubungan teks dan pembaca, yang sebagian besar diarahkan pada fase
interpretatif proses pembacaan. Proses ini berkaitan erat dengan evaluasi
ketika pembaca memberikan value judgement
kepada teks tertentu.[30]
Pertimbangan lain yang harus
diperhatikan dalam resepsi sastra yaitu: pertama,
perlu memperhatikan nilai informasi suatu teks, yakni seberapa jauh sebuah teks
membawa informasi kepada pembaca, bergantung pada pengetahuan pembaca menguasai
kode-kode yang dipakai dalam teks itu. Misalnya, ketika membaca karya sastra Ayat-ayat Cinta harus memahami kode-kode
keagamaan. Hal ini penting untuk meresepsi teks sastra tersebut. Kedua, perlu dicermati bahwa sering ada
kode sastra yang ditempatkan di atas kode linguistik. Kode sastra biasanya
memiliki ciri konotatif sehingga memungkinkan kelahiran pesan lebih dari satu. Ketiga, dalam kaitannya dengan
penelitian teks sastra yang berkonteks pembaca dan dapat memanfaatkan paradigma
sosial budaya.[31]
BAB
III
SIMPULAN
Psikoanalisa adalah
wilayah kajian psikologi sastra. Hubungan psikoanalisis dengan sastra telah
berkembang cukup pesat dengan berbagai variasi perkembangan teori yang
mengikuti psikoanalisis klasik sejak diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Freud berpendapat bahwa
teori kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu Id,
the Ego, dan Super Ego, yang masing memiliki asal, aspek, fungsi, prinsip
operasi, dan perlengkapan sendiri. Pondasi
teori Freud ini, hakikatnya
terletak pada persoalan keinginan-keinginan yang tertunda atau dialihkan
sehingga menyebabkan kecemasan.
Teori Resepsi sastra adalah
pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Resepsi sastra
meneliti teks sastra dalam kaitan tertentu. Teks sastra diteliti dalam
kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca.
Teori Resepsi sastra
merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan
makna teks sastra. Hubungan sastra dengan pembaca mengandung implikasi estetik.
Implikasi tersebut terletak pada kenyataan bahwa resepsi pembaca pada suatu karya
telah dibekali oleh karya-karya yang telah dibaca sebelumnya. Dengan demikian,
teks sastra menjadi objek estetik setelah dibaca atau dikonkretisasi oleh
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. Psikologi
Kepribadian. Malang: UMM
Press, 2010.
Endraswara,
Suwardi. Metodologi Penelitian Psikologi
Sastra. Yogyakarta: MedPress, 2008.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta:
Caps, 2011.
Holland, Norman N. Psychoanalytic Psychology and
Literature-and-Psychology. (Toronto: Oxford University Press, 1990), h. 38
Klarer, Mario. An Introduction to Literary Studies Second Edition. London:
Routledge, 2004.
Sandler, Joseph. Psychoanalysis on the Move. New York: Routledge, 1999.
Sarumpet, Toha dan Riris K. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:
Yayasan Pusaka Obor Indonesia, 2010.
Sudjana, Nana. Teori-teori
Belajar untuk Pengajar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), h. 20.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Caps, 2002.
[1]
Joseph
Sandler, Psychoanalysis on the Move (New
York: Routledge, 1999), h.171
[2]
Nana Sudjana, Teori-teori Belajar untuk
Pengajar (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), h. 20.
[3]
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra .(Jakarta:
Caps, 2002), h. 55.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid., h. 56
[6]
Ibid., h. 57
[7]
Ibid.
[8] Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM
Press, 2010 ), h.17.
[9] Norman N. Holland, Psychoanalytic
Psychology and Literature-and-Psychology. (Toronto: Oxford University
Press, 1990), h. 38
[10]
Suwardi Endraswara, Methode Penelitian
Psikologi Sastra. (Yogyakarta.: MedPress. 2008), h. 199.
[11]
Ibid., h. 62
[12] Mario Klarer, An Introduction to
Literary Studies Second Edition (London: Routledge, 2004), h. 91.
[13]
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian
Sastra (Yogyakarta: Caps, 2011), h.
101.
[14]
Ibid, h 101.
[15]
Ibid. h 101.
[16]
Ibid., h. 102.
[17]
Ibid., h. 102.
[18]
Ibid., h. 103.
[19]
Ibid.
[20]
Ibid., h. 115.
[21]
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian
Sastra (Yogyakarta: Caps, 2011), h.
118.
[22]
Sanidu, Penelitian Sastra: Pendekatan,
Teori, Metode, Teknik, dan Kiat (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2007),
h. 20.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid., h. 20-21.
[25]
Ibid., h. 21.
[26]
Ibid.
[27]
Ibid., h. 21-22.
[28]
Ibid., h. 22.
[29]
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian
Sastra (Yogyakarta: Caps, 2011), h.
118.
[30]
Ibid.
[31]
Ibid., h. 118-119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar