Kamis, 20 November 2014

Keberagaman Intelegensi



I. Keberagaman Intelegensi
A. Hakikat Keberagaman Intelegensi
Keragaman dimaksud sebagai ciri-ciri yang melekat pada kelompok tertentu. Pengelompokkan ini dapat ditinjau dari aspek jenis kelamin, jasmaniah, status sosial ekonomi, etnis-ras, budaya, bahasa, agama, kondisi mental, perilaku, intelektualitas, dan seterusnya. Misalnya terdapat perbedaan antara kelompok siswa laki-laki dengan kelompok siswa perempuan atau pun kelompok siswa dari status sosial ekonomi rendah dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Pada sisi lain, terdapat variasi antar individu di mana masing-masing siswa memiliki perbedaan yang disebut sebagai keunikan individu (Individual Differences). Dengan demikian, dalam setiap kelompok terdapat pula perbedaan individual.
Group differences are qualities shared by members of an identifiable group or community, but not shared by everyone in society. Individual differences are qualitiesthat are unique; just one person has them at a time. Variation in hair color, for example, is an individual difference; even though some people have nearly the same hair color, no two people are exactly the same”, (Seifert & Sutton, 2009:64).
Inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu “inteligensia“. Sedangkan kata “inteligensia“ berasal dari kata inter dan lego, “inter” berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran. Masyarakat umum mengenal inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. Intelligence is the aggregate (collective) or global capacity of the individual to act purposefully, to think rationally, and to deal effectively with his environment” (Wechsler 1955). Manual for the Wechsler Adult Intelligence Scale. Psychological Corporation, New York.. Feldman (2009) yang sependapat dengan Wechsler menyatakan bahwa, “Intelligence is the capacity to understand the world, think rationally, and use resources effectively when faced with challenges.” Menurut teori-teori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu : (1). Kemampuan untuk belajar. (2). Keseluruh pengetahuan yang di peroleh. (3). Kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahan dalam rangka mamacahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan (Woolfolk, 2007).
B.  Faktor yang Mempengarui Keberagaman Intelegensi
Tingkat intelegensi setiap individu berbeda-beda dipengaruhi oleh; (1) Faktor bawaan atau keturunan. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.  (2) Faktor lingkungan. Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, lingkungan tetap bisa mempengaruhi inteligensi. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.

C.  Howard Gardner of Multiple intellegencies Theory
Gardner menyebutkan bahwa ada delapan bentuk intelegensi dan masing-masing berfungsi secara independen (dalam Kelvin & Rosemary, 2003:66). Setiap individu mempunyai satu atau lebih kombinasi dari delapan bentuk kecerdasaan tersebut. Perbedaan kombinasi intelegensi pada individu saling membantu mereka untuk sukses dibidangnya. Peneliltian menunjukkan, misalnya bahwa siswa-siswa dapat menunjukkan tingkat prestasi yang berbeda di pelajaran yang berbeda, sehingga menantang pandangan tentang keunggulan inteligensi global atau IQ.
Berikut tabel bentuk kecerdasan berdasarkan Howard Gardner of Multiple intellegencies Theory:

Form of intelligence
Examples of activities
using the intelligence
Linguistic: verbal skill; ability to use language well
verbal persuasion
writing a term paper skillfully
Musical: ability to create and understand music

singing, playing a musical instrument
composing a tune

Logical: Mathematical: logical skill; ability to reason, often using mathematics
solving mathematical problems easily and accurately
developing and testing hypotheses

Spatial: ability to imagine and manipulate the arrangement of objects in the environment

completing a difficult jigsaw puzzle
assembling a complex appliance (e.g. a bicycle)

Bodily: kinesthetic: sense of balance; coordination in use of one's body

dancing
gymnastics

Interpersonal: ability to discern others' nonverbal feelings and thoughts

sensing when to be tactful
sensing a “subtext” or implied message in a person's statements



Intrapersonal: sensitivity to one's own thoughts and Feelings
noticing complex of ambivalent feelings in oneself
identifying true motives for an action in oneself

Naturalist: sensitivity to subtle differences and patterns found in the natural environment


identifying examples of species of plants or animals

noticing relationships among species and natural processes in the environment
(Source: Gardner,  2003)
D.  Siswa Berbakat (Gifted and Talented Students)
Tujuan pendidikan pada dasarnya menyediakan lingkungan yang dapat memupuk potensi peserta didik. Tugas para pendidik adalah melakukan upaya untuk mengenali dan mengembangkan bakat para peserta didik. Untuk itu, maka calon pendidik perlu mendapatkan bekal mengenai konsep keberbakatan ini.
Potensi yang dimaksud meliputi potensi yang bersifat umum dan potensi yang bersifat khusus. Potensi umum mengacu pada kecerdasan, sementara itu potensi khusus merujuk pada keberbakatan. Sebelumnya, para ahli menganggap keberbakatan meliputi intelektualitas yang melebihi rata-rata, menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal untuk mengidentifikasi anak berbakat yaitu skor tes kecerdasan 140. Namun, kemudian para ahli menyadari bahwa kemampuan yang bersifat nonintelektual pun merupakan dimensi lain dari bakat.
Pengertian anak berbakat yang disepakati oleh para ahli di Indonesia (dalam Munandar, 1999) adalah anak-anak yang oleh para ahli professional ditengarai sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena memiliki kemampuan-kemampuan unggul. Kemampuan unggul tersebut dapat berupa potensi yang bersifat laten maupun yang telah diperlihatkan yaitu kemampuan intelektual umum, kemampuan akademik khusus, kemampuan berpikir kreatif produktif, kemampuan memimpin, kemampuan dalam satu bidang seni, dan kemampuan psikomotor.
Kriteria gifted/talented students berdasarkan National Association for Gifted Childre (NAGC 1989 dalam Long 2003:85 ) yaitu;
1.      Memahami lebih cepat dari siswa yang lain
2.      Mempunyai memory yang mampu
3.      Bisa berkonsentrasi dengan waktu yang lama terhadap sesuatu yang mereka suka
4.      Mempunyai pengetahuan yang luas
5.      Suka memecahkan masalah dan terkadang langsung mengkoneksikan masalah dengan penyelesaiannya
6.      Mempunyai imajinasi yang tidak biasa
7.      Mempunyai selera humor yang aneh
8.      Mempunyai standar yang tinggi terhadap diri mereka sendiri
Siswa dengan bakat akademik sangat diuntungkan dengan model pendidikan konvensional, dengan catatan kemampuan unggul mereka dapat dihargai dan diberi kesempatan mengembangkan intelektualitasnya. Sekolah-sekolah tertentu telah memiliki program-program khusus untuk memperkaya bakat akademik siswa. Akselerasi adalah salah satu program yang memungkinkan siswa melompati kelas (skipping grade) atau guru mendesain ulang kurikulum dalam kelas tertentu sehingga materi pelajaran dapat diselesaikan lebih cepat. Supporting the gifted and talented usually involves a mixture of acceleration and enrichment of the usual curriculum” (Schiever & Maker, 2003).
Sementara itu, hal berbeda dialami oleh siswa yang berbakat dalam bidang lain, dan kurang berbakat dalam bidang akademik. Untuk memperpendek gap antara bakat dalam bidang lain dengan tuntutan sekolah, maka guru perlu bersikap menerima dan menghargai ragam bakat siswa. Akan lebih baik lagi jika guru dapat mendorong agar mereka menyesuaikan cara belajar dengan minat dan bakat yang mereka miliki. Selain itu, guru perlu bersikap lebih bijak dalam menetapkan target prestasi pada mereka.

II.  Keberagaman Gaya Belajar
Setiap siswa datang dengan ciri khas mereka masing-masing dan latar belakang yang berbeda, baik itu dari segi ekonomi, sosial, budaya, skill, intelegensi maupun motivasi. Keragaman siswa tersebut merupakan suatu dimensi yang memang penting dalam pengajaran, dan keragaman tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengruhi gaya belajar mereka dalam memecahkan tugas-tugas pembelajaran dan pemecahan masalah. Gaya belajar dan berfikir bukanlah kemampuan, tetapi cara disiplin seseorang untuk menggunakan kemampuannya (Drysdale, Ross, & Schuylts, 2001). Gaya belajar yang juga disebut sebagai gaya kognitif perlu mendapat perhatian dari para pengajar (Jacobsen, Eggen & Kauchak 2009:279). Dikarenakan gaya belajar masing-masing siswa yang berbeda akan berdampak pada sistem pembelajaran yang diterapkan. Untuk menghadapi tantangan ini pengajar memerlukan beragam strategi pengajaran yang dirancang untuk mengakomodasi keragaman ini (Jacobsen, Eggen & Kauchak 2009:279).
Perbedaan gaya belajar siswa dipengaruhi oleh cara berpikir yang biasanya dipakai atau sering diistilahkan sebagai gaya kognitif. Menurut Zhang dan Sternberg (dalam Seifert & Sutton, 2009:67) gaya kognitif adalah cara yang terus-menerus digunakan siswa dalam mempersepsi, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
Guilford (dalam Sternberg, 1997) memperkenalkan model struktur intelektual yang membedakan cara bekerjanya (operasi) pikiran menjadi dua tipe berpikir konvergen (convergent thinking) dan berpikir divergen (divergent thinking). Individu yang berpikir secara konvergen berarti berpikir mengkerucut, sehingga umumnya berpandangan bahwa penyelesaian diperoleh melalui cara berpikir prosedural atau struktural. Sementara itu, berpikir divergen berarti membuka pikiran untuk berbagai kemungkinan termasuk penyelesaian yang tidak terpikirkan oleh orang lain pada umumnya. Berpikir divergen setara dengan berpikir kreatif.
Witkin (dalam Seifert & Sutton, 2009) merupakan tokoh yang memperkenalkan konsep gaya kognitif. Ia membagi kecenderungan berpikir menjadi dua bentuk gaya kognitif yaitu bebas dari konteks (field independence atau FID) dan terikat dengan konteks (field dependence atau FD). Kecenderungan berpikir dengan gaya FID ditinjau dari sejauhmana seseorang berpikir karena stimulus internal. Gaya berpikir FD cenderung dipengaruhi oleh stimulus eksternal. Siswa dengan FD lebih suka belajar dalam kelompok. Sementara itu, siswa FID lebih menyukai belajar sendiri.
Gaya belajar juga dipengaruhi oleh modalitas perseptual yaitu reaksi khas individual dalam mengadopsi data secara efisien yang dipengaruhi oleh faktor biologis, dan lingkungan fisik (Dunn dan Dunn, 1978; Benzwie, 1987). Ada tiga gaya belajar ditinjau dari modalitas perseptual:
a.         Visual learners are learning through seeing.
Siswa dengan gaya ini membutuhkan melihat langsung bahasa tubuh guru, ekspresi wajah, untuk dapat memahami sepenuhnya isi pelajaran. Mereka cenderung duduk di deretan depan untuk menghindari penghalang pandangan mata (misalnya kepala teman-temannya). Mereka cenderung berpikir dalam bentuk piktorial dan mempelajari sesuatu paling efektif dari tampilan visual seperti diagram, buku yang berilustrasi, transparensi (slides), video, flipcharts, dan handouts. Selama pelajaran tau diskusi kelas berlangsung, mereka lebih suka mencatat untuk menyerap informasi.
b.        Auditory learners are learning through listening.
Mereka paling mudah menangkap informasi melalui pembicaraan, ceramah, diskusi, mengungkapkan sesuatu, dan mendengar apa yang orang lain katakan. Siswa dengan modalitas auditori menginterpretasi (menafsirkan) arti pembicaraan dengan mendengarkan suara, nada, kecepatan, dan intonasi. Informasi tertulis hanya sedikit berpengaruh, tetapi akan sangat berpengaruh jika dibacakan atau dijelaskan. Siswa seperti ini sangat terbantu dengan metode membaca keras (reading aloud) dan menyetel tape recorder.
c.         Tactile or kinesthetic learners are learning by moving, doing, and touching.
            Siswa dengan modalitas perasa, peraba, dan kinestetik paling efektif menyerap informasi melalui menyentuh dengan tangan, merasakan melalui indera pencecap, mencium aroma, melakukan gerakan-gerakan, unjuk kerja, dan aktif mengeksplorasi lingkungan. Mereka kesulitan jika harus duduk berlama-lama dan mudah pecah konsentrasinya karena keinginan untuk aktif bergerak dan mengeksplorasi. Pada bagian ini, modalitasnya juga dikenal dengan sebutan kinestetik, olfaktori (penciuman), dan gustatif (perasa).
Selain gaya belajar yang dikaji Dunn, dari teori belajar yang dipaparkan Kolb (1976), oleh Litzinger dan Osif (1993) memberi kesimpulan dengan menyebut tipe-tipe siswa yang berbeda ini dengan sebutan:
a.      Akomodator
siswa yang lebih menyukai gaya belajar aktif. Cenderung lebih pada ke intuisi daripada logika dan senang menghubungkan belajar dengan makna dan pengalaman pribadi. Lebih menyukai situasi yang riil seperti matematika realistik dan tidak terlalu senang menganalisa seperti analisis atau pembuktian rumus dalam matematika. Untuk siswa tipe ini, pengajar disarankan untuk mendorong penemuan mandiri dan membiarkan mereka berpartisipasi aktif dalam pembelajarannya. Aspek interpersonal penting bagi akomodator. Jadi mereka cenderung menikmati belajar kooperatif dan kerja kelompok.
b.      Asimilator
Siswa menyukai penemuan pengetahuan yang akurat dan terorganisasi serta cenderung menghormati pandangan orang-orang yang dianggapnya pakar dalam hal itu. Siswa seperti ini berfikir secara logis dan lebih menyukai ide-ide abstrak seperti memecahkan atau menganalisis data, rumus- rumus dan ilmu logika dan penelitian mandiri. Logika dianggap lebih penting dari pada praktis. Mereka lebih menyukai gaya belajar seperti perkuliahan atau latihan-latihan yang disiapkan dengan cara seksama yang akan mereka ikuti dengan tekun
c.       Konverger
Siswa terutama tertarik pada relevansi informasi. Mereka ingin memahami secara terinci bagaimana suatu bekerja, sehingga mereka dapat mempraktikkannya sendiri. Pelajar tipe ini lebih menyukai informasi teknis dan tidak terlalu tertarik dengan isu-isu sosial dan interpersonal. Pelajaran yang cocok untuk mereka adalah pelajaran yanng interaktif, dan akan ada gunanya mereka diberikan masalah-masalah riil untuk dieksplorasi.
d.      Diverger
Siswa terutama tertari pada aspek mengapa dari sebuah sistem. Mereka suka menalar berdasarkan informasi yang specifik dan kongkrit dan mengeksplorasi apa yang dapat ditawarkan sistem. Siswa tipe ini senang menggunakan imajinasi pada saat menyelesaikan masalah, menikmati belajar yang self-directed dan suka belajar mandiri, simulasi , bermain peran dalam matematika mungkin lebih cocok dalam maslah yang bersifat open ended. Informasi harusnya disuguhkan pada mereka secara terinci dan sisitematik. Guilford (Suryabrata, 2010: 165) juga memasukkan konvergen dan divergen sebagai faktor yang mempengaruhi dimensi intelektual dari tiga dimensi pokok yang mencakup bakat.
III.   Implikasi Keragaman Kemampuan dan Gaya Belajar Siswa dalam Proses Pembelajaran
Mendapati kenyataan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan dalam gaya belajar maupun kemampuan, menuntut para pengajar untuk bisa menangani perbedaan tersebut karena perbedaan tersebut dapat memengaruhi praktik pengajaran di kelas. Pengajar dapat menggunakan cara yang direkomendasikan Muijs dan Renolds (2008) dalam menangani perbedaan siswa di kelas:
a.      Seleksi
Metode tradisional yang dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan bahwa siswa memiliki kemampuan yang berbeda, yakni dengan melakukan seleksi. Ide ini didasari oleh pandangan bahwa kemampan siswa bersifat unidimensional dan sekaligus tetap. Semakin jelas sekarang bahwa kecerdasan adalah sebuah konsep multidimensional.
b.      Streaming
Sebuah prosedur dimana siswa dipisahkan ke berbagai kelas yang berbeda sesuai kemampuannya di sekolah. Meskipun secara teoritik streaming dirancang untuk mengajar siswa sesuai tingkat kemampuannya, pada praktiknya cara ini akan semakin memperlebar kesenjangan antara strem yang tinggi dan rendah, sehingga akan memunculkan isu keadilan.
c.       Setting
Berlawanan dengan streaming, di dalam setting siswa ditempat ke kelompok-kelompok “berkemampuan sama” dari pelajaran ke pelajaran. Di dalam Setting siswa diakui keberadaan tingkatannya diberbagai macam pelajaran yang berbeda. Jadi tergantung hasil-hasil yang diperolehnya, seorang siswa dapat berada di kelompok teratas pada pelajaran matematika dan di kelompok rendah dalam pelajaran yang lain.
Jacobsen, Eggen & Kauchak (2009:280) menyimpulkan, siswa merupakan individu-individu yang kompleks dan beraneka ragam yang perlu diperlakukan dengan sensitivitas dan diajar dengan berbagai macam metode. Muijs dan Reynold (2008: 298), dari berbagai metode, sistem, maupun pendekatan cara mengajar pada siswa yang memiliki perbedaan dalam gaya belajar metode setting dapat membuat pengajaran lebih mudah, karena perampingan rentang kemampuan di pelajaran akan membuat pengajar tidak banyak mengalami kesulitan untuk menetapkan tingkat kesulitan yang tepat untuk pelajaran yang diampunya.
Disisi lain, meskipun konsep ini sering dikemukakan, tetapi apa yang dimaksud dengan gaya belajar tidak selalu jelas. Untuk membantu para pengajar agar dapat membedakan perbedaan gaya belajar siswa sehingga dapat memberikan perlakuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan atau gaya belajar mereka. Maka berikut beberapa teori gaya belajar dari para ahli. Teori gaya belajar Kolb (1976) merupakan salah satu teori gaya belajar yang paling jelas penguraiannya, yang mengatakan bahwa gaya belajar dapat diperingkat disepanjang kontinum mulai dari: (1) Pengalaman kongkret yang terlibat dalam sebuah pengalaman baru, melalui (2) Obsevasi reflektif (mengamati orang lain atau mengembangkan pengalaman sendiri), dan (3) Konseptualisasi abstrak (menciptakan teori untuk menjelaskan observasi), untuk melakukan (4) Eksperimentasi aktif (dengan menggunakan berbagai teori untuk mengambil masalah dan menngambil keputusan). Teori-teori belajar yang lebih mutakhir mengkonseptualisasikan gaya-gaya ini sebagai gaya yang lebih disukai dan lebih dipercaya oleh pelajar, Muijs dan Reynold (2008) menyimpulkan, oleh sebab itu kebanyakan dari para siswa lebih menyukai salah satu dari keempat gaya di atas.
IV.   Keragaman Kultur (Etnis dan Ras) dan Gender
Dunia kita adalah dunia multicultural, dengan beragam adat, latar belakang, dan nilai- nilai yang berbeda. Sama halnya dengan Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Dengan perbedaan ini Bangsa Indonesia kaya akan kultur (budaya) dan etnik, dari berbagai suku dan ras yang ada. Perbedaan ini masing-masing suku dan ras beragam yaitu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Maka pada kesempatan ini pemekalah akan mngeksplorasi mengenai hakekat dan keragaman kultur dan etnik.
A.  Kultur (etnik dan Ras)
1.Kultur
Kultur adalah kebudayaan. Dalam bahas Inggris culture berarti “belonging or relating to a particular society and its way of life (Longman, 2009: 410) sedangkan dalam KBBI Online Kultur berarti “kebudayaan” (http://kbbi.web.id/, 23 January 2014, jam 8:59). Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antar kelompok orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun (Santrock, 2008: 170).
Sedangkan Edward B. Taylor mengatakan bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat (Taylor dalam Liliweri, 2003, hal. 107).
Lebih lanjut Hebding dan Glick mengatakan bahwa kebudayaan dapat dilihat secara material maupun non material. Kebudayaan material dapat berupa asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga, alat rumah tangga, pakaian, sistem komputer, desain arsitektur dan mesin otomotif, sedangkan kebudayaan non material antara lain berupa konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan serta bahasa (Hebding dan Glick dalam Liliweri, 2003, hal.107).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan hasil pemikiran yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk peralatan yang digunakan ataupun nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur pola perilaku suatu komunitas. Kultur sangat mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran. Banyak aspek budaya mempunyai andil bagi identitas dan konsep diri pelajar dan mempengaruhi keyakinan dan nilai, sikap, dan harapan, hubungan sosial, penggunaan bahasa, dan perilaku lain pelajar.
2. Etnis dan Ras
Dalam suatu bangsa terdapat beragam etnis dan ras, yang sudah wajar terdapat beragam kultur. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, membangun pemahaman yang kritis tentang makna etnis dan ras adalah sangat penting. Sering kali pengertian etnis dan ras terlihat saling tumpang-tindih ketika menyebutkan kedua kata tersebut. Padahal keduanya mempunyai makna yang sama sekali berbeda. Kata etnis berasal dari kata Yunani ethnos yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Sering kali ethnos diartika sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan lainlain-lain, yang pada gilirannya mengindikasikanadanya kenyataan kelompok minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Kata ethnic berasal dari kata Yunani yang berarti “bangsa”, sehingga etnisitas (ethnicity) adalah pola umum karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa (Santrock, 2008: 177).
Etnisitas adalah pola umum karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa. Misalnya, penyebutan Eurocentric untuk menerangkan kebudayaan yang berpusat pada mayoritas etnik dan ras dari orang-orang Eropa; Chinacentric untuk menyebutkan kebudayaan yang berorietasi pada Cina; Jawacentric untuk menjelaskan kebudayaan yang berorientasi pada Jawa, dan lain-lain. Jadi, istilah etnik ini mengacu pada suatu kelompok yang sangat fanatik dengan ideology kelompoknya, tidak mau tahu ideologi kelompok lain. Dan hal penting lain yang harus digaris bawahi dari pengertian etnis adalah bahwa etnis itu terbentuk berdasarkan definisi sosial dan bukan merupakan definisi yang didasarkan pada faktor keturunan atau biologis. Contohnya, orang Sunda dan Betawi secara fisik mungkin terlihat sama, akan tetapi jika dilihat latar belakang sosio-kultural keduanya, ternyata mereka berasal dari etnis yang berbeda.
Pengertian etnis, secara tegas, adalah lebih didasarkan pada ciri-ciri sosio-kultural seperti agama, bahasa, asal suku, asal negara, dan tata cara hidup sehari-hari. Misalnya, anak seorang keturunan Belanda, berkulit putih dan bermata biru, tinggal bersama suatu keluarga Bali sejak kecil, kemudian anak itu tumbuh dewasa sebagaimana umumnya orang Bali; berbahasa, beragama, bertatacara hidup sebagaiman orang Bali. Maka, secara sosio-kultural, apabila mengikuti makna etnis sesuai pengertian di atas, anak tersebut tidak bisa disebut ber-etnis Belanda, tetapi lebih layak disebut ber-etnis Bali.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa (2008:1027).  Ras adalah sebuah konstruksi sosial dan kategori biologi atau cultural yang universal dan esensial. Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki cirri-ciri fisik bawaan yang sama. Diferensiasiras berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri- ciri fisiknya,bukan budayanya. Karakteristik fisik dtransformasikan menjadi penanda ras termasuk didalamnya anggapan palsu tentang perbedaan cultural dan biologis yang esensial.
B.  Etnisitas dan Sekolah
Kelompok etnis menjadi penentu utama budaya sebagai asal usul individu. Kelompok etnis adalah kelompok yang menjadi tempat orang mempunyai rasa identitas bersama, biasanya karena tempat asal yang sama, agama, atau ras. Etnis berbeda dengan ras; etnis merupakan budaya bersama dan ras merupakan karakteristik fisik. Komposisi Ras dan Etnis akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian akademis siswa, terlebih lagi dari kelompok minoritas atau yang kurang terwakili. Hal tersebut mengakibatkan Dampak Desegregasi Sekolah yang menuntut guru dengan sebuah pertanyaan “Mengapa Pencapaian Siswa dari Kelompok yang kurang terwakili tertinggal?” Sebagai contoh di Indonesia ada istilah pribumi dan non-pribumi dimana secara tidak langsung perkaluan kaum pribumi terhadap kaum non-pribumi berbeda.
Banyak pengalaman yang dialami bangsa ini sejak sebelum merdeka, ketika merdeka, dan di era reformasi tentang berbagai gejolak yang dilatarbelakangi konflik-konflik horizontal.  Buku yang berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik  yang di karang oleh Benny G. Setiono adalah salah satu contoh buku yang berisi keprihatinan atas realitas diskriminatif yang menimpa warga keturunan Tionghoa baik dalam kehidupan sosial, politik, ekoniomi dan lain sebagainya. Selain itu ada juga Kasus Sampit adalah kasus etnis yang paling menggegerkan negeri ini, konflik warga Dayak dan warga Madura di Kota Sampit Ibukota Waringin Timur, Kalimantan Tengah memakan ratusan korban jiwa . Padahal mereka telah lama hidup berdampingan .

1.      Gender
Ketidakadilan gender di ruang kelas atau yang dikenal dengan bias jender dalam pembelajaran (pendidikan) sangat memengaruhi pilihan dan pencapaian siswa dalam belajar. Pendidikan harus mengedepankan pendidikan berperspektif kesetaraan gender. Seifert dan Sutton dalam bukunya mengatakan:
“Gender differences also occur in the realm of classroom behavior. Teachers tend to praise girls for “good”behavior, regardless of its relevance to content or to the lesson at hand, and tend to criticize boys for “bad” or inappropriate behavior (Golombok & Fivush, 1994). This difference can also be stated in terms of what teachers overlook: with girls, they tend to overlook behavior that is not appropriate, but with boys they tend to overlook behavior that is appropriate. The net result in this case is to make girls’ seem more good than they may really be, and also to make their “goodness” seem more important than their academic competence. By the same token, theteacher’s patterns of response imply that boys are more “bad” than they may really be.” (Seifert and Sutton, 2009: 73)
Gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Istilah gender dibedakan dari istilah jenis kelamin. Jenis kelamin berhubungan dengan dimensi biologis dari pria dan wanita. Pandangan terhadap Perkembangan gender, yaitu:
a.       Pandangan kognitif, Pendangan ini berpendapat bahwa perkembangan bahwa perkembangan gender melalui cara sebagai berikut: “saya gadis, saya ingin melakukan hal-hal yang dilakukan gadis. Karena itu, kesempatan melakukan kegiatan gadis sangatlah menyenangkan.
b.      Pandangan Biologis, Pasanga kromosom ke 23 dalam diri manusia (kromosom jenis kelamin) merupakan penentu apakah fetus (janin) itu akan menjadi wanita (XX) ataukah pria (YY)
c.       Pandangan Sosialisasi, baik itu teori psikoanalitik maupun kognitif sosial mendeskripsikan pengalaman sosial yang mempengaruhi perkembangan gender anak.
Jenis kelamin seorang siswa merupakan ciri yang telihat dan abadi. Jenis kelamin berpengaruh terhadap pola belajar anak yang kemudian berkembangan menjadi perilaku belajar yang relatif sama untuk setiap gender. Terdapat perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam hal berpikir dan belajar. Dibidang sekolah, akan ada skema yang naik pada wanita dan kemudian turun untuk alasan meremehkan. Laki-laki tentu memiliki krisis, akan tetapi tidak semua orang akan mengalaminya. Disinilah letak perilaku peran jenis kelamin ini berfungsi dalam Streotip Peran jenis kelamin dan ketidakadilan Gender.
V.  Implikasi Keragaman Kultur dan Gender Proses Pembelajaran.
Pendidikan berbasis Multikultural merupakan suatu proses pendidikan berjenjang yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan seperti status sosial, etnis, gender dan agama dalam masyarakat yang multikultural agar tercipta kepribadian yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman. Paradigma pendidikan multikultural sangat bermanfaat untuk membangun harmoni sosial di antara keragaman etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita
Pendidik dituntut  tidak hanya menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran  yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan  tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang ada.
Hubungan Kultur dan Etnisitas Dalam Pembelajaran Perbedaan kultur dan etnis merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam suatu lingkungan kelas. Setiap siswa yang ada tentunya memiliki latar belakang budaya dan etnis yang berbeda, namun demikian perbedaan ini bukanlah hal yang harus memicu terjadinya diskriminasi dalam proses belajar-mengajar ataupun menimbulkan adanya kelompok-kelompok eksklusif berdasarkan kultur dan etnis siswa. Peran guru dalam hal ini sangat besar untuk tidak terciptanya diskriminasi ataupun kelompok-kelompok tersebut. Guru harus menciptakan suasana belajar dalam kelas yang menghargai perbedaan kultur dan etnis dari setiap siswa, sehingga dapat membantu siswa-siswanya mengalami perubahan dalam pola perilaku yang menghargai perbedaan tersebut. Sebagaimana dikatakan John W. Santrock bahwa fungsi utama sekolah adalah membantu siswa untuk belajar dimana melalui proses belajar tersebut siswa mengalami perubahan dalam hal perilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir yang diperoleh melalui pengalaman (Santrock, 2008)
Berikut ini beberapa rekomendasi dari national Association for the Education of Young Children 1996 dalam Santrock (2007:183) untuk mengajar anak yang berbeda secara kultural dan bahasa:
1. Meyadari bahwa semua anak terkait secara kognitif, linguistik, dan emosional dengan bahasa dan kultural rumah mereka.
2. Mengakui bahwa anak dapat menunjukkan pengetahuan dan kapasitas mereka dalam banyak cara.
3. Memahami bahwa tanpa input yang bisa dipahami, pembelajaran bahasa kedua bisa jadi sulit.
4. Memberi contoh penggunanan bahasa inggris yang tepat dan beri anak kesempatan untuk menggunakan kosakata dan bahasa yang baru dikuasai.
5. Melibatkan orang tua dan keluarga secara aktif dalam pembelajaran anak.
6. Mengakui bahwa anak dapat dan akan bisa menggunakan bahasa inggris walaupun bahasa rumah mereka tetap dipakai dan dihormati.
7. Bekerja sama dengan guru lain untuk mempelajari lebih banyak cara mengajar anak yang berbeda secara kultural dan linguistic.
Strategi mengajar Pendidikan Multikultural. Berikut ini adalah rekomendasi dari pakar pendidikan multikultural James dalam Santrock (2008:193) untuk menjalankan pengajaran multikultural:
1.    Waspada terhadap isi rasis dalam materi pelajaran dan interaksi dikelas.
2.    Mempelajari lebih banyak tentang kelompok etnis yang berbeda-beda.
3.    Peka terhadap sikap etnis murid dan jangan menerima keyakinan bahwa “anak tidak melihat perbedaan warna kulit”. Respon pandangan kultural anak secara sensitif.
4.    Menggunakan buku, film, video, dan rekaman untuk menggambarkan perspektif etnis.
5.    Bersikaplah peka terhadap perkembangan kebutuhan murid anda ketika anda memilih materi kultural.
6.    Pandang murid secara positif terlepas dari etnis mereka.
7.    Mengakui bahwa kebayakan orang tua, terlepas dari etnisitasnya, memerhatikan pendidikan anaknya dan ingin agar anaknya sukses di sekolah.
VI. Keragaman Status Sosial Ekonomi
Realita kemampuan ekonomi orang tua siswa sangat beragam. Ada yang mampu (kaya) dan ada yang tidak mampu (miskin). Status sosial ekonomi orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap, cara, dan motivasi siswa dalam pembelajaran. Keragaman ini belum mendapatkan respon yang proporsional dari pihak guru dan sekolah.
Persoalan yang timbul adalah sering terjadi gap antar siswa yang mampu dengan siswa yang orangtuanya berekonomi kurang mampu. Sehingga terjadi perasaan rendah diri pada kelompok siswa yang kurang mampu.
Metode layanan konseling kelompok akan membantu para siswa mempunyai kesadaran terhadap status kondisi ekonominya. Untuk itu diperlukan pemecahan problematika dalam rangka menumbuhkan kesadaran terhadap status sosial ekonomi orangtua bagi siswa-siswa di sekolah. Perbedaan status sosial ekonomi orang tua sering menimbulkan pola pikir, sikap, dan tindakan siswa yang mengarah kepada pengelompokan siswa dan rasa rendah diri yang dapat berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Hal ini terjadi karena masih rendahnya kesadaran siswa terhadap kondisi atau satus sosial ekonomi orang tua.
Kemampuan ekonomi orang tua atau keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya (misalnya: makan, pakaian, perlindungan kesehatan) juga intensitas dukungan sarana dan prasarana belajar harus terpenuhi (misalnya: meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis, buku-buku dan lain-lain). Fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai cukup uang.
Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan anak kurang terpenuhi dan akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu. Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan teman yang lain, hal ini pasti akan mengganggu belajar anak dan pada akhirnya berpengaruh pada minat belajar dari siswa itu sendiri. Bahkan mungkin anak harus mencari nafkah untuk membantu orang tuanya walaupun anak sebenarnya belum saatnya untuk bekerja. Hal seperti ini juga kan mempengaruhi minat belajar siswa. Walaupun tidak dapat dipungkiri akibat ekonomi keluarga yang lemah, justru keadaan yang begiru menjadi cambuk baginya untuk belajar giat dan akhirnya sukses besar.
Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya bersengan-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak kurang dapat memuasatkan perhatiaanya kepada belajar. Hal tersebut dapat mengganggu belajar anak, sehingga prestasi belajar tidak memuaskan.
Orang tua yang kemampuan ekonominya memadai akan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai pula. Sebaliknya orang tua yang kemampuan ekonominya rendah, tidak dapat meberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai sehingga semua itu berpengaruh terhadap minat belajar siswa. Status sosial ekonomi mengandung kesenjangan tertentu. Individu dari status sosial ekonomi bawah sering kali kurang pendidikannya, kurang kuat untuk mempengaruhi institusi masyarakat (seperti sekolah), dan hanya punya sedikit sumber daya ekonomi. Mendidik siswa dengan latar belakang Status Sosial Ekonomi rendah membutuhkan strategi seperti disiplin, motivasi, keterlibatan orang tua, pengajaran, dan pengetahuan yang belum disentuh agar dapat dijangkau siswa.
Tingkat Kemiskinan Anak dalam sebuah laporan tentang anak-anak Amerika, Children’s Defense Fund (1992) mendeskripsikan seperti apa kehidupan dari banyak anak Amerika. Tingkat kemiskinan anak di Amerika sangat tinggi terutama di kalangan keluarga yang dikepalai oleh perempuan – mendekati 50%. Lebih dari 40% anak Afrika-Amerika dan hampir 40% anak Latin dewasa ini hidup di bawah garis kemiskinan. Dibandingkan dengan anak-anak berkulit putih bukan latin, anak-anak kulit berwarna kemungkinan besar mengalami kemiskinan yang terus menerus selama bertahun-tahun (McLyod, Aikens, & Burton, 2006).
Kemiskinan dapat berdampak negatif terhadap pembelajaran dan perkembangan anak. Anak-anak miskin sering menghadapi problem di rumah dan sekolah sehingga mengganggu proses belajar mereka (Ceballo & McLoyd, 2002; Evans & English, 2002; Magnuson & Duncan, 2002; Webb, Metha, & Jordan, 2002). Anak-anak miskin: 1) kesulitan di rumah dan sekolah lebih besar, 2) kurang merangsang kognitif anak di rumah, 3) nilai ujian rendah, 4) tingkat kelulusan yang lebih rendah, 5) persentase murid yang masuk ke jenjang perguruan tinggi rendah.
Sekolah di area miskin: 1) seringkali hanya punya sedikit sumber daya ketimbang sekolah yang muridnya kebanyakan orang kaya, 2) bangunan sekolah dan kelas sudah tua, rusak dan kumuh, 3) guru yang kurang berpengalaman, 4) mendorong pembelajaran dengan menghafal, 5) lingkungan yang tidak kondusif. Maccoby & Mcloyd (sigelman & shaffer, 1995) telah membandingkan ortu kelas menengah & atas dengan kelas bawah/pekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa ortu kelas bawah/pekerja cenderung:
1.      Sangat menekankan kepatuhan & respek terhadap otoritas
2.      Lebih restriktif (keras) & otoriter
3.      Kurang memberikan alasan kepada anak
4.      Kurang bersikap hangat & memberi kasih sayang kepada anak





Tidak ada komentar:

Posting Komentar