I. Keberagaman
Intelegensi
A. Hakikat Keberagaman
Intelegensi
Keragaman
dimaksud sebagai ciri-ciri yang melekat pada kelompok tertentu. Pengelompokkan
ini dapat ditinjau dari aspek jenis kelamin, jasmaniah, status sosial ekonomi,
etnis-ras, budaya, bahasa, agama, kondisi mental, perilaku, intelektualitas,
dan seterusnya. Misalnya terdapat perbedaan antara kelompok siswa laki-laki
dengan kelompok siswa perempuan atau pun kelompok siswa dari status sosial
ekonomi rendah dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Pada sisi lain,
terdapat variasi antar individu di mana masing-masing siswa memiliki perbedaan
yang disebut sebagai keunikan individu (Individual Differences). Dengan
demikian, dalam setiap kelompok terdapat pula perbedaan individual.
“Group differences are qualities shared
by members of an identifiable group or community, but not shared by everyone in
society. Individual differences are
qualitiesthat are unique; just one person has them at a time. Variation in hair
color, for example, is an individual difference; even though some people have
nearly the same hair color, no two people are exactly the same”, (Seifert & Sutton, 2009:64).
Inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu
“inteligensia“. Sedangkan kata “inteligensia“ berasal dari kata inter
dan lego, “inter” berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih.
Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih
suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran. Masyarakat umum mengenal
inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun
kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi. “Intelligence
is the aggregate (collective) or global capacity of the individual to act
purposefully, to think rationally, and to deal effectively with his environment” (Wechsler 1955). Manual
for the Wechsler Adult Intelligence Scale. Psychological Corporation, New York.. Feldman (2009) yang
sependapat dengan Wechsler menyatakan bahwa, “Intelligence is the capacity
to understand the world, think rationally, and use resources effectively when
faced with challenges.” Menurut
teori-teori lama, inteligensi itu meliputi tiga pengertian, yaitu : (1).
Kemampuan untuk belajar. (2). Keseluruh pengetahuan yang di peroleh. (3).
Kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan
pada umumnya. Inteligensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk
memperoleh dan menggunakan pengetahan dalam rangka mamacahkan masalah dan
beradaptasi dengan lingkungan
(Woolfolk, 2007).
B. Faktor
yang Mempengarui Keberagaman Intelegensi
Tingkat
intelegensi setiap individu berbeda-beda dipengaruhi oleh; (1) Faktor bawaan atau keturunan. Penelitian membuktikan bahwa
korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2
anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya
adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50
dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu
angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah,
IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah
saling kenal. (2) Faktor lingkungan.
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, lingkungan
tetap bisa mempengaruhi inteligensi. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas
dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi.
Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari
lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
C. Howard Gardner of Multiple intellegencies Theory
Gardner
menyebutkan bahwa ada delapan bentuk intelegensi dan masing-masing berfungsi
secara independen (dalam Kelvin
& Rosemary, 2003:66). Setiap individu mempunyai satu atau lebih
kombinasi dari delapan bentuk kecerdasaan tersebut. Perbedaan kombinasi intelegensi
pada individu saling membantu mereka untuk sukses dibidangnya. Peneliltian
menunjukkan, misalnya bahwa siswa-siswa dapat menunjukkan tingkat prestasi yang
berbeda di pelajaran yang berbeda, sehingga menantang pandangan tentang keunggulan
inteligensi global atau IQ.
Berikut tabel
bentuk kecerdasan berdasarkan Howard Gardner of Multiple intellegencies Theory:
Form
of intelligence
|
Examples
of activities
using
the intelligence
|
Linguistic:
verbal skill; ability to use language well
|
• verbal persuasion
• writing a term paper skillfully
|
Musical:
ability to create and understand music
|
• singing, playing a musical instrument
• composing a tune
|
Logical:
Mathematical: logical skill; ability to reason, often using mathematics
|
• solving mathematical problems easily
and accurately
• developing and testing hypotheses
|
Spatial:
ability to imagine and manipulate the arrangement of objects in the environment
|
• completing a difficult jigsaw puzzle
• assembling a complex appliance (e.g. a
bicycle)
|
Bodily:
kinesthetic: sense of balance; coordination in use of one's body
|
• dancing
• gymnastics
|
Interpersonal:
ability to discern others' nonverbal feelings and thoughts
|
• sensing when to be tactful
• sensing a “subtext” or implied message
in a person's statements
|
Intrapersonal:
sensitivity to one's own thoughts and Feelings
|
• noticing complex of ambivalent
feelings in oneself
• identifying true motives for an action
in oneself
|
Naturalist:
sensitivity to subtle differences and patterns found in the natural
environment
|
• identifying examples of species of
plants or animals
• noticing relationships among species
and natural processes in the environment
|
(Source:
Gardner, 2003)
D. Siswa Berbakat (Gifted and Talented Students)
Tujuan pendidikan pada dasarnya
menyediakan lingkungan yang dapat memupuk potensi peserta didik. Tugas para
pendidik adalah melakukan upaya untuk mengenali dan mengembangkan bakat para
peserta didik. Untuk itu, maka calon pendidik perlu mendapatkan bekal mengenai
konsep keberbakatan ini.
Potensi yang dimaksud meliputi
potensi yang bersifat umum dan potensi yang bersifat khusus. Potensi umum
mengacu pada kecerdasan, sementara itu potensi khusus merujuk pada
keberbakatan. Sebelumnya, para ahli menganggap keberbakatan meliputi intelektualitas
yang melebihi rata-rata, menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal untuk
mengidentifikasi anak berbakat yaitu skor tes kecerdasan 140. Namun, kemudian
para ahli menyadari bahwa kemampuan yang bersifat nonintelektual pun merupakan
dimensi lain dari bakat.
Pengertian anak berbakat yang
disepakati oleh para ahli di Indonesia (dalam Munandar, 1999) adalah anak-anak yang oleh para
ahli professional ditengarai sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang
tinggi karena memiliki kemampuan-kemampuan unggul. Kemampuan unggul tersebut
dapat berupa potensi yang bersifat laten maupun yang telah diperlihatkan yaitu
kemampuan intelektual umum, kemampuan akademik khusus, kemampuan berpikir
kreatif produktif, kemampuan memimpin, kemampuan dalam satu bidang seni, dan
kemampuan psikomotor.
Kriteria gifted/talented students berdasarkan National Association for
Gifted Childre (NAGC 1989 dalam Long 2003:85 ) yaitu;
1. Memahami lebih cepat dari siswa
yang lain
2. Mempunyai memory yang mampu
3. Bisa berkonsentrasi dengan waktu
yang lama terhadap sesuatu yang mereka suka
4. Mempunyai pengetahuan yang luas
5. Suka memecahkan masalah dan
terkadang langsung mengkoneksikan masalah dengan penyelesaiannya
6. Mempunyai imajinasi yang tidak
biasa
7. Mempunyai selera humor yang aneh
8.
Mempunyai
standar yang tinggi terhadap diri mereka sendiri
Siswa dengan
bakat akademik sangat diuntungkan dengan model pendidikan konvensional, dengan
catatan kemampuan unggul mereka dapat dihargai dan diberi kesempatan
mengembangkan intelektualitasnya. Sekolah-sekolah tertentu telah memiliki
program-program khusus untuk memperkaya bakat akademik siswa. Akselerasi adalah
salah satu program yang memungkinkan siswa melompati kelas (skipping grade)
atau guru mendesain ulang kurikulum dalam kelas tertentu sehingga materi
pelajaran dapat diselesaikan lebih cepat. “Supporting the gifted and talented usually involves a
mixture of acceleration and enrichment of the usual curriculum” (Schiever & Maker, 2003).
Sementara itu,
hal berbeda dialami oleh siswa yang berbakat dalam bidang lain, dan kurang
berbakat dalam bidang akademik. Untuk memperpendek gap antara bakat dalam
bidang lain dengan tuntutan sekolah, maka guru perlu bersikap menerima dan
menghargai ragam bakat siswa. Akan lebih baik lagi jika guru dapat mendorong
agar mereka menyesuaikan cara belajar dengan minat dan bakat yang mereka
miliki. Selain itu, guru perlu bersikap lebih bijak dalam menetapkan target
prestasi pada mereka.
II. Keberagaman
Gaya Belajar
Setiap
siswa datang dengan ciri khas mereka masing-masing dan latar belakang yang
berbeda, baik itu dari segi ekonomi, sosial, budaya, skill, intelegensi maupun
motivasi. Keragaman siswa tersebut merupakan suatu dimensi yang memang penting
dalam pengajaran, dan keragaman tersebut secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengruhi gaya belajar mereka dalam memecahkan tugas-tugas pembelajaran
dan pemecahan masalah. Gaya belajar dan berfikir bukanlah kemampuan, tetapi cara disiplin seseorang untuk
menggunakan kemampuannya (Drysdale, Ross, & Schuylts, 2001). Gaya
belajar yang juga disebut sebagai gaya kognitif perlu mendapat perhatian dari
para pengajar (Jacobsen, Eggen & Kauchak 2009:279). Dikarenakan gaya
belajar masing-masing siswa yang berbeda akan berdampak pada sistem
pembelajaran yang diterapkan. Untuk menghadapi tantangan ini pengajar
memerlukan beragam strategi pengajaran yang
dirancang untuk mengakomodasi keragaman ini (Jacobsen, Eggen & Kauchak 2009:279).
Perbedaan
gaya belajar siswa dipengaruhi oleh cara berpikir yang biasanya dipakai atau
sering diistilahkan sebagai gaya kognitif. Menurut Zhang dan Sternberg (dalam Seifert & Sutton, 2009:67)
gaya kognitif adalah cara yang terus-menerus digunakan siswa dalam mempersepsi,
mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
Guilford
(dalam Sternberg, 1997)
memperkenalkan model struktur intelektual yang membedakan cara bekerjanya
(operasi) pikiran menjadi dua tipe berpikir konvergen (convergent thinking)
dan berpikir divergen (divergent thinking). Individu yang berpikir
secara konvergen berarti berpikir mengkerucut, sehingga umumnya berpandangan
bahwa penyelesaian diperoleh melalui cara berpikir prosedural atau struktural.
Sementara itu, berpikir divergen berarti membuka pikiran untuk berbagai
kemungkinan termasuk penyelesaian yang tidak terpikirkan oleh orang lain pada
umumnya. Berpikir divergen setara dengan berpikir kreatif.
Witkin
(dalam Seifert & Sutton, 2009) merupakan tokoh yang memperkenalkan konsep
gaya kognitif. Ia membagi kecenderungan berpikir menjadi dua bentuk gaya
kognitif yaitu bebas dari konteks (field independence atau FID) dan
terikat dengan konteks (field dependence
atau FD). Kecenderungan berpikir dengan gaya FID ditinjau dari sejauhmana
seseorang berpikir karena stimulus internal. Gaya berpikir FD cenderung
dipengaruhi oleh stimulus eksternal. Siswa dengan FD lebih suka belajar dalam
kelompok. Sementara itu, siswa FID lebih menyukai belajar sendiri.
Gaya belajar
juga dipengaruhi oleh modalitas perseptual yaitu reaksi khas individual dalam
mengadopsi data secara efisien yang dipengaruhi oleh faktor biologis, dan
lingkungan fisik (Dunn dan Dunn,
1978; Benzwie, 1987). Ada tiga gaya belajar ditinjau dari modalitas
perseptual:
a.
Visual
learners are learning through seeing.
Siswa
dengan gaya ini membutuhkan melihat langsung bahasa tubuh guru, ekspresi wajah,
untuk dapat memahami sepenuhnya isi pelajaran. Mereka cenderung duduk di deretan
depan untuk menghindari penghalang pandangan mata (misalnya kepala
teman-temannya). Mereka cenderung berpikir dalam bentuk piktorial dan
mempelajari sesuatu paling efektif dari tampilan visual seperti diagram, buku
yang berilustrasi, transparensi (slides), video, flipcharts, dan handouts.
Selama pelajaran tau diskusi kelas berlangsung, mereka lebih suka mencatat
untuk menyerap informasi.
b.
Auditory
learners are learning through listening.
Mereka
paling mudah menangkap informasi melalui pembicaraan, ceramah, diskusi,
mengungkapkan sesuatu, dan mendengar apa yang orang lain katakan. Siswa dengan
modalitas auditori menginterpretasi (menafsirkan) arti pembicaraan dengan
mendengarkan suara, nada, kecepatan, dan intonasi. Informasi tertulis hanya
sedikit berpengaruh, tetapi akan sangat berpengaruh jika dibacakan atau
dijelaskan. Siswa seperti ini sangat terbantu dengan metode membaca keras
(reading aloud) dan menyetel tape recorder.
c.
Tactile
or kinesthetic learners are learning by moving, doing, and touching.
Siswa
dengan modalitas perasa, peraba, dan kinestetik paling efektif menyerap
informasi melalui menyentuh dengan tangan, merasakan melalui indera pencecap,
mencium aroma, melakukan gerakan-gerakan, unjuk kerja, dan aktif mengeksplorasi
lingkungan. Mereka kesulitan jika harus duduk berlama-lama dan mudah pecah
konsentrasinya karena keinginan untuk aktif bergerak dan mengeksplorasi. Pada
bagian ini, modalitasnya juga dikenal dengan sebutan kinestetik, olfaktori
(penciuman), dan gustatif (perasa).
Selain gaya
belajar yang dikaji Dunn, dari teori belajar yang dipaparkan Kolb (1976), oleh Litzinger dan Osif (1993)
memberi kesimpulan dengan menyebut tipe-tipe siswa yang berbeda ini dengan
sebutan:
a. Akomodator
siswa
yang lebih menyukai gaya belajar aktif. Cenderung lebih pada ke intuisi
daripada logika dan senang menghubungkan belajar dengan makna dan pengalaman
pribadi. Lebih menyukai situasi yang riil seperti matematika realistik dan
tidak terlalu senang menganalisa seperti analisis atau pembuktian rumus dalam
matematika. Untuk siswa tipe ini, pengajar disarankan untuk mendorong penemuan
mandiri dan membiarkan mereka berpartisipasi aktif dalam pembelajarannya. Aspek
interpersonal penting bagi akomodator. Jadi mereka cenderung menikmati belajar
kooperatif dan kerja kelompok.
b. Asimilator
Siswa
menyukai penemuan pengetahuan yang akurat dan terorganisasi serta cenderung
menghormati pandangan orang-orang yang dianggapnya pakar dalam hal itu. Siswa
seperti ini berfikir secara logis dan lebih menyukai ide-ide abstrak seperti
memecahkan atau menganalisis data, rumus- rumus dan ilmu logika dan penelitian
mandiri. Logika dianggap lebih penting dari pada praktis. Mereka lebih menyukai
gaya belajar seperti perkuliahan atau latihan-latihan yang disiapkan dengan
cara seksama yang akan mereka ikuti dengan tekun
c. Konverger
Siswa
terutama tertarik pada relevansi informasi. Mereka ingin memahami secara
terinci bagaimana suatu bekerja, sehingga mereka dapat mempraktikkannya
sendiri. Pelajar tipe ini lebih menyukai informasi teknis dan tidak terlalu
tertarik dengan isu-isu sosial dan interpersonal. Pelajaran yang cocok untuk
mereka adalah pelajaran yanng interaktif, dan akan ada gunanya mereka diberikan
masalah-masalah riil untuk dieksplorasi.
d. Diverger
Siswa
terutama tertari pada aspek mengapa dari sebuah sistem. Mereka suka menalar
berdasarkan informasi yang specifik dan kongkrit dan mengeksplorasi apa yang
dapat ditawarkan sistem. Siswa tipe ini senang menggunakan imajinasi pada saat
menyelesaikan masalah, menikmati belajar yang self-directed dan suka belajar
mandiri, simulasi , bermain peran dalam matematika mungkin lebih cocok dalam
maslah yang bersifat open ended. Informasi harusnya disuguhkan pada mereka
secara terinci dan sisitematik.
Guilford (Suryabrata, 2010: 165) juga memasukkan konvergen dan divergen
sebagai faktor yang mempengaruhi dimensi intelektual dari tiga dimensi pokok
yang mencakup bakat.
III.
Implikasi
Keragaman Kemampuan dan Gaya Belajar Siswa dalam Proses Pembelajaran
Mendapati
kenyataan bahwa setiap siswa memiliki perbedaan dalam gaya belajar maupun
kemampuan, menuntut para pengajar untuk bisa menangani perbedaan tersebut
karena perbedaan tersebut dapat memengaruhi praktik pengajaran di kelas. Pengajar dapat menggunakan cara yang direkomendasikan Muijs dan Renolds (2008)
dalam menangani perbedaan siswa di kelas:
a.
Seleksi
Metode
tradisional yang dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan bahwa siswa
memiliki kemampuan yang berbeda, yakni dengan melakukan seleksi. Ide ini didasari
oleh pandangan bahwa kemampan siswa bersifat unidimensional dan sekaligus
tetap. Semakin jelas sekarang bahwa kecerdasan adalah sebuah konsep
multidimensional.
b.
Streaming
Sebuah prosedur
dimana siswa dipisahkan ke berbagai kelas yang berbeda sesuai kemampuannya di
sekolah. Meskipun secara teoritik streaming dirancang untuk mengajar siswa
sesuai tingkat kemampuannya, pada praktiknya cara ini akan semakin memperlebar
kesenjangan antara strem yang tinggi dan rendah, sehingga akan memunculkan isu
keadilan.
c.
Setting
Berlawanan
dengan streaming, di dalam setting siswa ditempat ke kelompok-kelompok
“berkemampuan sama” dari pelajaran ke pelajaran. Di dalam Setting siswa diakui
keberadaan tingkatannya diberbagai macam pelajaran yang berbeda. Jadi
tergantung hasil-hasil yang diperolehnya, seorang siswa dapat berada di
kelompok teratas pada pelajaran matematika dan di kelompok rendah dalam
pelajaran yang lain.
Jacobsen,
Eggen & Kauchak (2009:280) menyimpulkan, siswa merupakan individu-individu
yang kompleks dan beraneka ragam yang perlu diperlakukan dengan sensitivitas
dan diajar dengan berbagai macam metode. Muijs dan Reynold (2008: 298), dari
berbagai metode, sistem, maupun pendekatan cara mengajar pada siswa yang
memiliki perbedaan dalam gaya belajar metode setting dapat membuat pengajaran
lebih mudah, karena perampingan rentang kemampuan di pelajaran akan membuat
pengajar tidak banyak mengalami kesulitan untuk menetapkan tingkat kesulitan yang
tepat untuk pelajaran yang diampunya.
Disisi lain,
meskipun konsep ini sering dikemukakan, tetapi apa yang dimaksud dengan gaya
belajar tidak selalu jelas. Untuk membantu para pengajar agar
dapat membedakan perbedaan gaya belajar siswa sehingga dapat memberikan
perlakuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan atau gaya belajar mereka.
Maka berikut beberapa teori gaya belajar dari para ahli. Teori gaya belajar Kolb (1976) merupakan salah
satu teori gaya belajar yang paling jelas penguraiannya, yang mengatakan bahwa
gaya belajar dapat diperingkat disepanjang kontinum mulai dari: (1) Pengalaman
kongkret yang terlibat dalam sebuah pengalaman baru, melalui (2) Obsevasi
reflektif (mengamati orang lain atau mengembangkan pengalaman sendiri), dan (3)
Konseptualisasi abstrak (menciptakan teori untuk menjelaskan observasi), untuk
melakukan (4) Eksperimentasi aktif (dengan menggunakan berbagai teori untuk
mengambil masalah dan menngambil keputusan). Teori-teori belajar yang lebih
mutakhir mengkonseptualisasikan gaya-gaya ini sebagai gaya yang lebih disukai
dan lebih dipercaya oleh pelajar, Muijs dan Reynold (2008) menyimpulkan, oleh
sebab itu kebanyakan dari para siswa lebih menyukai salah satu dari keempat
gaya di atas.
IV.
Keragaman Kultur
(Etnis dan Ras) dan Gender
Dunia kita
adalah dunia multicultural, dengan beragam adat, latar belakang, dan nilai-
nilai yang berbeda. Sama halnya dengan Bangsa Indonesia
terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan
agama atau keyakinan berbeda-beda. Dengan perbedaan ini Bangsa Indonesia kaya
akan kultur (budaya) dan etnik, dari berbagai suku dan ras yang ada. Perbedaan
ini masing-masing suku dan ras beragam yaitu berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Maka pada kesempatan ini pemekalah akan mngeksplorasi mengenai
hakekat dan keragaman kultur dan etnik.
A. Kultur (etnik dan Ras)
1.Kultur
Kultur adalah kebudayaan. Dalam bahas Inggris
culture berarti “belonging or relating to a particular society and its way of life (Longman,
2009: 410) sedangkan dalam KBBI Online Kultur berarti “kebudayaan” (http://kbbi.web.id/,
23 January 2014, jam 8:59). Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua
produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antar kelompok orang dengan
lingkungannya selama bertahun-tahun (Santrock, 2008: 170).
Sedangkan Edward
B. Taylor mengatakan bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan
lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat
(Taylor dalam Liliweri, 2003, hal. 107).
Lebih lanjut Hebding dan Glick
mengatakan bahwa kebudayaan dapat dilihat secara material maupun non material.
Kebudayaan material dapat berupa asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga,
alat rumah tangga, pakaian, sistem komputer, desain arsitektur dan mesin
otomotif, sedangkan kebudayaan non material antara lain berupa konsep
norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan serta bahasa (Hebding dan Glick dalam
Liliweri, 2003, hal.107).
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan hasil pemikiran yang
diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk peralatan yang digunakan
ataupun nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur pola perilaku suatu
komunitas. Kultur sangat mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran. Banyak aspek
budaya mempunyai andil bagi identitas dan konsep diri pelajar dan mempengaruhi
keyakinan dan nilai, sikap, dan harapan, hubungan sosial, penggunaan bahasa,
dan perilaku lain pelajar.
2.
Etnis dan Ras
Dalam
suatu bangsa terdapat beragam etnis dan ras, yang sudah wajar terdapat beragam
kultur. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, membangun pemahaman
yang kritis tentang makna etnis dan ras adalah sangat penting. Sering kali
pengertian etnis dan ras terlihat saling tumpang-tindih ketika menyebutkan
kedua kata tersebut. Padahal keduanya mempunyai makna yang sama sekali berbeda.
Kata etnis berasal dari kata Yunani ethnos yang merujuk pada pengertian bangsa
atau orang. Sering kali ethnos diartika sebagai setiap kelompok sosial yang
ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan
lainlain-lain, yang pada gilirannya mengindikasikanadanya kenyataan kelompok
minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Kata ethnic berasal dari kata
Yunani yang berarti “bangsa”, sehingga etnisitas (ethnicity) adalah pola umum
karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa
(Santrock, 2008: 177).
Etnisitas
adalah pola umum karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras,
agama, dan bahasa. Misalnya, penyebutan Eurocentric untuk menerangkan
kebudayaan yang berpusat pada mayoritas etnik dan ras dari orang-orang Eropa;
Chinacentric untuk menyebutkan kebudayaan yang berorietasi pada Cina;
Jawacentric untuk menjelaskan kebudayaan yang berorientasi pada Jawa, dan
lain-lain. Jadi, istilah etnik ini mengacu pada suatu kelompok yang sangat
fanatik dengan ideology kelompoknya, tidak mau tahu ideologi kelompok lain. Dan
hal penting lain yang harus digaris bawahi dari pengertian etnis adalah bahwa
etnis itu terbentuk berdasarkan definisi sosial dan bukan merupakan definisi
yang didasarkan pada faktor keturunan atau biologis. Contohnya, orang Sunda dan
Betawi secara fisik mungkin terlihat sama, akan tetapi jika dilihat latar
belakang sosio-kultural keduanya, ternyata mereka berasal dari etnis yang
berbeda.
Pengertian
etnis, secara tegas, adalah lebih didasarkan pada ciri-ciri sosio-kultural
seperti agama, bahasa, asal suku, asal negara, dan tata cara hidup sehari-hari.
Misalnya, anak seorang keturunan Belanda, berkulit putih dan bermata biru,
tinggal bersama suatu keluarga Bali sejak kecil, kemudian anak itu tumbuh
dewasa sebagaimana umumnya orang Bali; berbahasa, beragama, bertatacara hidup
sebagaiman orang Bali. Maka, secara sosio-kultural, apabila mengikuti makna
etnis sesuai pengertian di atas, anak tersebut tidak bisa disebut ber-etnis
Belanda, tetapi lebih layak disebut ber-etnis Bali.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Ras adalah penggolongan
bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa (2008:1027). Ras adalah sebuah konstruksi
sosial dan kategori biologi atau cultural yang universal dan esensial. Ras
adalah suatu kelompok manusia yang memiliki cirri-ciri fisik bawaan yang sama. Diferensiasiras
berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri- ciri fisiknya,bukan
budayanya. Karakteristik fisik dtransformasikan menjadi penanda ras termasuk
didalamnya anggapan palsu tentang perbedaan cultural dan biologis yang
esensial.
B. Etnisitas dan Sekolah
Kelompok etnis menjadi penentu utama
budaya sebagai asal usul individu. Kelompok etnis adalah kelompok yang menjadi
tempat orang mempunyai rasa identitas bersama, biasanya karena tempat asal yang
sama, agama, atau ras. Etnis berbeda dengan ras; etnis merupakan budaya bersama
dan ras merupakan karakteristik fisik. Komposisi Ras dan Etnis akan sangat
berpengaruh terhadap pencapaian akademis siswa, terlebih lagi dari kelompok
minoritas atau yang kurang terwakili. Hal tersebut mengakibatkan Dampak
Desegregasi Sekolah yang menuntut guru dengan sebuah pertanyaan “Mengapa
Pencapaian Siswa dari Kelompok yang kurang terwakili tertinggal?” Sebagai
contoh di Indonesia ada istilah pribumi dan non-pribumi dimana secara tidak
langsung perkaluan kaum pribumi terhadap kaum non-pribumi berbeda.
Banyak
pengalaman yang dialami bangsa ini sejak sebelum merdeka, ketika merdeka, dan
di era reformasi tentang berbagai gejolak yang dilatarbelakangi konflik-konflik
horizontal. Buku yang berjudul Tionghoa
dalam Pusaran Politik yang di karang
oleh Benny G. Setiono adalah salah satu contoh buku yang berisi keprihatinan
atas realitas diskriminatif yang menimpa warga keturunan Tionghoa baik dalam
kehidupan sosial, politik, ekoniomi dan lain sebagainya. Selain itu ada juga
Kasus Sampit adalah kasus etnis yang paling menggegerkan negeri ini, konflik
warga Dayak dan warga Madura di Kota Sampit Ibukota Waringin Timur, Kalimantan
Tengah memakan ratusan korban jiwa . Padahal mereka telah lama hidup
berdampingan .
1.
Gender
Ketidakadilan
gender di ruang kelas atau yang dikenal dengan bias jender dalam pembelajaran
(pendidikan) sangat memengaruhi pilihan dan pencapaian siswa dalam belajar.
Pendidikan harus mengedepankan pendidikan berperspektif kesetaraan gender.
Seifert dan Sutton dalam bukunya mengatakan:
“Gender differences also occur in
the realm of classroom behavior. Teachers tend to praise girls for
“good”behavior, regardless of its relevance to content or to the lesson at
hand, and tend to criticize boys for “bad” or inappropriate behavior (Golombok
& Fivush, 1994). This difference can also be stated in terms of what
teachers overlook: with girls, they tend to overlook behavior that is not
appropriate, but with boys they tend to overlook behavior that is appropriate.
The net result in this case is to make girls’ seem more good than they may
really be, and also to make their “goodness” seem more important than their
academic competence. By the same token, theteacher’s patterns of response imply
that boys are more “bad” than they may really be.” (Seifert and
Sutton, 2009: 73)
Gender adalah dimensi sosiokultural
dan psikologis dari pria dan wanita. Istilah gender dibedakan dari istilah
jenis kelamin. Jenis kelamin berhubungan dengan dimensi biologis dari pria dan
wanita. Pandangan terhadap Perkembangan gender, yaitu:
a.
Pandangan kognitif, Pendangan
ini berpendapat bahwa perkembangan bahwa perkembangan gender melalui cara
sebagai berikut: “saya gadis, saya ingin melakukan hal-hal yang dilakukan
gadis. Karena itu, kesempatan melakukan kegiatan gadis sangatlah menyenangkan.
b.
Pandangan Biologis, Pasanga kromosom
ke 23 dalam diri manusia (kromosom jenis kelamin) merupakan penentu apakah
fetus (janin) itu akan menjadi wanita (XX) ataukah pria (YY)
c.
Pandangan Sosialisasi, baik itu
teori psikoanalitik maupun kognitif sosial mendeskripsikan pengalaman sosial
yang mempengaruhi perkembangan gender anak.
Jenis
kelamin seorang siswa merupakan ciri yang telihat dan abadi. Jenis kelamin
berpengaruh terhadap pola belajar anak yang kemudian berkembangan menjadi
perilaku belajar yang relatif sama untuk setiap gender. Terdapat perbedaan
antara laki-laki dan wanita dalam hal berpikir dan belajar. Dibidang sekolah,
akan ada skema yang naik pada wanita dan kemudian turun untuk alasan
meremehkan. Laki-laki tentu memiliki krisis, akan tetapi tidak semua orang akan
mengalaminya. Disinilah letak perilaku peran jenis kelamin ini berfungsi dalam
Streotip Peran jenis kelamin dan ketidakadilan Gender.
V. Implikasi Keragaman Kultur dan Gender Proses
Pembelajaran.
Pendidikan
berbasis Multikultural merupakan suatu proses pendidikan berjenjang yang mampu
menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan seperti
status sosial, etnis, gender dan agama dalam masyarakat yang multikultural agar
tercipta kepribadian yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi
masalah-masalah keberagaman. Paradigma pendidikan multikultural sangat
bermanfaat untuk membangun harmoni sosial di antara keragaman etnik, ras,
agama, budaya dan kebutuhan di antara kita
Pendidik
dituntut tidak hanya menguasai dan mampu
secara profesional mengajarkan mata pelajaran
yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu
menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi,
humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang
inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put
yang dihasilkan tidak hanya kompeten
sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan
nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan
yang ada.
Hubungan Kultur dan Etnisitas Dalam
Pembelajaran Perbedaan kultur dan etnis merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dalam suatu lingkungan kelas. Setiap siswa yang ada tentunya memiliki
latar belakang budaya dan etnis yang berbeda, namun demikian perbedaan ini
bukanlah hal yang harus memicu terjadinya diskriminasi dalam proses
belajar-mengajar ataupun menimbulkan adanya kelompok-kelompok eksklusif
berdasarkan kultur dan etnis siswa. Peran guru dalam hal ini sangat besar untuk
tidak terciptanya diskriminasi ataupun kelompok-kelompok tersebut. Guru harus
menciptakan suasana belajar dalam kelas yang menghargai perbedaan kultur dan
etnis dari setiap siswa, sehingga dapat membantu siswa-siswanya mengalami
perubahan dalam pola perilaku yang menghargai perbedaan tersebut. Sebagaimana
dikatakan John W. Santrock bahwa fungsi utama sekolah adalah membantu siswa
untuk belajar dimana melalui proses belajar tersebut siswa mengalami perubahan
dalam hal perilaku, pengetahuan dan keterampilan berpikir yang diperoleh
melalui pengalaman (Santrock, 2008)
Berikut ini beberapa rekomendasi dari
national Association for the Education of Young Children 1996 dalam Santrock
(2007:183) untuk mengajar anak yang berbeda secara kultural dan bahasa:
1. Meyadari bahwa semua anak terkait
secara kognitif, linguistik, dan emosional dengan bahasa dan kultural rumah
mereka.
2. Mengakui bahwa anak dapat menunjukkan
pengetahuan dan kapasitas mereka dalam banyak cara.
3. Memahami bahwa tanpa input yang bisa
dipahami, pembelajaran bahasa kedua bisa jadi sulit.
4. Memberi contoh penggunanan bahasa
inggris yang tepat dan beri anak kesempatan untuk menggunakan kosakata dan
bahasa yang baru dikuasai.
5. Melibatkan orang tua dan keluarga
secara aktif dalam pembelajaran anak.
6. Mengakui bahwa anak dapat dan akan
bisa menggunakan bahasa inggris walaupun bahasa rumah mereka tetap dipakai dan
dihormati.
7. Bekerja sama dengan guru lain untuk
mempelajari lebih banyak cara mengajar anak yang berbeda secara kultural dan
linguistic.
Strategi
mengajar Pendidikan Multikultural. Berikut ini adalah rekomendasi dari pakar
pendidikan multikultural James dalam Santrock (2008:193) untuk menjalankan
pengajaran multikultural:
1.
Waspada
terhadap isi rasis dalam materi pelajaran dan interaksi dikelas.
2.
Mempelajari
lebih banyak tentang kelompok etnis yang berbeda-beda.
3.
Peka
terhadap sikap etnis murid dan jangan menerima keyakinan bahwa “anak tidak
melihat perbedaan warna kulit”. Respon pandangan kultural anak secara sensitif.
4.
Menggunakan
buku, film, video, dan rekaman untuk menggambarkan perspektif etnis.
5.
Bersikaplah
peka terhadap perkembangan kebutuhan murid anda ketika anda memilih materi
kultural.
6.
Pandang
murid secara positif terlepas dari etnis mereka.
7.
Mengakui
bahwa kebayakan orang tua, terlepas dari etnisitasnya, memerhatikan pendidikan
anaknya dan ingin agar anaknya sukses di sekolah.
VI.
Keragaman Status Sosial Ekonomi
Realita
kemampuan ekonomi orang tua siswa sangat beragam. Ada yang mampu (kaya) dan ada
yang tidak mampu (miskin). Status sosial ekonomi orang tua sangat berpengaruh
terhadap sikap, cara, dan motivasi siswa dalam pembelajaran. Keragaman ini
belum mendapatkan respon yang proporsional dari pihak guru dan sekolah.
Persoalan
yang timbul adalah sering terjadi gap antar siswa yang mampu dengan siswa yang
orangtuanya berekonomi kurang mampu. Sehingga terjadi perasaan rendah diri pada
kelompok siswa yang kurang mampu.
Metode
layanan konseling kelompok akan membantu para siswa mempunyai kesadaran
terhadap status kondisi ekonominya. Untuk itu diperlukan pemecahan problematika
dalam rangka menumbuhkan kesadaran terhadap status sosial ekonomi orangtua bagi
siswa-siswa di sekolah. Perbedaan status sosial ekonomi orang tua sering
menimbulkan pola pikir, sikap, dan tindakan siswa yang mengarah kepada
pengelompokan siswa dan rasa rendah diri yang dapat berpengaruh terhadap
prestasi belajarnya. Hal ini terjadi karena masih rendahnya kesadaran siswa
terhadap kondisi atau satus sosial ekonomi orang tua.
Kemampuan
ekonomi orang tua atau keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang
sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya (misalnya: makan,
pakaian, perlindungan kesehatan) juga intensitas dukungan sarana dan prasarana
belajar harus terpenuhi (misalnya: meja, kursi, penerangan, alat tulis menulis,
buku-buku dan lain-lain). Fasilitas belajar itu hanya dapat terpenuhi jika
keluarga mempunyai cukup uang.
Jika
anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan anak kurang terpenuhi dan
akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu.
Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder
dengan teman yang lain, hal ini pasti akan mengganggu belajar anak dan pada
akhirnya berpengaruh pada minat belajar dari siswa itu sendiri. Bahkan mungkin
anak harus mencari nafkah untuk membantu orang tuanya walaupun anak sebenarnya
belum saatnya untuk bekerja. Hal seperti ini juga kan mempengaruhi minat
belajar siswa. Walaupun tidak dapat dipungkiri akibat ekonomi keluarga yang
lemah, justru keadaan yang begiru menjadi cambuk baginya untuk belajar giat dan
akhirnya sukses besar.
Sebaliknya
keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk
memanjakan anak. Anak hanya bersengan-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak
kurang dapat memuasatkan perhatiaanya kepada belajar. Hal tersebut dapat
mengganggu belajar anak, sehingga prestasi belajar tidak memuaskan.
Orang
tua yang kemampuan ekonominya memadai akan menyediakan fasilitas pendidikan yang
memadai pula. Sebaliknya orang tua yang kemampuan ekonominya rendah, tidak
dapat meberikan kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai sehingga semua
itu berpengaruh terhadap minat belajar siswa. Status sosial ekonomi mengandung
kesenjangan tertentu. Individu dari status sosial ekonomi bawah sering kali
kurang pendidikannya, kurang kuat untuk mempengaruhi institusi masyarakat
(seperti sekolah), dan hanya punya sedikit sumber daya ekonomi. Mendidik siswa
dengan latar belakang Status Sosial Ekonomi rendah membutuhkan strategi seperti
disiplin, motivasi, keterlibatan orang tua, pengajaran, dan pengetahuan yang
belum disentuh agar dapat dijangkau siswa.
Tingkat
Kemiskinan Anak dalam sebuah laporan tentang anak-anak Amerika, Children’s
Defense Fund (1992) mendeskripsikan seperti apa kehidupan dari banyak anak
Amerika. Tingkat kemiskinan anak di Amerika sangat tinggi terutama di kalangan
keluarga yang dikepalai oleh perempuan – mendekati 50%. Lebih dari 40% anak
Afrika-Amerika dan hampir 40% anak Latin dewasa ini hidup di bawah garis
kemiskinan. Dibandingkan dengan anak-anak berkulit putih bukan latin, anak-anak
kulit berwarna kemungkinan besar mengalami kemiskinan yang terus menerus selama
bertahun-tahun (McLyod, Aikens, & Burton, 2006).
Kemiskinan
dapat berdampak negatif terhadap pembelajaran dan perkembangan anak. Anak-anak
miskin sering menghadapi problem di rumah dan sekolah sehingga mengganggu
proses belajar mereka (Ceballo & McLoyd, 2002; Evans & English, 2002;
Magnuson & Duncan, 2002; Webb, Metha, & Jordan, 2002). Anak-anak
miskin: 1) kesulitan di rumah dan sekolah lebih besar, 2) kurang merangsang
kognitif anak di rumah, 3) nilai ujian rendah, 4) tingkat kelulusan yang lebih
rendah, 5) persentase murid yang masuk ke jenjang perguruan tinggi rendah.
Sekolah
di area miskin: 1) seringkali hanya punya sedikit sumber daya ketimbang sekolah
yang muridnya kebanyakan orang kaya, 2) bangunan sekolah dan kelas sudah tua,
rusak dan kumuh, 3) guru yang kurang berpengalaman, 4) mendorong pembelajaran
dengan menghafal, 5) lingkungan yang tidak kondusif. Maccoby & Mcloyd
(sigelman & shaffer, 1995) telah membandingkan ortu kelas menengah &
atas dengan kelas bawah/pekerja. Hasilnya menunjukkan bahwa ortu kelas
bawah/pekerja cenderung:
1.
Sangat
menekankan kepatuhan & respek terhadap otoritas
2.
Lebih
restriktif (keras) & otoriter
3.
Kurang
memberikan alasan kepada anak
4.
Kurang
bersikap hangat & memberi kasih sayang kepada anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar