Kamis, 20 November 2014

POSMODERNISME DAN TEORI POSTKOLONIAL



Makalah Kelompok 9
POSMODERNISME DAN TEORI POSTKOLONIAL


Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA


logo unj.jpg

Oleh :
Fidiatun Adiyan    (No. Reg 7316130259)
Nurainih                 (No. Reg 7316130277)






Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dunia yang dipijaki sekarang ini, secara sadar maupun tanpa disadari, sementara berada pada suatu era yang menuntut setiap individunya untuk meninggalkan segala hal-hal yang bersifat ‘kebiasaan lama’ dan mulai merevisinya dengan suatu tatanan dan   sistem yang baru, yang tentunya juga memerlukan banyak perubahan di dalamnya. Dapat terlihat pada keadaan yang terjadi pada sekarang ini, hal-hal yang tadinya diminati oleh khalayak ramai, sekarang perlahan namun pasti mulai ditinggalkan oleh para peminatnya. Hal-hal yang tadinya disukai oleh orang-orang pada umumnya, sekarang telah mulai ditinggalkan dan mulai beralih kepada suatu cara atau tatanan yang dianggap lebih baru, atau lebih tepatnya, lebih menyenangkan daripada hal yang sebelumnya. Itulah yang dinamakan sebuah masa peralihan dari era modern menuju kepada suatu era baru yang diberi nama era postmodern.
Hampir segala sesuatu dalam era modern sekarang mulai ditinggalkan dan mulai beralih kepada segala sesuatu yang termasuk dalam era postmodern. Dalam bidang arsitektur misalnya, dapat terlihat perbedaan ciri khas bangunan ala  modernisme versus  postmodernisme. Begitu juga halnya dengan hermeneutika. Jika di zaman modern tidak ada ambiguitas makna, sehingga hampir tidak mungkin adanya kesalahan penafsiran, maka di zaman postmodern yang sarat dengan ambiguitas makna, maka penafsiran pun semakin banyak tidak bertanggungjawab, sehingga masing-masing orang bisa menafsirkan semaunya sendiri tanpa mau mengerti dari sumber pertamanya (eisegesis). Karena menekankan ketidakteraturan, maka postmodernisme melahirkan suatu semangat Pemberontakan. Karena tidak mau terikat pada tradisi lama, maka banyak manusia postmodern mulai memberontak. Memberontak terhadap tradisi lama yang kaku, memberontak terhadap iman yang beres, memberontak terhadap segala hal yang bernilai, dan segala macam hal lainnya. Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.
Kemudian istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian karya sastra yang serius muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. Di dalam buku The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah tersebut untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di bekas Negara jajahan Eropa: Sastra third world atau Sastra daerah commonwealth (Bahri,1996). Namun meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edwar Said mulai menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).
Istilah kolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Namun poskolonial tidak semata-mata mengacu pada makna “sesudah” kolonial atau juga tidak berarti “anti” kolonial. Sesuai dengan pendapat Keith Foulcher dan Tony Day poskolonial mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial tatapi dalam pengertian yang lebih luas. Sasaran poskolonialme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme.     
B.   Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Apa konsep posmodernisme?
2.    Apa konsep poskolonialisme ?
3.    Apa latar belakang lahirnya posmodernisme?
4.    Apa karakteristik postkolonialisme?


C.   Tujuan
Adapun tujuan  penyusunan makalah ini ialah:
1.    Agar mahasiswa memahami pengertian posmodernisme dan poskolonial
2.    Agar mahasiswa mengetahui sejarah posmodernisme
3.    Agar mahasiswa mengenal ciri-ciri posmodernisme dan poskolonial

















BAB II
PEMBAHASAN

A.           Konsep Postmodernisme
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.[1] Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.[1] Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme.[1] Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme.[1] Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori[1]. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak.[1] Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.[1]
Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern.[1] Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme.[1] Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947.[1] Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.[1]
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir.[[2]] Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[2] Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.[2]
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya.[1] Ciri pemikiran di era postmodernisme ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.[1] Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.[1]
Paham sastra postmodernisme ini boleh dikatakan sebagai ekspresi sastra lanjut. Karenanya, upaya pemahamannya pun membutuhkan kajian lanjut. Pisau analisis yang digunakan juga menghendaki lebih tajam, sejalan dengan perkembangan sastra itu. Tampak bahwa postmodernisme menjadi lawan kajian sastra modern. Kaum modern biasanya masih berhenti pada kajian struktural sastra. Kajian ini juga ditentang oleh kaum pasca-struktural. Untuk mencapai kajian demikian harus berani melakukan dekonstruksi, karena teks sastra bukan satu-satunya informasi tunggal. Paham dekonstruksi meyakini bahwa teks sastra justru akan menciptakan makna baru setelah dikaji. Karenya, tanpa dekonstruksi yang melebar ke luar teks, makna yang sering meloncat-loncat akan sulit ditangkap oleh peneliti.
Dekonstruksi adalah postrukturalisme yang bersifat eksterm, yaitu pemaknaan karya sastra yang bisa dimulai dari aspek apa saja, bahkan dari persoalan yang paling kecil yang semula tidak diperkirakan banyak orang.[3] Artinya, pemaknaan sebuah karya sastra dengan dekonstruksi dapat menyebabkan unsur-unsur yang semula dianggap tidak bermakna, bisa menjadi bermakna. Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan, pengurangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang telah baku.[4]
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut juga sebagai sebagai poststrukturalisme.[5] Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori, menurut pendekatan ini, justru akan memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri.
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Paham dekonstruksi bermaksud untuk melacak aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, kontradiktif, ironi dalam objek yang diteliti. Unsur-unsur dalam penelitian itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya. Unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat perannya dalam objek penelitian tersebut.
Dalam pengamatan dekonstruksi, makna lebih dipahami sebagai sebuah proses dari penafsiran, dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna di balik layar, tetapi wujudnya bukan dalam bentuk kehadiran, mealainkan sebagai proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantinya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu.
Dengan demikian dekonstruksi menolak kemapanan dan pemusatan makna. Karena itu, pemusatan makna melalui tema sangatlah dilawan oleh dekonstruksi. Karena makna tidak pernah dilihat sebagai suatu hal yang selesai atau makna tunggal, maka dalam suatu teks misalnya akan sangat mungkin ditemukan berbagai macam makna. Karena itu, dekonstruksi meyakini bahwa tidak ada kebenaran. Yang ada adalah proses mencari kebenaran. Hasil tidak begitu penting karena proses itu sendiri adalah hasil. Analisis penguraiannya dilakukan dengan membongkar bagian-bagiannya. Pembongkaran tersebut bukanlah merusak, tetapi membangun konstruk baru. Konstruksi yang dibangun setidaknya ingin menunjukkan bahwa ada banyak konstruk di luar konstruk yang telah dianggap mapan. Karena itu, Kristeva menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruksi dan konstruksi.[6]
Jadi, kajian pasca-struktural maupun dekonstruksi boleh disebut juga postmodernisme. Posmodernisme berarti sebagai pijar penelitian yang selangkah lebih maju dari paham modernitas. Jika kaum modern sangat mengandalkan sebuah tradisi sastra yang tertata rapi, menganut hukum-hukum tertentu, sedangkan peneliti kajian postmodern telah lebih dari itu. Mungkin sekali, kaum modern akan memandang postmodern sebagai wilayah kajian sastra yang kacau balau, absurd, tak berarti, dan tak komunikatif. Hal ini pun disadari oleh kaum postmodernis, karena kelahiran mereka memang dilatarbelakangi oleh pemahaman sastra dari sisi modernitas yang sangat patuh pada aturan-aturan tertentu. Jika peneliti sastra modern, sering menganggap bahwa karya baik adalah karya besar, karya yang lahir dari pusat, tentu hal demikian ditentang oleh postmodernisme. Karena sifatnya yang radikal tersebut dalam modernisme, postmodernisme berusaha untuk mendekontruksi keadaan. Dari susunan-susunan rapi dan tertata itu postmodernisme ingin mendobrak dan atau merusak konstruksi untuk menghasilkan konstruksi baru yang lebih handal.
Dengan demikian, postmodernisme berupaya memahami karya sastra yang sebebas mungkin. Hal ini perlu dipahami karena ada perkembangan mutakhir, juga banyak karya-karya sastra yang sering “lari” dari struktur. Tak sedikit pula karya sastra yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap, puisi eksperimen, puisi mini kata, puisi tanpa kata, dan sebagainya. Keadaan inilah yang memaksa para peneliti sastra melakukan terobosan.[7]
Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern. Tetapi kata "postmodern" mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama. Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Postmoderisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern.[8]
B.    Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme
Secara umum latar belakang lahirnya postmodernisme menurut Pauline Rosenau dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu :[9]
a) Sebagai bentuk protes akan anggapan kurangnya ekspresi dalam aliran modernisme.
b) Karena terjadinya krisis kemanusiaan modern dalam aliran modernisme.
c) Kegagalan Modernisme dalam mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pendukung fanatiknya.
d) Tidak mampunya Ilmu pengetahuan modern untuk melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian.
e)  Adanya semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
f)  Adanya semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar – bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
g) Ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Sedangkan menurut Akbar S. Ahmed menyebutkan delapan karakter latar belakang lahirnya sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :[10]
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
C.   Pengertian Postkolonial
Poskolonial yang secara etimologis berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya. Adapun konotasi negatif kolonial lahir karena tidak seimbangnya interaksi antara pribumi dengan pendatang yang berkuasa. Sedangkan secara harfiah poskolonial berarti teori yang lahir sesudah zaman egaray. Negara-negara eropa modern bukanlah kolonialis yang pertama. Penaklukan suatu wilayah dimulai jauh sebelum itu, yaitu dimulai pada tahun 1122 SM dinasti shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke-2 M menguasai Armenia hingga Lautan Atlantik, dan banyak lagi Negara atau kerajaan yang saling menguasai. Aksi kolonialime Negara-negara eropa modern baru dimulai sekitar abad ke-16.
Dalam egarayi lain juga dijelaskan bahwa poskolonial theory is an area of literary criticism and cultural studies that has come into being in response to (a) the post-war upsurge in literary creativity in countries formerly under colonial rule, (b) the persistence of colonial, ‘neo-colonial’ or imperialist influence in modern world, and (c) by analogy, the use of term such as ‘post-structuralist’ and ‘postmodern’ to generate a challenge to monolithic or universalist claims.[11]
Efek penting dari kritik poskolonial adalah lebih lanjut merongrong pernyataan universal yang dulu dibuat atas nama sastra oleh kritikus humanis liberal. Jika kita menyatakan bahwa sastra besar memiliki makna yang tanpa batas waktu dan universal, maka kita menurunkan kedudukan dan mengabaikan perbedaan kultural, sosial, regional, dan rasional dalam hal pengalaman dan pandangan. Sehingga kita lebih menghakimi semua sastra dengan standar yang tunggal, dianggap “universal”.[12]
Pada zaman pasca Kolonial inilah banyak ditelaah secara kesastraan dan merupakan representasi historis pada hal-hal yang berkenaan dengan pola hubungan antara penjajah dengan penduduk pribumi (jajahan), yang  dalam hal ini dunia timur menjadi objek dominasi barat. Teori egarayial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala Kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan sebagainya, yang terjadi di Negara-negara bekas koloni Eropa modern. [13]
Postkolonial dengan demikian sangat relevan untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang perlu dikaji sangat luas dan beragam, meliputi egara seluruh aspek kebudayaan, diantaranya: politik, egaray, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus bentuk praktik di lapangan. Seperti perbudakan, pendudukan, pemaksaan bahasa dan berbagai bentuk invasi cultural lainnya. Keberagaman permasalahan di atas dapat disatukan oleh tema yang sama yaitu kolonialisme.
Dengan penjajahan yang sangat lama membuat Negara-negara terjajah bungkam dan tidak dapat mengeluarkan pendapat, maka dengan berakhirnya penjajahan Negara-negara yang baru merdeka dapat melahirkan ide untuk memajukan bangsa masing-masing dan mengembangkan teori-teori yang relevan. Oleh karena itu egarayial melibatkan tiga pengertian yaitu: a) abad berakhirnya imperium colonial di seluruh dunia, b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman colonial, dan c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme.[14]
Ada 4 alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori poskolonial.
1.  Sebagai gejala kultural sastra menampilkan system komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2.  Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3.  Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4.  Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak Nampak. Di sinilah egaray oriental ditanamkan, di sini pulalah analisis dekontruksi poskolonial dilakukan.[15]
D.   Ciri-Ciri Poskolonial
Adapun egar-ciri poskolonial ialah sebagai berikut:
1.  Anti-esensialisme (bahwa sastra bukan suatu teks yang ajeg dan permanen, tetapi merupakan hasil bentukan realitas di luarnya)
2.  Anti-determinisme (bahwa sastra bukan teks yang pasif, yang dibentuk secara tetap dan pasti sebuah struktur, tetapi juga membentuk dan menciptakan struktur-struktur baru)
3.  Anti-universalisme (bahwa sastra bukan teks yang berlaku secara universal, tetapi lahir dari negoisasi-negoisasi kulturalnya sendiri yang bersifat lokal dan partikular)
4.  Kajian poskolonial bukanlah kajian yang terpaku pada aspek formal dan structural dari karya sastra tetapi kajian-kajian yang ingin membaca secara cair, flexible dan radikal dimensi-dimnsi kritis dari sastra, dalam relasinya dengan kekuasaan (yang dipahami secara luas dan cair pula) dalam teks sastra maupun formasi sosial yang membentuknya.
5.  Pada kajian poskolonial, kekuasaan tersebut adalah relasi-relasi kuasa yang diakibatkan oleh penjajahan dan kolonisasi, kekuasaan itu adalah relasi-relasi kuasa akibat kapitalisasi.[16]
Menurut Nyoman (2004:211) ada egar penting dari teori poskolonial. Secara defenitif teori poskolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di egara-negara pascakolonial, lebih khusus lagi adalah negara-negara bekas koloni Eropa modern.[17]
                                                       



BAB III
KESIMPULAN

Posmodernisme merupakan sebuah paham yang berawal dari gerakan seni dan budaya termasuk di dalamnya sastra. Posmodernisme telah menentang mitos-mitos modern dan juga telah menghilangkan batas-batas antara seni dan kehidupan masa kini, antara elit yang hirarkhis dengan budaya populer, dan antara gabungan stalistik dengan pencampuran kode. Melalui terobosan postmodern, telah mengubah hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin, seperti hadirnya cybersastra yang akhir-akhir ini sedang bergema. Karena kelahirannya yang dilatar belakangi oleh pemahaman sastra dari segi modernitas yang sangat patuh pada aturan-aturan tertentu. Dari sifat modernisme yang radikal itu, posmodernisme mendobrak dan mengkontruksi tatanan yang baik dan lebih handal.
Postkkolonia merupakan suatu kajian yang merefeksikan kembali masa kolonial yakni interaksi antara penjajah dalam hal ini barat dengan masyarakat pribumi yakni timur (orient). Dimana pada saat itu terjadi penguasaan dan penundukan secara totalitas terhadap masyarakat pribumi yang meliputi segala aspek, baik secara fisik maupun mental. Kondisi sosial kultural juga tidak luput dari hegemoni barat.
Dalam kajian postkolonial, barat melakukan hegemoni terhadap Negara bekas jajahan dengan mengkonstruk cara pandang bahwa masyarakat barat merupakan sosok makhluk sempurna, sehingga tolak ukur kebenaran berdasarkan praktek keBaratan. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah sebuah Negara telah bebas dari cengkaraman penjajah, tidak berarti juga bebas dari hegemoni atau penjajahan secara konsep. Dalam hal ini masyarakat timur digiring cara pandang agar berkiblat ke barat.















DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung

Bambang Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Bnd. Dg. James Miller dalam buku The Passion of Michael Foucault (New York: Simon & Schuster, 1993) hal. 13 yang dikutip oleh Stanley J. Grenz dalam bukunya A Primer on Postmodernism hal. 199 yang mengatakan bahwa datangnya era postmodern dimulai dengan wafatnya Michael

Dennis Walder:2005, A Handbook to Literary Reasearch. Prancis, The Open Universty. Hal 157

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Caps, 2011.hal :167-169

Fayyadl.worldpress.com/2009/06/08/”politik-sastra”-signifikansi-dan-batas-batasnya/diunduh pada jam 12.52 pada  tgl 10 November 2013

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Grenz, J. Stanley . 2001. a primer on postmodernism (Andi, Jogjakarta, halaman 26-27)


Joas Adiprasetya., Mencari dasar bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pliuralisme agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002

McGrath, Alister. A Passion for Truth: The Intellectual Coherence of Evangelical. Downers Grove: InterVarsity, 1996.







Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Uny pers.

Nyoman Kutha Ratna: 2004  Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 206

Peter Barry:1995, Begening Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta, Percetakan Jalasutra. Hal 223

Solomon, Robert C. Continental Philosophy since 1750 : The Rise and Fall of Self  (Oxford: Oxford University Press, 1988), hlm. 196.



[1] Bambang Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996
[2] Joas Adiprasetya., Mencari dasar bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pliuralisme agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
[3] Zainuddin. Fananie, Telaah Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 151.
[4]  Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 223
[5] Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Uny pers. Hal.59

[6] Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 252
[7] Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Caps, 2011.hal :167-169
[8] Grenz, J. Stanley . 2001. a primer on postmodernism (Andi, Jogjakarta, halaman 26-27)
[10] Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung

[11] Dennis Walder:2005, A Handbook to Literary Reasearch. Prancis, The Open Universty. Hal 157
[12] Peter Barry:1995, Begening Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta, Percetakan Jalasutra. Hal 223
[13] Nyoman Kutha Ratna: 2004  Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 206
[14] Nyoman kutha Ratna: 2004  Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 208

[15] Nyoman Kutha Ratna: 2004  Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 212-213
[16] Fayyadl.worldpress.com/2009/06/08/”politik-sastra”-signifikansi-dan-batas-batasnya/diunduh pada jam 12.52 pada  tgl 10 November 2013
[17] Nyoman Kutha Ratna: 2004  Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 211-212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar