Makalah Kelompok 9
POSMODERNISME DAN
TEORI POSTKOLONIAL
Disajikan Untuk Mata Kuliah
Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir,
M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA
Oleh :
Fidiatun
Adiyan
(No. Reg 7316130259)
Nurainih (No. Reg 7316130277)
Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana
Universitas Negeri Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia yang dipijaki sekarang ini, secara sadar maupun tanpa disadari,
sementara berada pada suatu era yang menuntut setiap individunya untuk
meninggalkan segala hal-hal yang bersifat ‘kebiasaan lama’ dan mulai
merevisinya dengan suatu tatanan dan sistem yang baru, yang tentunya juga
memerlukan banyak perubahan di dalamnya. Dapat terlihat pada keadaan yang
terjadi pada sekarang ini, hal-hal yang tadinya diminati oleh khalayak ramai,
sekarang perlahan namun pasti mulai ditinggalkan oleh para peminatnya. Hal-hal
yang tadinya disukai oleh orang-orang pada umumnya, sekarang telah mulai
ditinggalkan dan mulai beralih kepada suatu cara atau tatanan yang dianggap
lebih baru, atau lebih tepatnya, lebih menyenangkan daripada hal yang
sebelumnya. Itulah yang dinamakan sebuah masa peralihan dari era modern menuju
kepada suatu era baru yang diberi nama era postmodern.
Hampir
segala sesuatu dalam era modern sekarang mulai ditinggalkan dan mulai beralih
kepada segala sesuatu yang termasuk dalam era postmodern. Dalam bidang
arsitektur misalnya, dapat terlihat perbedaan ciri khas bangunan ala
modernisme versus postmodernisme. Begitu juga halnya dengan
hermeneutika. Jika di zaman modern tidak ada ambiguitas makna, sehingga hampir
tidak mungkin adanya kesalahan penafsiran, maka di zaman postmodern yang sarat
dengan ambiguitas makna, maka penafsiran pun semakin banyak tidak
bertanggungjawab, sehingga masing-masing orang bisa menafsirkan semaunya
sendiri tanpa mau mengerti dari sumber pertamanya (eisegesis). Karena menekankan ketidakteraturan, maka
postmodernisme melahirkan suatu semangat Pemberontakan. Karena tidak mau
terikat pada tradisi lama, maka banyak manusia postmodern mulai memberontak.
Memberontak terhadap tradisi lama yang kaku, memberontak terhadap iman yang
beres, memberontak terhadap segala hal yang bernilai, dan segala macam hal
lainnya. Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32
sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di
anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri
sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan
masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya
menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana
untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar,
pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan
dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek
postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian
modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme.
Kemudian
istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian karya sastra yang serius
muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. Di dalam buku The Empire Writes Back: Theory and Practice
in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah tersebut untuk
menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di bekas Negara jajahan
Eropa: Sastra third world atau Sastra
daerah commonwealth (Bahri,1996). Namun
meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme sebagai sebuah studi yang
serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edwar Said mulai menerbitkan buku
yang berjudul Orientalism di tahun
1978 (Bahri, 1996).
Istilah
kolonial ini tak jarang juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan
sesudah kemerdekaan. Namun poskolonial tidak semata-mata mengacu pada makna
“sesudah” kolonial atau juga tidak berarti “anti” kolonial. Sesuai dengan
pendapat Keith Foulcher dan Tony Day poskolonial mengacu pada kehidupan
masyarakat pascakolonial tatapi dalam pengertian yang lebih luas. Sasaran
poskolonialme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman
kolonialisme.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian di atas
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa konsep posmodernisme?
2. Apa konsep poskolonialisme ?
3. Apa latar belakang lahirnya posmodernisme?
4. Apa
karakteristik postkolonialisme?
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini ialah:
1. Agar
mahasiswa memahami pengertian posmodernisme dan poskolonial
2. Agar
mahasiswa mengetahui sejarah posmodernisme
3. Agar
mahasiswa mengenal ciri-ciri posmodernisme dan poskolonial
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Postmodernisme
Postmodernisme
adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.[1]
Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai
teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.[1] Banyak tokoh-tokoh yang memberikan
arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme.[1] Namun kelanjutan itu menjadi sangat
beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara
total dari modernisme.[1] Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan
yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori[1]. Bagi David
Graffin,
Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang
sudah sadar diri dan menjadi bijak.[1] Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari
modernisme yang belum selesai.[1]
Berdasarkan
asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya
faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern.[1] Istilah ini muncul pertama kali
pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk
menunjukkan reaksi dari moderninsme.[1] Kemudian pada bidang Sejarah oleh
Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947.[1] Setelah itu berkembanga dalam
bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.[1]
Postmodernisme
dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk
pada konsep berpikir.[[2]] Sedangkan postmodernitas lebih
menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi,
globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar
uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali
inspirasi-inspirasi tradisi.[2] Hal ini secara singkat sebenarnya
ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.[2]
Setidaknya
kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa
postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk
dalam budaya.[1] Ciri pemikiran di era postmodernisme
ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan
bebas sesuai pemikirannya.[1] Postmodernisme menolak arogansi
dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal
itu berguna.[1]
Paham
sastra postmodernisme ini boleh dikatakan sebagai ekspresi sastra lanjut.
Karenanya, upaya pemahamannya pun membutuhkan kajian lanjut. Pisau analisis
yang digunakan juga menghendaki lebih tajam, sejalan dengan perkembangan sastra
itu. Tampak bahwa postmodernisme menjadi lawan kajian sastra modern. Kaum
modern biasanya masih berhenti pada kajian struktural sastra. Kajian ini juga
ditentang oleh kaum pasca-struktural. Untuk mencapai kajian demikian harus
berani melakukan dekonstruksi, karena teks sastra bukan satu-satunya informasi
tunggal. Paham dekonstruksi meyakini bahwa teks sastra justru akan menciptakan
makna baru setelah dikaji. Karenya, tanpa dekonstruksi yang melebar ke luar
teks, makna yang sering meloncat-loncat akan sulit ditangkap oleh peneliti.
Dekonstruksi adalah
postrukturalisme yang bersifat eksterm, yaitu pemaknaan karya sastra yang bisa
dimulai dari aspek apa saja, bahkan dari persoalan yang paling kecil yang
semula tidak diperkirakan banyak orang.[3] Artinya, pemaknaan sebuah karya sastra dengan
dekonstruksi dapat menyebabkan unsur-unsur yang semula dianggap tidak bermakna,
bisa menjadi bermakna. Secara leksikal prefiks ‘de’ berarti penurunan,
pengurangan, penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara
pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan
susunan yang telah baku.[4]
Teori
dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti,
tertentu, konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Hal ini
merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut juga sebagai sebagai
poststrukturalisme.[5]
Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori, menurut pendekatan ini, justru
akan memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri.
Kekhasan
cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat
bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian
dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis
tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan
pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu
atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya,
kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Paham dekonstruksi bermaksud untuk
melacak aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, kontradiktif, ironi dalam
objek yang diteliti. Unsur-unsur dalam penelitian itu dicari dan dipahami
justru dalam arti kebalikannya. Unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkan,
diberi makna, peran, sehingga akan terlihat perannya dalam objek penelitian
tersebut.
Dalam pengamatan dekonstruksi, makna lebih dipahami sebagai
sebuah proses dari penafsiran, dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat
dinikmati begitu saja. Makna di balik layar, tetapi wujudnya bukan dalam bentuk
kehadiran, mealainkan sebagai proses menjadi yang terus-menerus menunda
pengertian yang dirasakan memadai dan menggantinya dengan penanda-penanda baru
yang lebih terbuka dan ambigu.
Dengan demikian dekonstruksi menolak kemapanan dan pemusatan
makna. Karena itu, pemusatan makna melalui tema sangatlah dilawan oleh
dekonstruksi. Karena makna tidak pernah dilihat sebagai suatu hal yang selesai
atau makna tunggal, maka dalam suatu teks misalnya akan sangat mungkin
ditemukan berbagai macam makna. Karena itu, dekonstruksi meyakini bahwa tidak
ada kebenaran. Yang ada adalah proses mencari kebenaran. Hasil tidak begitu
penting karena proses itu sendiri adalah hasil. Analisis penguraiannya
dilakukan dengan membongkar bagian-bagiannya. Pembongkaran tersebut bukanlah
merusak, tetapi membangun konstruk baru. Konstruksi yang dibangun setidaknya
ingin menunjukkan bahwa ada banyak konstruk di luar konstruk yang telah
dianggap mapan. Karena itu, Kristeva menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan
gabungan antara hakikat destruksi dan konstruksi.[6]
Jadi,
kajian pasca-struktural maupun dekonstruksi boleh disebut juga postmodernisme.
Posmodernisme berarti sebagai pijar penelitian yang selangkah lebih maju dari
paham modernitas. Jika kaum modern sangat mengandalkan sebuah tradisi sastra
yang tertata rapi, menganut hukum-hukum tertentu, sedangkan peneliti kajian
postmodern telah lebih dari itu. Mungkin sekali, kaum modern akan memandang
postmodern sebagai wilayah kajian sastra yang kacau balau, absurd, tak berarti,
dan tak komunikatif. Hal ini pun disadari oleh kaum postmodernis, karena
kelahiran mereka memang dilatarbelakangi oleh pemahaman sastra dari sisi
modernitas yang sangat patuh pada aturan-aturan tertentu. Jika peneliti sastra
modern, sering menganggap bahwa karya baik adalah karya besar, karya yang lahir
dari pusat, tentu hal demikian ditentang oleh postmodernisme. Karena sifatnya
yang radikal tersebut dalam modernisme, postmodernisme berusaha untuk
mendekontruksi keadaan. Dari susunan-susunan rapi dan tertata itu
postmodernisme ingin mendobrak dan atau merusak konstruksi untuk menghasilkan
konstruksi baru yang lebih handal.
Dengan
demikian, postmodernisme berupaya memahami karya sastra yang sebebas mungkin.
Hal ini perlu dipahami karena ada perkembangan mutakhir, juga banyak
karya-karya sastra yang sering “lari” dari struktur. Tak sedikit pula karya
sastra yang sulit dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap, puisi
eksperimen, puisi mini kata, puisi tanpa kata, dan sebagainya. Keadaan inilah
yang memaksa para peneliti sastra melakukan terobosan.[7]
Postmodernisme menolak
penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi
intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya,
postmodernisme adalah anti-modern. Tetapi kata "postmodern" mencakup
lebih dari sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap
rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun
belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan,
termasuk arsitektur, seni, dan drama. Postmodernisme telah merasuk ke dalam
seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern
dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak
terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh.
Postmoderisme menunjuk
kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan
ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme.
Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup,
zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah
era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika postmodernisme
membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern.[8]
B. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme
Secara
umum latar belakang lahirnya postmodernisme menurut Pauline Rosenau
dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu :[9]
a) Sebagai
bentuk protes akan anggapan kurangnya ekspresi dalam aliran modernisme.
b) Karena
terjadinya krisis kemanusiaan modern dalam aliran modernisme.
c) Kegagalan Modernisme dalam mewujudkan
perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pendukung fanatiknya.
d) Tidak
mampunya Ilmu pengetahuan modern untuk melepaskan diri dari
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada
preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian.
e) Adanya
semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
f) Adanya
semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar – bahwa ilmu pengetahuan
modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan
lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan
bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
g) Ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan
dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu
menekankan pada atribut fisik individu.
Sedangkan menurut Akbar S. Ahmed menyebutkan delapan karakter
latar belakang lahirnya sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :[10]
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas;
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan
diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan
dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia
menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma
bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi
ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur
oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul
diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap
kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya
untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan
apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat
kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat
negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran
pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok
untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan
bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara
ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali
mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut
“era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
C.
Pengertian
Postkolonial
Poskolonial yang secara
etimologis berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu
sendiri berasal dari akar kata colonia,
bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara
etimologis kolonial
tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi
eksploitasi lainnya. Adapun konotasi negatif kolonial lahir karena tidak
seimbangnya interaksi antara pribumi dengan pendatang yang berkuasa. Sedangkan secara harfiah poskolonial berarti teori
yang lahir sesudah zaman egaray. Negara-negara eropa modern
bukanlah kolonialis yang pertama. Penaklukan suatu wilayah dimulai jauh sebelum
itu, yaitu dimulai pada tahun 1122 SM dinasti shang di Cina ditaklukkan oleh
dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke-2 M menguasai Armenia hingga Lautan
Atlantik, dan banyak lagi Negara atau kerajaan yang saling menguasai. Aksi
kolonialime Negara-negara eropa modern baru dimulai sekitar abad ke-16.
Dalam egarayi lain juga dijelaskan bahwa poskolonial
theory is an area of literary criticism and cultural studies that has come into
being in response to (a) the post-war upsurge in literary creativity in
countries formerly under colonial rule, (b) the persistence of colonial,
‘neo-colonial’ or imperialist influence in modern world, and (c) by analogy,
the use of term such as ‘post-structuralist’ and ‘postmodern’ to generate a
challenge to monolithic or universalist claims.[11]
Efek penting dari kritik poskolonial adalah lebih
lanjut merongrong pernyataan universal yang dulu dibuat atas nama sastra oleh
kritikus humanis liberal. Jika kita menyatakan bahwa sastra besar memiliki
makna yang tanpa batas waktu dan universal, maka kita menurunkan kedudukan dan
mengabaikan perbedaan kultural, sosial, regional, dan rasional dalam hal
pengalaman dan pandangan. Sehingga kita lebih menghakimi semua sastra dengan
standar yang tunggal, dianggap “universal”.[12]
Pada zaman pasca Kolonial inilah banyak ditelaah
secara kesastraan dan merupakan representasi historis pada hal-hal yang
berkenaan dengan pola hubungan antara penjajah dengan penduduk pribumi
(jajahan), yang dalam hal ini dunia timur
menjadi objek dominasi barat. Teori egarayial adalah teori yang digunakan untuk
menganalisis berbagai gejala Kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi,
sastra, dan sebagainya, yang terjadi di Negara-negara bekas koloni Eropa
modern. [13]
Postkolonial dengan demikian sangat relevan untuk
menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya.
Tema-tema yang perlu dikaji sangat luas dan beragam, meliputi egara seluruh
aspek kebudayaan, diantaranya: politik, egaray, agama, pendidikan, sejarah,
antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus bentuk
praktik di lapangan. Seperti perbudakan, pendudukan, pemaksaan bahasa dan
berbagai bentuk invasi cultural lainnya. Keberagaman permasalahan di atas dapat
disatukan oleh tema yang sama yaitu kolonialisme.
Dengan penjajahan yang sangat lama membuat
Negara-negara terjajah bungkam dan tidak dapat mengeluarkan pendapat, maka
dengan berakhirnya penjajahan Negara-negara yang baru merdeka dapat melahirkan
ide untuk memajukan bangsa masing-masing dan mengembangkan teori-teori yang
relevan. Oleh karena itu egarayial melibatkan tiga pengertian yaitu: a) abad
berakhirnya imperium colonial di seluruh dunia, b) segala tulisan yang
berkaitan dengan pengalaman-pengalaman colonial, dan c) teori-teori yang
digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme.[14]
Ada 4 alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk
dianalisis melalui teori-teori poskolonial.
1. Sebagai
gejala kultural sastra menampilkan system komunikasi antara pengirim dan
penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2. Karya sastra
menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas,
fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3. Karya sastra
tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang
paling signifikan.
4. Berbagai
masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga
tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak Nampak. Di sinilah egaray oriental
ditanamkan, di sini pulalah analisis dekontruksi poskolonial dilakukan.[15]
D. Ciri-Ciri Poskolonial
Adapun egar-ciri poskolonial ialah sebagai berikut:
1. Anti-esensialisme
(bahwa sastra bukan suatu teks yang ajeg dan permanen, tetapi merupakan hasil
bentukan realitas di luarnya)
2. Anti-determinisme
(bahwa sastra bukan teks yang pasif, yang dibentuk secara tetap dan pasti
sebuah struktur, tetapi juga membentuk dan menciptakan struktur-struktur baru)
3. Anti-universalisme
(bahwa sastra bukan teks yang berlaku secara universal, tetapi lahir dari
negoisasi-negoisasi kulturalnya sendiri yang bersifat lokal dan partikular)
4. Kajian
poskolonial bukanlah kajian yang terpaku pada aspek formal dan structural dari
karya sastra tetapi kajian-kajian yang ingin membaca secara cair, flexible dan radikal
dimensi-dimnsi kritis dari sastra, dalam relasinya dengan kekuasaan (yang
dipahami secara luas dan cair pula) dalam teks sastra maupun formasi sosial
yang membentuknya.
5. Pada kajian
poskolonial, kekuasaan tersebut adalah relasi-relasi kuasa yang diakibatkan
oleh penjajahan dan kolonisasi, kekuasaan itu adalah relasi-relasi kuasa akibat
kapitalisasi.[16]
Menurut
Nyoman (2004:211) ada egar penting dari teori poskolonial. Secara defenitif
teori poskolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang
menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di egara-negara pascakolonial,
lebih khusus lagi adalah negara-negara bekas koloni Eropa modern.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Posmodernisme merupakan sebuah paham yang berawal dari
gerakan seni dan budaya termasuk di dalamnya sastra. Posmodernisme telah menentang mitos-mitos modern dan juga telah menghilangkan batas-batas
antara seni dan kehidupan masa kini, antara elit yang hirarkhis dengan budaya
populer, dan antara gabungan stalistik dengan pencampuran kode. Melalui
terobosan postmodern, telah mengubah hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin,
seperti hadirnya cybersastra yang akhir-akhir ini sedang bergema. Karena
kelahirannya yang dilatar belakangi oleh pemahaman sastra dari segi modernitas
yang sangat patuh pada aturan-aturan tertentu. Dari sifat modernisme yang
radikal itu, posmodernisme mendobrak dan mengkontruksi tatanan yang baik dan
lebih handal.
Postkkolonia merupakan suatu kajian yang merefeksikan kembali masa kolonial
yakni interaksi antara penjajah dalam hal ini barat dengan masyarakat pribumi
yakni timur (orient). Dimana pada saat itu terjadi penguasaan dan penundukan
secara totalitas terhadap masyarakat pribumi yang meliputi segala aspek, baik
secara fisik maupun mental. Kondisi sosial kultural juga tidak luput dari
hegemoni barat.
Dalam kajian postkolonial, barat melakukan hegemoni terhadap Negara
bekas jajahan dengan mengkonstruk cara pandang bahwa masyarakat barat merupakan
sosok makhluk sempurna, sehingga tolak ukur kebenaran berdasarkan praktek keBaratan.
Maka dapat disimpulkan bahwa setelah sebuah Negara telah bebas dari cengkaraman
penjajah, tidak berarti juga bebas dari hegemoni atau penjajahan secara konsep.
Dalam hal ini masyarakat timur digiring cara pandang agar berkiblat ke barat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed,
Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
Bambang
Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
1996
Bnd.
Dg. James Miller dalam buku The Passion of Michael Foucault (New York: Simon
& Schuster, 1993) hal. 13 yang dikutip oleh Stanley J. Grenz dalam bukunya
A Primer on Postmodernism hal. 199 yang mengatakan bahwa datangnya era
postmodern dimulai dengan wafatnya
Michael
Dennis Walder:2005, A Handbook to Literary Reasearch.
Prancis, The Open Universty. Hal 157
Endraswara,
Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Caps, 2011.hal :167-169
Fayyadl.worldpress.com/2009/06/08/”politik-sastra”-signifikansi-dan-batas-batasnya/diunduh
pada jam 12.52 pada tgl 10 November 2013
Fananie,
Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Grenz,
J. Stanley . 2001. a primer on postmodernism (Andi, Jogjakarta, halaman 26-27)
http://www.amazon.com/Post-Modernism-Social-Sciences-Pauline Rosenau/dp/0691023476. Diunggah
pada Rabu, 28 september 2013
Joas
Adiprasetya., Mencari dasar bersama: etik global dalam kajian postmodernisme
dan pliuralisme agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
McGrath,
Alister. A Passion for
Truth: The Intellectual Coherence of Evangelical. Downers Grove:
InterVarsity, 1996.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Uny pers.
Nyoman Kutha Ratna: 2004 Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 206
Peter
Barry:1995, Begening Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya.
Yogyakarta, Percetakan Jalasutra. Hal 223
Solomon,
Robert C. Continental Philosophy since 1750 : The Rise and Fall of Self (Oxford: Oxford University Press, 1988), hlm.
196.
[2] Joas
Adiprasetya., Mencari dasar bersama: etik global dalam kajian postmodernisme
dan pliuralisme agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
[3] Zainuddin. Fananie, Telaah
Sastra (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 151.
[4] Nyoman, Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), h. 223
[6] Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 252
[8] Grenz, J. Stanley . 2001. a primer on postmodernism (Andi, Jogjakarta, halaman 26-27)
[9] http://www.amazon.com/Post-Modernism-Social-Sciences-Pauline-Rosenau/dp/0691023476.
Diunggah pada Rabu, 28 september 2013
[10] Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan
Bagi Islam. Mizan: Bandung
[12] Peter Barry:1995,
Begening Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta,
Percetakan Jalasutra. Hal 223
[13] Nyoman Kutha Ratna:
2004 Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 206
[14] Nyoman kutha Ratna:
2004 Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 208
[15] Nyoman Kutha Ratna: 2004 Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal
212-213
[16] Fayyadl.worldpress.com/2009/06/08/”politik-sastra”-signifikansi-dan-batas-batasnya/diunduh
pada jam 12.52 pada tgl 10 November 2013
[17] Nyoman Kutha Ratna:
2004 Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Hal 211-212
Tidak ada komentar:
Posting Komentar