KRITERIA KEBENARAN
A. Pendahuluan
Kebenaran merupakan sesuatu yang
krusial dalam kehidupan ini. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran
seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan menghalalkan
tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang
benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan
pendidikan, dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak
meyakini sebuah kebenaran. Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan
Jujun S. Suriasumantri, yang menggambarkan seorang peserta didik yang
mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan
iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar
matematika. Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok
belajar karena seorang guru matematika di sekolahnya dianggap sebagai
pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada
hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan
seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut dengan keterbatasan pikirannya,
guru matematika yang mengajarnya tidak konsisten dengan apa yang
dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai pembohong. (Jujun, S. 2010:55)
Ilustrasi tersebut jika diuji materil
kebenaran dengan pengetahuan matematika semua yang disampaikan guru matematika
tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta didik menganggap itu
salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak negatif maupun positif
dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang
menjadi kriteria kebenarannya? Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika
tidak ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori,
keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan
bersifat netral atau tidak netral, bahkan apakah kebenaran bersifat tentatif
atau sepanjang masa?
Untuk mencapai sebuah kebenaran ada
beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa,
kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum kebenaran.
Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat dilihat dengan
menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat,
ataupun filsafat Islam.
Problematik mengenai kebenaran,
seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang
mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Apabila orang
memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya
bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenaran dan kepastian,
maka mau tidak mau orang harus berani menghadapi pertanyaan tersebut, sebagai
hal yang mendasari sikap dan wawasannya. (Surajiyo, 2007:101-102)
Oleh karena itu pemakalah akan
membahas sekitar kriteria kebenaran ditinjau dalam pendekatan filsafat sebagai
salah satu bagian dari dasar-dasar pengetahuan. Apakah itu kebenaran, bagaimana
proses pengetahuan dianggap benar. serta bagaimana mendapatkan kebenaran dengan
berbagai macam pendekatan ilmiah. Paling tidak sebagai pijakan kriteria
kebenaran yang mana yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
B. Definisi
Kebenaran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta
ditemukan arti kebenaran, yakni 1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar
cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalkan : kebenaran berita
ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2.
Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan
sebagainya). Misalnya : kebenara-kebenaran yang diajarkan oleh agama. (Surajiyo,
2007:101-102)
Menurut A.M.W. Pranaka (1987) yang
dikutip oleh Surajiyo (2007:102) dalam bukunya Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia, mengelompokkan
kebenaran dalam tiga makna, yaitu 1. kebenaran epistemologikal(kebenaran
pengetahuan) adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan
manusia. 2. Kebenaran ontologikal (keberadaan manusia) artinya adalah kebenaran
sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun
diadakan. Adapun hubungannya dengan epistemologikal adalah kebenaran sebagai
sifat dasar yang keberadaannya ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri. 3.
Kebenaran semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam
tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal juga dipaparkan oleh Irmayanti
meliono (2009:67) bahwa secara logis, orang tidak dapat memahami sesuatu,
terutama persoalan ilmiah, tanpa memiliki unsur “mengerti”. “mengerti” harus
sejalan dengan bahasa, karena “mengerti” diaktualisasikan dengan cara
berinteraksi dengan orang lain.
C. Teori
Kebenaran
Jujun S. Suriasumantri membagi teori kebenaran menjadi tiga, yakni 1.
Teori korespondensi, 2. Teori koherensi, dan 3. Teori pragmatik.
Teori korenpondensi adalah teori
kebenaran yang mengkhususkan pada adanya kepastian yang sesuai dengan objeknya.
Di dalam teori ini, peran subyek sangatlah penting. Subyek atau si pengamat
akan berhadapan dengan objek, sesuatu yang diamatinya, dan dengan persentuhan
inderawi maka apa yang dilihatnya memiliki persesuaian dengan objek tersebut.
Singkatnya teori korenspondensi, yakni pengujian kebenaran atas dasar
fakta/realitas yang objektif. Sebagai contoh : Bila kita mengganggap bahwa
semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka
penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati
adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan
pertama.
Teori koherensi adalah teori
kebenaran yang memberlakukan adanya persepsi-persepsi subyek yang konsisten
menerima kebenaran yang telah teruji. Di dalam teori koherensi akan muncul
pertimbangan yang benar apabila pertimbangan itu bersifat konsisten, tidak
goyah dalam menerima pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Singkatnya teori koherensi, yakni mempertimbangkan kebenaran yang koheren (ada
persesuaian) menurut kaidah logika dan dengan pertimbangan-pertimbangan lain
yang relevan. Misalnya : pengetahuan ‘air akan menguap jika dipanasi sampai
dengan 100 derajat’. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian
dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap? Jika
terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika
terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
Teori kebenaran pragmatik adalah
teori kebenaran berdasarkan kegunaan atau manfaat dari sesuatu yang
ditelitinya. Teori kebenaran pragmatik bersumber pada pragmatisme, suatu aliran
yang mendasarkan pada manfaat (utility) dari suatu usaha atau sesuatu yang
dikerjakan (workability) dan hasilnya sangat memmuaskan. Singkatnya teori
pragmatis, yakni suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis atau fungsional
dalam kehidupan manusia. Misalnya :
seorang mahasiswa sedang menulis skripsi. Saat disidang/diuji, ia harus
menyampaikan kebenaran pragmatis tentang penulisan skripsinya. Ia akan teruji
secara ilmiah apabila salah satu kebenarannya (misalnya hubungan analisis
masalah dengan data) ditampilkan dengan gamblang.
D. Sifat
kebenaran
Surajiyo di dalam bukunya Filsafat ilmu dan perkembangannya di
Indonesia, membedakan kebenaran menjadi tiga hal, yakni 1. Kebenaran
berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya setiap pengetahuan yang dimiliki
oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan
yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
a. Pengetahuan
biasa. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subyektif,
artinya amat terikat pada subyek yang mengenal, memiliki sifat yang selalu
benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetauan bersifat normal.
b. Pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan
menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologis yang
telah mendapatkan kesepakatan diantara ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung
dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari
jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh
hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam
pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembeharuan sesuai dengan hasil penelitian
yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para ilmuwan sejenis.
c. Pengetahuan
filsafat. Jenis penegtahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran
filsafati, yang sifatnya menyeluruh dan mendasar dengan model pemikiran yang
analitis, kritis dan spekulatif. Sifat
yang terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif.
Maksudnya nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu
merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat dari seorang
pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi
pemikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain,
artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya
akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali.
d. Kebenaran
pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama memiliki
sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh
keyakinan sehingga pernyataan dalam ayat kitab suci agama memiliki nilai
kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Implikasi
makna dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu, tetapi kandungan dari ayat kitab suci itu tidak dapat
diubah atau sifatnya absolut.
2. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau
karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun
pengetahuannya. Apakah ia membangunnya dengan pengindraan atau sense experience, atau dengan akal pikir
(rasio), intuisi, atau keyakinan.
Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat
tertentu akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh
pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, artinya jika
seseorang membangunnya melalui indra atau sense
experience, pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus melalui
indra pula, begitu juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat
membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh intuitif, dibuktikannya dengan cara lain cara indrawi
misalnya.
3. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan
objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek?
Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran
yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang
dikandungnya amat tergantung pada subjek yang memiliki penegtahuan itu. Atau
jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang
alam atau ilmu-ilmu alam.
E. Cara
Penemuan Kebenaran
Cara untuk menemukan kebenaran
berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk menemukan kebenaran dapat dilihat cara
yang ilmiah dan nonilmiah. Cara-cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana
diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk., (1990) sebagai berikut :
1. Penemuan
secara kebetulan. Artinya penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Dalam sejarah
manusia, penemuan secara kebetulan itu banyak juga yang berguna walaupun
terjadinya tidak dengan cara yang ilmiah, tidak disengaja, dan tanpa rencana.
Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan
atau ilmu.
2. Penemuan
“coba dan ralat”. Penemuan dengan cara ini terjadi tanpa adanya kepastian akan
berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Memang ada aktifitas
mencari kebenaran, tetapi aktifitas itu mengandung unsur untung-untungan.
Penemuan dengan cara ini kerap kali memerlukan waktu yang lama, karena memang
tanpa rencana, tidak terarah daan tidak diketahui tujuannya. Cara coba dan
ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk
mengungkapkan kebenaran.
3. Penemuan
Melalui Otoritas atau Kewibawaan. Pendapat orang-orang yang mempunyai
kedudukan dan kekuasaan yang sering
diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada
pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti tidak ada gunanya, pendapat itu
tetap berguna, terutama dalam merangsang usaha penemuan baru bagi orang- orang
yang tidak meyakininya. Namun demikian
adakalanya pendapat itu ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan
demikian pendapat pemegang otoritas itu bukanlah pendapat yang berasal dari
penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai oleh
subjektivitas.
4. Pemikiran
secara spekulatif. Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan tetapi
perbedaannya dengan coba dan ralat terletak pada keilmiahan suatu masalah. Jika
seseorang menghadapi suatu masalah ilmiah maka seseorang itu mungkin akan
membuat sejumlah alternatif pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih satu
alternatif pemecahan, sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.
5. Penemuan
Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional. Telah banyak kebenaran yang
dicapai oleh manusia sebagai hasil upayanya menggunakan kemampuan berpikirnya.
Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha manganalisisnya berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang
tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat permualaan dalam memecahkan
masalah adalah dengan cara berpikir analitis dan cara berpikiri sintesis.
6. Penemuan
Kebenaran melalui penelitian ilmiah. Cara mencari kebenaran yang dipandang
ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran
hasrat yang ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Penyaluran sampai
pada taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap
akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak dapt dicari penjelasannya secara
ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum, yakni
pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan
koheren. Artinya, dituntut adanya sistem dalam metode maupun dalam hasilnya.
Jadi, susunannya logis. Ciri lainnya adalah universalitas. Setiap penelitian
ilmiah harus objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak mengalami
distorsi karena adanya pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah
dapat dijamin objetivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi.
Penelitian ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua peneliti yang relevan.
Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuan yang lain. Oleh
karena itu, penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan.
F. Kesimpulan
Dengan demikian,
apabila kita berbicara tentang kebenaran dalam ilmu pengetahuan di abad
kontemporer, kebenaran itu hendaknya diletakan pada tempat yang tepat.
Keragaman data dari berbagai fenomena budaya, sosial, politik, tekhnologi, dan
lainya akan menjadi penentu dalam pencarian teori kebenaran. Teori kebenaran
dalam berbagai bentuk apapun tetap ada dan bersifat relatif. Tidak ada
kemutlakan/absolutisme dalam kebenaran sejauh teori kebenaran itu terbuka untuk
dikritik, didekontruksi, atau dikontruksikan kembali demi tercapainya tujuan
ilmiah. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti yang
diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa
teori tentang partikel takkan berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu
lainnya yang agak kurang berhasil dalam menentukan hal-hal baru, seperti
embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun.
G. Daftar
Pustaka
1. Jujun
S, S. (2010). Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka sinar
harapan.
2. Surajiyo.
(2007). Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia suatu pengantar.
Jakarta:Bumi aksara.
3. Meliono,
I. (2009). Filsafat ilmu pengetahuan refleksi kritis terhadap realitas dan
objektivitas ilmu pengetahuan. Jakarta : Yayasan kota kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar