Kamis, 20 November 2014

kriteria kebenaran



KRITERIA KEBENARAN
A.  Pendahuluan

Kebenaran merupakan sesuatu yang krusial  dalam kehidupan ini. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau bahkan  negara akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar. Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan pendidikan, dan  pengajaran terhadap peserta  didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran. Sebagaimana  ilustrasi yang digambarkan  Jujun  S. Suriasumantri, yang menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau belajar  walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika.  Ketika ditelusuri  alasan anak tersebut  mogok belajar karena seorang guru matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan bahwa  3+ 4 = 7, pada hari berikutnya  5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika  yang mengajarnya tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai pembohong. (Jujun, S. 2010:55)
Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pengetahuan matematika semua yang disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang peserta didik menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak  negatif maupun positif  dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria kebenarannya? Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral, bahkan apakah kebenaran bersifat tentatif atau sepanjang masa?
Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa,  kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut  dapat dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat Islam.
Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Apabila orang memberikan prioritas kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya bahwa dengan pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenaran dan kepastian, maka mau tidak mau orang harus berani menghadapi pertanyaan tersebut, sebagai hal yang mendasari sikap dan wawasannya. (Surajiyo, 2007:101-102)
Oleh karena itu pemakalah akan membahas sekitar kriteria kebenaran ditinjau dalam pendekatan filsafat sebagai salah satu bagian dari dasar-dasar pengetahuan. Apakah itu kebenaran, bagaimana proses pengetahuan dianggap benar. serta bagaimana mendapatkan kebenaran dengan berbagai macam pendekatan ilmiah. Paling tidak sebagai pijakan kriteria kebenaran yang mana yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

B.  Definisi Kebenaran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni 1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalkan : kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya). Misalnya : kebenara-kebenaran yang diajarkan oleh agama. (Surajiyo, 2007:101-102)
Menurut A.M.W. Pranaka (1987) yang dikutip oleh Surajiyo (2007:102) dalam bukunya Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia, mengelompokkan kebenaran dalam tiga makna, yaitu 1. kebenaran epistemologikal(kebenaran pengetahuan) adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. 2. Kebenaran ontologikal (keberadaan manusia) artinya adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Adapun hubungannya dengan epistemologikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang keberadaannya ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri. 3. Kebenaran semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal juga dipaparkan oleh Irmayanti meliono (2009:67) bahwa secara logis, orang tidak dapat memahami sesuatu, terutama persoalan ilmiah, tanpa memiliki unsur “mengerti”. “mengerti” harus sejalan dengan bahasa, karena “mengerti” diaktualisasikan dengan cara berinteraksi dengan orang lain.

C.  Teori Kebenaran
Jujun S. Suriasumantri  membagi teori kebenaran menjadi tiga, yakni 1. Teori korespondensi, 2. Teori koherensi, dan 3. Teori pragmatik.
Teori korenpondensi adalah teori kebenaran yang mengkhususkan pada adanya kepastian yang sesuai dengan objeknya. Di dalam teori ini, peran subyek sangatlah penting. Subyek atau si pengamat akan berhadapan dengan objek, sesuatu yang diamatinya, dan dengan persentuhan inderawi maka apa yang dilihatnya memiliki persesuaian dengan objek tersebut. Singkatnya teori korenspondensi, yakni pengujian kebenaran atas dasar fakta/realitas yang objektif. Sebagai contoh : Bila kita mengganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama.
Teori koherensi adalah teori kebenaran yang memberlakukan adanya persepsi-persepsi subyek yang konsisten menerima kebenaran yang telah teruji. Di dalam teori koherensi akan muncul pertimbangan yang benar apabila pertimbangan itu bersifat konsisten, tidak goyah dalam menerima pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Singkatnya teori koherensi, yakni mempertimbangkan kebenaran yang koheren (ada persesuaian) menurut kaidah logika dan dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang relevan. Misalnya : pengetahuan ‘air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat’. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap? Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
Teori kebenaran pragmatik adalah teori kebenaran berdasarkan kegunaan atau manfaat dari sesuatu yang ditelitinya. Teori kebenaran pragmatik bersumber pada pragmatisme, suatu aliran yang mendasarkan pada manfaat (utility) dari suatu usaha atau sesuatu yang dikerjakan (workability) dan hasilnya sangat memmuaskan. Singkatnya teori pragmatis, yakni suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis atau fungsional dalam kehidupan manusia.  Misalnya : seorang mahasiswa sedang menulis skripsi. Saat disidang/diuji, ia harus menyampaikan kebenaran pragmatis tentang penulisan skripsinya. Ia akan teruji secara ilmiah apabila salah satu kebenarannya (misalnya hubungan analisis masalah dengan data) ditampilkan dengan gamblang.

D.  Sifat kebenaran
Surajiyo di dalam bukunya Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia, membedakan kebenaran menjadi tiga hal, yakni 1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
a.       Pengetahuan biasa. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subyektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal, memiliki sifat yang selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetauan bersifat normal.
b.      Pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologis yang telah mendapatkan kesepakatan diantara ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembeharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para ilmuwan sejenis.
c.       Pengetahuan filsafat. Jenis penegtahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya menyeluruh dan mendasar dengan model pemikiran yang analitis, kritis dan spekulatif.  Sifat yang terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat dari seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf  kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain, artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali.
d.      Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan sehingga pernyataan dalam ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Implikasi makna dari kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan waktu, tetapi kandungan dari ayat kitab suci itu tidak dapat diubah atau sifatnya absolut.
2.  Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Apakah ia membangunnya dengan pengindraan atau sense experience, atau dengan akal pikir (rasio), intuisi, atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indra atau sense experience, pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus melalui indra pula, begitu juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan kebenaran yang dibangun oleh intuitif,  dibuktikannya dengan cara lain cara indrawi misalnya.
3.  Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek? Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya amat tergantung pada subjek yang memiliki penegtahuan itu. Atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam.

E.  Cara Penemuan Kebenaran
Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang ilmiah dan nonilmiah. Cara-cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk., (1990) sebagai berikut :
1.    Penemuan secara kebetulan. Artinya penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Dalam sejarah manusia, penemuan secara kebetulan itu banyak juga yang berguna walaupun terjadinya tidak dengan cara yang ilmiah, tidak disengaja, dan tanpa rencana. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.
2.    Penemuan “coba dan ralat”. Penemuan dengan cara ini terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Memang ada aktifitas mencari kebenaran, tetapi aktifitas itu mengandung unsur untung-untungan. Penemuan dengan cara ini kerap kali memerlukan waktu yang lama, karena memang tanpa rencana, tidak terarah daan tidak diketahui tujuannya. Cara coba dan ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran.
3.    Penemuan Melalui Otoritas atau Kewibawaan. Pendapat orang-orang yang mempunyai kedudukan  dan kekuasaan yang sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti tidak ada gunanya, pendapat itu tetap berguna, terutama dalam merangsang usaha penemuan baru bagi orang- orang yang tidak meyakininya.  Namun demikian adakalanya pendapat itu ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian pendapat pemegang otoritas itu bukanlah pendapat yang berasal dari penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai oleh subjektivitas.
4.    Pemikiran secara spekulatif. Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan tetapi perbedaannya dengan coba dan ralat terletak pada keilmiahan suatu masalah. Jika seseorang menghadapi suatu masalah ilmiah maka seseorang itu mungkin akan membuat sejumlah alternatif pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih satu alternatif pemecahan, sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.
5.    Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional. Telah banyak kebenaran yang dicapai oleh manusia sebagai hasil upayanya menggunakan kemampuan berpikirnya. Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha manganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat permualaan dalam memecahkan masalah adalah dengan cara berpikir analitis dan cara berpikiri sintesis.
6.    Penemuan Kebenaran melalui penelitian ilmiah. Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat yang ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Penyaluran sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak dapt dicari penjelasannya secara ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum, yakni pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan koheren. Artinya, dituntut adanya sistem dalam metode maupun dalam hasilnya. Jadi, susunannya logis. Ciri lainnya adalah universalitas. Setiap penelitian ilmiah harus objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak mengalami distorsi karena adanya pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dijamin objetivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi. Penelitian ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua peneliti yang relevan. Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuan yang lain. Oleh karena itu, penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan.

F.   Kesimpulan
Dengan demikian, apabila kita berbicara tentang kebenaran dalam ilmu pengetahuan di abad kontemporer, kebenaran itu hendaknya diletakan pada tempat yang tepat. Keragaman data dari berbagai fenomena budaya, sosial, politik, tekhnologi, dan lainya akan menjadi penentu dalam pencarian teori kebenaran. Teori kebenaran dalam berbagai bentuk apapun tetap ada dan bersifat relatif. Tidak ada kemutlakan/absolutisme dalam kebenaran sejauh teori kebenaran itu terbuka untuk dikritik, didekontruksi, atau dikontruksikan kembali demi tercapainya tujuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti yang diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel takkan berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya yang agak kurang berhasil dalam menentukan hal-hal baru, seperti embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun.

G.  Daftar Pustaka
1.      Jujun S, S. (2010). Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka sinar harapan.
2.      Surajiyo. (2007). Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia suatu pengantar. Jakarta:Bumi aksara.
3.      Meliono, I. (2009). Filsafat ilmu pengetahuan refleksi kritis terhadap realitas dan objektivitas ilmu pengetahuan. Jakarta : Yayasan kota kita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar