FILSAFAT
ILMU
(Pengetahuan)
Makalah
Ini Disusun Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen
Pengampu:
Dr.
Endang Koenmarjati, M.Pd
Oleh:
Tanti
Sri Kuswiyanti (No Reg. 7316130289 )
Niklatul Hikmah(No Reg. 7316130275)
PENDIDIKAN
BAHASA
PROGRAM
PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
2013
A.
Pendahuluan
Sejak manusia mulai mempelajari kehidupannya maka mulailah
manusia mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaannya adalah struktur yang
dibangunkan manusia sebagai hasil dari kegiatan belajar. Salah satu hasil utama
dari upaya manusia dalam mempelajari kehidupannya adalah pengetahuan.
Pengetahuan di sini diartikan secara sangat luas, yakni sebagai istilah yang
bersifat generik, yang mencakup segenap apa yang kita tahu, sebagai hasil dari kegiatan
belajar.
Di dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai apa
yang dimaksud dengan pengetahuan itu, landasan-landasan dalam pengetahuan,
sumber-sumber dalam memperoleh pengetahuan dan sifat atau ciri-ciri dari
pengetahuan ilmiah.
B. Masalah yang dibahas
Masalah yang dibahas dalam makalah ini
antara lain:
1.
Apa yang dimaksud
dengan pengetahuan?
2.
Apa landasan dalam
pengetahuan?
3.
Apa sumber-sumber dalam
memperoleh pengetahuan?
4.
Apa sifat-sifat atau
ciri-ciri dari pengetahuan ilmiah?
C. Pembahasan
a. Definisi Pengetahuan
Secara bahasa (etimologi), pengetahuan berasal dari bahasa
inggris yaitu knowledge. Kata knowledge berasal
dari kata kerja “know”. Prinsip penggunaan kata “know” antara lain:
1. Kadang-kadang
ketika kita berbicara tentang “knowing”, kita mengacu pada pengenalan terhadap
sesuatu, contohnya: Do you know Richard Smith? Yang berarti “Apakah kamu
mengenal Richard Smith?”. Mungkin kita mengenal Richard Smith tetapi kita tidak
tahu banyak tentangnya.
2. Kadang-kadang
kita berbicara tentang “knowing how” (mengetahui bagaimana) yang berarti
kemampuan atau kebisaan, contohnya: “Do you know how to ride a horse?” (Apakah
kamu tahu bagaimana caranya mengendarai kuda? Sama artinya dengan Apakah kamu
bisa mengendarai kuda?).
3. Tetapi
kata “know” paling sering digunakan untuk hal ide, contohnya: “ I know that...”
(Saya mengetahui bahwa...). Kata “that” diikuti dengan hal ide “I know that I
am now needing a book.”(Saya tahu saya memerlukan buku sekarang). Jika kita
menggunakan huruf “p” sebagai ide apapun, maka persyaratan dari mengetahui
adalah:
a. p
harus benar.
b. Tidak
hanya p harus benar: kita harus
meyakini bahwa p itu benar.
c. Pengetahuan sebagai sesuatu yang benar-benar
diyakini saja tidak cukup, tetapi kita harus memiliki bukti atau alasan untuk
mempercayai p. Seberapa banyak
buktikah? Bukti yang cukup adalah bukti yang lengkap. Bukti yang lengkap adalah
semua bukti yang bisa didapat seperti dari hasil pekerjaan atau penellitian dan
segalanya.[1]
Dari
penjelasan kata “know” yang merupakan dasar kata knowledge yang berarti
pengetahuan, kita dapat memahami bahwa pengetahuan adalah segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek tertentu. Pengetahuan ini setelah kita yakini dan
dapat kita berikan bukti-bukti atau alasan-alasan untuk meyakininya maka akan
menjadi ilmu. Jadi, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh
manusia.
Berkembangnya
pengetahuan menjadikan ilmu menjadi sedemikian khusus sehingga sebuah disiplin
keilmuan kadang-kadang terpecah menjadi beberapa pendekatan yang merupakan
subdisiplin tersendiri. Dalam pemikiran manusia terdapat berbagai jenis
pengetahuan yang berbeda-beda sekali
hakikatnya, seperti: ilmu, seni dan agama. Masing-masing pengetahuan tersebut
mempunyai hakikat yang berbeda. Seni adalah produk dari daya inspirasi dan daya
cipta manusia yang bebas dari cengkraman dan belenggu berbagai ikatan dengan
mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya, sedangkan ilmu
mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman dan
mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris.[2]Ketidakmampuan
kita dalam membedakan pengetahuan satu dengan yang lainnya menyebabkan kita
tidak dapat meletakkan tiap pengetahuan tersebut pada tempat yang sebenarnya
dan juga mengacaukan satu pengetahuan dengan yang lainnya. Hal ini sangat
berbahaya sebab akan menimbulkan kekacauan dalam persepsi yang nantinya akan
menjerumuskan kita pada tindakan anarki.[3]Oleh
karena itu kita harus dapat memahami pengetahuan dengan sebaik-baiknya agar
kita tidak tersesat.
b. Landasan Pengetahuan
Setiap jenis pengetahuan mempunyai
ciri-ciri yang spesifik mengenai:
1. Apa
yang ingin diketahui (ontologi)
2. Bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan itu (epistimologi)
3. Apa
kegunaan dari ilmu itu (aksiologi)
Landasan-landasan
dalam pengetahuan ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Ontologi ilmu
terkait dengan epistimologi ilmu dan epistimologi ilmu terkait dengan
aksiologilmu dan seterusnya. Jadi, ketika kita ingin membicarakan ontologi
ilmu, maka hal itu harus dikaitkan juga dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Pengetahuan
dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang
sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai
kemudahan kepadanya. Pengetahuan sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Sejak
dulu kala nenek moyang kita sudah berusaha untuk menjelaskan gejala alam yang
terjadi di bumi ini namun penjelasan
itu hanya sebatas tingkat pengetahuan,
nalar dan daya pikir yang mereka mampu. Karena keterbatasan inilah banyak muncul
mitos-mitos. Keberadaan mitos-mitos ini menunjukkan bahwa nenek moyang kita bukan
saja mengerti mengapa sesuatu itu terjadi tetapi juga mereka tahu apa yang
harus dilakukan agar hal itu tidak terjadi lagi.
Tahap
selanjutnya manusia mulai mencoba meninggalkan mitos-mitos dan mulai
mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis seperti membuat
tanggul dan bercocok tanam. Lalu berkembanglah pengetahuan yang berasal dari
pengalaman berdasarkan akal sehat yang didukung oleh metode coba-coba (trial
error). Dari perkembangan pengetahuan ini lahirlah pengetahuan yang disebut
“seni terapan” yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Negara yang terkenal dengan perkembangan seni ini adalah Cina dan India.
Seni
terapan yang mempunyai kegunaan langsung ini memiliki dua ciri. Ciri yang
pertama adalah bersifat deskriptif dan fenomenologis. Sifat ini mencerminkan
proses pengkajian yang menitikberatkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang
bersifat empiris. Jadi seni terapan ini tidak mengenal konsep karena langsung
menuju pada gejala-gejala yang terjadi. Ciri yang kedua adalah bersifat
terbatas dalam ruang lingkupnya. Sifat terbatas ini menyebabkan seni terapan
tidak dapat menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum, sebab tujuan
analisisnya bersifat praktis. Setelah secara empiris diketahui maka pengetahuan
pun lalu berhenti di situ.
Perkembangan
selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan
dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Dampak dari munculnya rasionalisme ini
maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori dan mashab filsafat.
Kelemahan dalam berpikir rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya
empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu didapat dari kenyataan
pengalaman. Untuk mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang
masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya kemudian
lahirlah metode eksperimen yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada
abad keemasan islam yakni antara abad IX dan XII Masehi. Metode eksperimen
merupakan jembatan antara penjelasan teoretis yang hidup di alam rasional
dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode eksprimen diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon dan kemudian dimantapkan sebagai
paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon. Francis Bacon berhasil memperkenalkan metode
eksperimen kepada para ilmuwan dan membuat para ilmuwan menerima metode ini
sebagai kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, secara konseptual metode ekperimen
dikembangkan oleh sarjana Muslim dan secara sosiologis dikenalkan kepada masyarakat
oleh Francis Bacon. Metode eksperimen mempunyai pengaruh yang penting terhadap
cara berpikir manusia sebab dengan metode eksperimen berbagai penjelasan
teoretis dapat diuji apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah tidak.
Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berpikir
deduktif dengan induktif. Cara berpikir deduktif dan induktif dimulai pertama
kali dalam penyelidikan ilmiah yang dilakukan oleh Galileo dan Newton. Dengan
berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma
keilmuan oleh masyarakat, maka perkembangan pengetahuan berlangsung sangat
cepat.
c.
Sumber-sumber
dalam Memperoleh Pengetahuan
Ilmu, disebabkan
kaedahnya yang memungkinkan disusunnya tumbuh pengetahuan ilmiah secara
sistematik dan dapat diandalkan, berkembang relatif cepat apabila dibandingkan
dengan pengetahuan lain. Teknologi sebagai pencerminan penerapan ilmu dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai dampak yang menentukan dalam membentuk
peradaban manusia terutama dengan berkembangnya struktur masyarakat yang
didasarkan kepada pengkhususan pekerjaan. Ilmu dan teknologi mempunyai peranan
yang penting dalam menentukan kriteria pekerjaan. Dunia pengetahuan akhir-akhir
ini seakan berpusat pada dua kubu yakni ilmu dan kemanusiaan (humanities) di
mana pendidikan lebih mementingkan ilmu daripada kemanusiaan dalam
mempersiapkan manusia yang mempunyai keahlian tertentu. Proses pendidikan
inilah yang menceraikan pengetahuan menjadi bagian-bagian yang terpisah anatara
satu sama lain.
Di
bawah ini ada beberapa sumber dalam memperoleh pengetahuan, yaitu:
a.
Pengalaman Indera (Sense Experience)
Penginderaan adalah alat yang paling vital dalam memperoleh
pengetahuan, karena pengetahuan berawal mula dari kenyataan yang dapat
diinderai. Paham seperti ini dapat juga disebut dengan realisme, yaitu paham
yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui adalah kenyataan saja.
b.
Nalar (Reason)
Penalaran (reason) yaitu berpikir dengan memggabungkan
beberapa pemikiran yang dianggap dapat diterima (rasional) untuk memperoleh
pengetahuan.
c.
Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh
seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber
pengetahuan karena dengan hak otoritas seseorang, kelompok memiliki
pengetahuan, dan pengetahuan yang diperoleh melalui otoritas ini biasanya tidak
diujikan lagi kebenarannya, karena kewibawaan sang penguasa.
d.
Instuisi (Instuition)
Instuisi adalah suatu kemampuan manusia melalui proses
kejiwaan yang mampu membuat suatu pernyataan yang dapat diakui sebagai
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dari instuisi ini tidak dapat
dibuktikan melalui kenyataan, namun diyakini kuat sebagai pengetahuan.
e.
Wahyu (Revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan Tuhan kepada utusannya
untuk kepentingan umat. Yang kemudian dijadikan sebagai suatu kepercayaan
karena di dalamnya terdapat pengetahuan.
Bagi kelompok Pragmatis, seperti yang dinyatakan oleh John
Dewey tidak membedakan antara pengetahuan (knowledge) dengan kebenaran (truth),
jadi pengetahuan itu harus benar, dan setiap kebenaran adalah pengetahuan. Jika
diambil kesimpulan, pengetahuan itu bersifat umum, sehingga kajiannya pun
sangat luas. Namun Burhanuddin Salam (2005: 5) mengklasifikasikan pengetahuan
itu ke dalam 4 kelompok bahasan[4],
yaitu:
1.
Pengetahuan Biasa atau Umum (Common Sense atau Good Sense)
Yaitu pengetahuan dasar yang
dinilai sesuai dengan apa yang dirasakan, diketahui, dilihat (sesuai dengan
fakta yang ada) yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan
sehari-hari. Contoh: sesuatu dinilai atau dikatakan merah, karena memang
keadaan warna yang sebenarnya adalah berwarna merah.
2.
Pengetahuan Ilmu (Science)
Dapat diartikan secara sempit
untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan objektif,
yang berprinsip untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense
dengan cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
3.
Pengetahuan Filsafat
Yaitu pengetahuan yang membahas suatu hal dengan lebih
mendasar, luas dan mendalam.
4.
Pengetahuan Agama
Yaitu pengetahuan tentang ajaran ketuhanan, lewat
untusan-Nya.
d.
Sifat-sifat dalam Pengetahuan
Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat keilmuan, dan dapat disebut sebagai
pengetahuan ilmiah. Sehingga ada syarat-syarat tertentu bagi suatu ilmu dan
pengetahuan untuk bisa dikatakan pengetahuan ilmiah. Adapun syarat-syaratnya
antara lain adalah sebagai berikut (Surajiyo, 2005: 62-63)[5]:
a)
Harus memiliki objek tertentu (formal dan material)
b)
Harus mempunyai sistem (harus runtut atau berkaitan)
c)
Harus memiliki metode (deduksi, induksi atau analisia)
Menurut Surajiyo
(2005: 62-63), menjelaskan suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah memiliki sifat
atau ciri sebagai berikut:
a)
Empiris
Pengetahuan itu diperoleh
berdasarkan pengamatan dan percobaan.
b)
Sistematis
Berbagai keterangan dan data
yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan
ketergantungan (berkaitan) dan teratur.
c)
Objektif
Ilmu yang berarti pengetahuan
bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi (harus sesuai keadaan
objek)
d)
Analitis
Pengetahuan ilmiah berusaha
membedakan pokok persoalannya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami
berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian tersebut.
Dapat diperiksa kebenarannya
oleh siapapun juga.
D. Kesimpulan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu. Sedangkan pengetahuan ilmiah
adalah pengetahuan yang berasal dari common sense yang kemudian di tindak
lanjuti secara ranah yang lebih ilmiah, sehingga pengetahuan ilmiah merupakan a
higher level of knowledge dalam dunia keilmuan. Maka dari itu filsafat ilmu
tidak dapat dipisahkan dari filsafat pengetahuan.
Telah kita ketahui bersama
bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat
berwujud barang-barang fisik. Namun pemahamannya dilakukan dengan cara
persepsi, baik lewat indra maupun akal, sebab pengetahuan adalah kepandaian
dari segala sesuatu yang diketahui
E. Referensi
Baktiar, Amsal.
2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi). PT.
Raja Grafindo Persada: Jakarta
Gazalba, Sidi.
1992. Sistematika Filsafat, Cet. 1: Jakarta
Klemke,
E.D., Kline, A.D., dan Hollinger, R. 1982. Philosophy:
The Basic Issues. New York: St. Martin’s Press.
Suriasumantri,
J.S. 1990. Ilmu dalam Perspektif, Moral,
dan Politik. Selangor: Percetkan dewan Bahasa dan Pustaka.
Suriasumantri,
Jujun S, 1986, Ilmu Dalam Perspektif
Moral, Sosial dan Politik, Gramedia: Jakarta
Suriasumantri, Jujun S., 2007, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan:
Jakarta
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat; Suatu Pengantar. Bumi
Aksara: Jakarta
Salam,
Burhanudin. 2005. Pengantar Filsafat. Bumi
Aksara: Jakarta
[1] E.D Klemke, A. David Kline. Robert Hollinger. 1982. Philosophy: The
Basic Issues. New Yprk: St. Martin’s Press. Hlm.21-26
[2]Jujun S. Suriasumantri. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta; Pustaka Sinar Harapan. Hlm.105-106
[3]Jujun S. Suriasumantri. 1990. Ilmu dan Perspektif, Moral, Soaial, dan
Politik. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Hlm. 49
[5] Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat; Suatu Pengantar. Bumi Aksara: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar