HERMENEUTIK DAN SEMIOTIK
Makalah
Ini Disusun Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran
Sastra
Dosen
Pengampu:
Prof.
Dr. Emzir, M.Pd
Oleh:
Dian
Rusdiana
Paras Sekar Liana
PENDIDIKAN
BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA
(S2)
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
2013
HERMENEUTIK DAN SEMIOTIK
A.
PENDAHULUAN
Hermeneutika adalah kata yang sering
didengar dalam bidang teologi, filsafat bahkan sastra. Sesungguhnya istilah
hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun
penelitian sastra dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering
kali muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas
dalam “Hermeneutika baru” teologis kontemporer.
Semiotik Karya
sastra merupakan sebuah refleksi akan pemikiran, perasaan dan keinginan
pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri bukan bahasa yang sembarangan
melainkan bahasa yang khas, yakni bahasa yang memuat tanda-tanda atau Semiotik.
Bahasa itu akan membentuk system keadaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang
mempelajari masalah ini adalah Semiologi. Semiologi juga sering dinamakan
Semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang di maksud dengan hermaneutik dan Semiotik?
2. Apa
saja ruang lingkup teori hermeneutik dan semiotik?
3. Siapa
saja tokoh dalam kedua teori ini?
4. Bagaimana
untuk memahami kedua analisis ini?
C.
PEMBAHASAN
HERMENEUTIK
Akar
kata hermeneutika berasal dari istilah yunani dari kata kerja hermeneuein, yang
berarti “ menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, yang berarti “interpretasi”.
Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuk dasar makna dalam pemakaian aslinya,
membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam teologi dan sastra, dan
dalam konteks sekarang ia menjadi keywords
untuk memahami hermeneutika modern.
Hermeneuin
dan hermeneia dalam berbagai bentuknya, terdapat dalam beberapa teks yang terus
bertahan semenjak awalnya. Aristoteles menemukan kelayakan subyek ini pada
risalah besarnya dalam organom, peri hermeneias terkenal, yang diterjemahkan
dengan “ On Interpretation”. Tentu saja, bentuk yang beragam dari istilah itu ditemukan
pula dalam karya beberapa penulis awal terkenal, misalnya Xenophon, Plutarch,
Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.
Kata
yunani hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda
hermeneia diasosiasikan dengan Dewa Hermes. Tepatnya, Hermes diasosiasikan
dengan fungsi transmisi apa yang di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk
yang dapat ditangkap intelegensi manusia. Bentuk kata yang beragam itu
mengasumsi adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari sebelumnya tak
dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Dengan menelusuri akar kata
paling awal dalam yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan
“hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama
seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling
sempurna dalam proses.
Mediasi
dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini
terkandung di dalam semua tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia
dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari
hermeneuein, yaitu:
1. Mengungkapkan
kata-kata
2. Menjelaskan
situasi
3. Menerjemahkan.
Dalam studi sastra hermeneutik berarti
tafsir sastra. Menurut Ricoeur (2006: 58-58), tempat pertama yang didiami oleh
hermeneutika adalah bahasa dan lebih khusus lagi bahasa tulis.Kata Ricoeur (
Sumaryono, 1999: 106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di
balik struktur. Pemahaman tidak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra
sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, peneliti
harus menukik kearah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh.
Sebuah
teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan dekontekstualisasi, baik
dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis, serta untuk melakukan
rekontekstualisasi secara berbeda di dalam tindakan membaca. Otonomi teks ada
tiga macam, yaitu:
(1) intensi atau maksud pengarang,
(2) situasi kultural dan kondisi sosial
pengadaan teks,
(3) untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Pada
dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode, yaitu:
1. metode
dialektik antara masa lalu dan masa kini,
2.
metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan.
Kedua metode ini memaksa peneliti untuk
melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks
historis-kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik,
yaitu:
Pertama,
hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas
cultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau
masyarakat pada level ideology fundamental atau pandangan dunia, misalnya
dengan melihat sifat historis suatu kebenaran.
Kedua,
sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya
dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan
pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesisfik
antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia.
Ketiga,
hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi
antara masa lalu dengan masa kininya.
Hermeneutik
sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika
linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman
makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna
kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna
bahasa lebih bersifat cultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna
bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna melalui apa saja.
Dengan
cara demikian, paham hermeneutik sastra bukanlah sebuah paradigma penelitian
yang berusaha menjelaskan fenomena sastra, melainkan upaya memahami fenomena. Hermeneutik
berusaha memahami sebuah fenomena secara mendalam. Jika paham positivisme
cenderung menjelaskan fenomena atas dasar data, hermeneutik justru memahamkan
atau menafsirkan data tersebut.
Pemaknaan
karya satra, menurut Juhl (1980) memang perlu menukik ke arah maksud pengarang.
Maksud tersebut dapat diteliti melalui apa saja yang terungkap dalam karya.
Semakin jelas maksud yang dituju oleh pengarang, berarti karya tersebut semakin
berkualitas pula.
Definisi
hermeneutika masih terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi
hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika
telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of
interpretation). Akan tetapi, secara luas hermeneutika juga sering
didefinisikan sebagai berikut:
1. teori
penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis)
2. hermeneutika
sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology)
3. hermeneutika
sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding)
4. hermeneutika
sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation
of Geisteswissenschaften)
5. hermeneutika
sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of
existence dan of existential understanding)
6. hermeneutika
sebagai sistem penafsiran (system of interpretation)
Hermeneutika
sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara
personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun
simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting di dalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda namun dapat dipertanggungjawabkan dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting di dalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda namun dapat dipertanggungjawabkan dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling
banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip
penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran
yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada
era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam
penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran,
melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan
aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah
sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam
refleksi-refleksi non teologis.
Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas
pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk
dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang
tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh
Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada
legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika
untuk mengerti mitologi-mitologi. Dengan demikian, seperti sudah disinggung
sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci
seringkali ditujukan pada teks-teks yang memiliki makna tersembunyi yang sulit
dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna
tersebut.
Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil,
adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan umum di dalam
metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem” penafsiran, di mana
penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama.
“Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang
berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan
bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu
teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu.
Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung
optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral yang juga
bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode
sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.
Berikut contoh hermeneutika puisi di ambil
dari esai Rio Pamungkas:
Hermeneutika
Puisi "Biji" karya Abdul Wachid B.S.
biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman
ketika kau aku saling pandang lamalama
setelah pencarian bertahuntahun lewati lembah dan gurun
akhirnya kau aku kejatuhan lagi biji cinta itu
bertemu di sini, di sebuah taman lain
biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
disuburkan oleh musim hujan dan
nafas kau aku yang gemuruh
ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan
ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
ketika malam purnama ia memberi ruang bercinta
kau aku lupa siapa pemilik taman ini?
#######
Dalam puisi ini ditemukan tarik-ulur waktu dalam puisi ini, seperti kisah Adam Hawa lupa diri karena cinta lantas diturunkan ke bumi untuk bersusah payah karena cinta pula.
Sementara itu, dalam puisi ini mengilustrasikan cinta tersebut dari akibat menuju sebab, mengajak pembaca untuk berpikir dan mencicipi dari sudut terbalik sebuah teguran cinta, yang sesungguhnya terguran itu juga bagian ujian cinta itu sendiri.
Dari biji menjadi sebatang pohon, dari sebatang pohon memberi ruang untuk bercinta, dari pohon itu pastilah kelak kembali biji, tetapi kenapa harus biji terlebih dahulu?
Biji di sini terlihat bukanlah buah khuldi yang biasanya menjadi objek bahasan dalam kisah Adam Hawa meski di puisi ini tidak disebutkan nama Adam Hawa, tetapi ceritanya mempunyai alur yang akan membawa siapa saja berpikir demikian.
Pada bagian akhir puisi disebut "kau aku lupa siapa pemilik taman ini?". Lebih mirip ketika seseorang mengingatkan saya ketika harus bertatakrama berada di rumah orang, dan sepertinya baris ini mengajak kita untuk sadar diri dan tau sikap sebagai seorang "tamu". Jika diasumsikan taman adalah dunia, maka tamu itu adalah kita sebagai manusia. Dan, kata "lupa" bisa jadi peringatan untuk bersyukur, yang ketika manusia bersyukur, maka ia adalah orang yang tahu diri.
Dan, yang paling menarik di sini sebenarnya kata "Biji". Kenapa "Biji" yang menjadi judul, sedangkan judul biasanya esensi yang membuka makna isi puisi. Biji dalam puisi di sini ternyata tak sekadar biji, dan bukan buah khuldi. Biji di sini ketika dihubungkan dengan cinta, bisa jadi itu adalah sebuah benih cinta. Sesuatu yang awalnya kecil dan belum memiliki makna berarti, tetapi sepasang kekasih menyuburkannya, "/disuburkan oleh musim hujan/ dan nafas kau aku yang gemuruh//" sehingga biji yang seperti titik jika dipandang dari jauh, menjadi sebuah perjalanan awal menjadi pohon yang memberi sejuk kepada sepasang kekasih itu.
biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman
ketika kau aku saling pandang lamalama
setelah pencarian bertahuntahun lewati lembah dan gurun
akhirnya kau aku kejatuhan lagi biji cinta itu
bertemu di sini, di sebuah taman lain
biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
disuburkan oleh musim hujan dan
nafas kau aku yang gemuruh
ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan
ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
ketika malam purnama ia memberi ruang bercinta
kau aku lupa siapa pemilik taman ini?
#######
Dalam puisi ini ditemukan tarik-ulur waktu dalam puisi ini, seperti kisah Adam Hawa lupa diri karena cinta lantas diturunkan ke bumi untuk bersusah payah karena cinta pula.
Sementara itu, dalam puisi ini mengilustrasikan cinta tersebut dari akibat menuju sebab, mengajak pembaca untuk berpikir dan mencicipi dari sudut terbalik sebuah teguran cinta, yang sesungguhnya terguran itu juga bagian ujian cinta itu sendiri.
Dari biji menjadi sebatang pohon, dari sebatang pohon memberi ruang untuk bercinta, dari pohon itu pastilah kelak kembali biji, tetapi kenapa harus biji terlebih dahulu?
Biji di sini terlihat bukanlah buah khuldi yang biasanya menjadi objek bahasan dalam kisah Adam Hawa meski di puisi ini tidak disebutkan nama Adam Hawa, tetapi ceritanya mempunyai alur yang akan membawa siapa saja berpikir demikian.
Pada bagian akhir puisi disebut "kau aku lupa siapa pemilik taman ini?". Lebih mirip ketika seseorang mengingatkan saya ketika harus bertatakrama berada di rumah orang, dan sepertinya baris ini mengajak kita untuk sadar diri dan tau sikap sebagai seorang "tamu". Jika diasumsikan taman adalah dunia, maka tamu itu adalah kita sebagai manusia. Dan, kata "lupa" bisa jadi peringatan untuk bersyukur, yang ketika manusia bersyukur, maka ia adalah orang yang tahu diri.
Dan, yang paling menarik di sini sebenarnya kata "Biji". Kenapa "Biji" yang menjadi judul, sedangkan judul biasanya esensi yang membuka makna isi puisi. Biji dalam puisi di sini ternyata tak sekadar biji, dan bukan buah khuldi. Biji di sini ketika dihubungkan dengan cinta, bisa jadi itu adalah sebuah benih cinta. Sesuatu yang awalnya kecil dan belum memiliki makna berarti, tetapi sepasang kekasih menyuburkannya, "/disuburkan oleh musim hujan/ dan nafas kau aku yang gemuruh//" sehingga biji yang seperti titik jika dipandang dari jauh, menjadi sebuah perjalanan awal menjadi pohon yang memberi sejuk kepada sepasang kekasih itu.
SEMIOTIKA
The
word “semiotics” comes from the Greek root, seme, as in semeiotitikos, an
interpreter of signs. Semiotics as a discipline is simply the analysis of signs
or the study of the functioning of sign systems.[1]
Semiotika
berasal dari kata Yunani: semeion,
yang berarti tanda. [2]
Dalam
kajian sastra kemunculan teori dan pendekatan semiotik ini, muncul dari
ketidakpuasan terhadap pendekatan struktural yang hanya terbatas pada aspek
kajian intrinsik saja. Padahal sastra dipandang mempunyai sistem sendiri tidak
terlepas dari masalah penciptaan, ekspresi penulis, dan masalah penerimaan
karya sastra oleh pembaca.
Bahasa yang merupakan sistem tanda yang
kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat
pertama. Dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda
tingkat pertama itu disebut meaning (arti).
Karya sastra itu juga meupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi
masyarakat (sastra). Karena sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang
lebih tinggi (atas) kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik
tingkat kedua.
Pendekatan
semiotik merupakan sebuah pendekatan yang memiliki sistem sendiri, berupa
sistem tanda atau kode. Tanda dan kode itu dalam sastra dapat disebut estetis,
yang secara potensial diberikan dalam suatu komunikasi, baik yang terdapat di
dalam struktur teks maupun luar strukturnya teks karya tersebut. Kode yang
bersifat tanda itu mempunyai banyak interpretasi makna dan memiliki pluralitas
makna yang luas tergantung tingkat repertoa sipembaca ketika memberi penilaian
terhadap teks karya yang dikaji. Setiap pembaca sastra mesti menyadari bahwa ia
sedang berhadapan denga teks yang berbeda dengan teks yang lain. Secara
spesifikanya dalam penelitiaan sastra pendekatan semiotik khusus meneliti
sastra yang dipandang memiliki sistem sendiri, sedangkan sistem itu berurusan
dengan masalah tekhnik, mekanisme penciptaan, masalah ekspresi dan komunikasi.
Diantara
teori-teori semiotic yang ada adalah yang dikemukakan oleh seorang ahli
linguistik, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat
bermazhab Anglo Amerika yang bernama Charles Sander Pierce (1839-1913).
Saussure menyebut ilmu tersebut dengan istilah semiologi dan Pierce menyebutnya
semiotik.
Menurut
Pierce ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang
ditandakan, yaitu:
1. Icon yaitu tanda yang secara inheren mempunya
kesamaan dalam arti yang di tunjuk, yakni hubungan tanda dengan objek karena
serupa misalnya foto.
2.
Indeks yaitu tanda yang memilki hubungan
kausal dengan apa yang di tandakan, yakni hubungan tanda dengan objek karena
ada hubungan sebab akibat misal: ada asap ada api.
3.
Simbol yaitu suatu tanda yang memiliki
hubungan makna dengan yang di tandakan bersifat arbiter, sesuai dengan konvensi
sebuah lingkungan sosial tertentu, yakni hubungan tanda dan objek karena ada
kesepakatan misal bahasa,bendera dll.[3]
Metode
atau prosedur langkah kerjanya yang pertama; peneliti harus memiliki pemahaman
tentang karya sastra secara menyeluruh. Tentang wawasan karya sastra yang akan
diteliti, ia harus memiliki pandangan yang tajam terhadap karya tersebut, dan
harus memiliki sensitifitas tinggi, yang merupakan senjata paling ampuh utama
dalam memedah suatu karya dengan menggunakan metode semiotik ini. Kedua;
setelah tahap pertama dilakukan barulah dilakukan penelitiaan atau analisis
yang lebih rinci dan mendalam menyangkut teknik, style, stalistika, serta
kekuatan-kekuatan atau keistimewaan lain yang menyebabkan karya itu memiliki
sistem sendiri. Ketiga mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh struktur
karya tersebut dengan sistem yang berada diluar tubuh struktur tersebut
(mengaitkan aspek intrinsik dan ekstrinsik).
Teori
semiotik memiliki asumsi bahwa teori ini merupakan sebuah teori yang relevan
pembedahannya untuk menganalisis sebuah karya sampai kepada bahasa kedua pada
dunia sastra. Dimana disana terdapat bahasa simbolik yang pemaknaannya hanya
bisa di pahami dan dibedah oleh teori ini, bukan hanya itu semiotik merupakan
bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis, sistematis, dan memiliki
pluralitas makna ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi pemahaman terhadap
teks karya sastra.
Pendekatan,
metode dan teori semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah
karya sastra secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain
seperti struktural, stilistika, sosiologi dll. Kemudian analisisnya lebih spesifik dan komprehensif.
Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya sastra.
Pembacapun akan mengetahui minimal dua
makna dalam suatu karya yaitu makna bahasa secara tekstualnya dan makna kedua
yakni makna simbolik yang cukup memiliki makna global (pluralitas makna)
sehingga memungkinkan akan tejadi perbedaan asumsi ketika membaca simbol antara
pengarang dan pembaca dalam suatu karya tergantung dari prespektif mana ia
menilai.
Kekurangannya
ialah pendekatan ini memerlukan banyak dukungan ilmu bantu yang lain seperti
linguistik, sosiologi, psikologi dll, dan yang paling penting diperlukan
kematangan konseptual tentang sastra, wawasan luas dan teorinya. Peranan
peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti dan menguasai materi yang akan
diteliti secara totalitas karena kalau itu tidak terpenuhi, makna yang ada
dalam teks akan kurang tereksplor diketahui oleh pembaca, malahan cendrung
menggunakan subjektifitasnya yang menapikan itu semua dan itu sangat riskan sekali
untuk meneliti dengan teori ini.
Kelebihan semiotik dalam menelaah
karya sastra :
- Mengetahui keindahan karya sastra
- Dalam penelitian analisisnya lebih spesifik dan komperhensif
- Memberikan pemahaman makna dari simbolik baru dalam membaca karya sastra
- Kita pembaca minimal mengetahui dua makna yaitu makna bahasa secara literlag dan makna simbolik ( global ).
Kelemahan semiotik dalam menelaah
karya sastra :
- Kurang memperhatikan struktur, mengabaikan unsur intrinsik
- Memerlukan banyak dukungan ilmu bantu lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi, dll
- Perlu kematangan konsep luas tentang sastra wawasan luas, dan teorinya
- Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti, dan menguasai materi yang akan diteliti secara totalitas, karena kalau tidak itu tidak terpenuhi maka makna yang ada dalam teks cenderung kurang tereksplor untuk diketahui oleh pembaca, justru cenderung menggunakan subjektifitasnya.
Berikut ini
contoh analisis semiotika pada sebuah puisi
: Contoh
Analisis Puisi yang Berjudul “ Di Masjid” dengan Kajian Semiotik
Di mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpuh peluh diri tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasakan
Satu menista lain gila
( 1943 )
Mursal Esten dalam bukunya Memahami Puisi dengan kajian semiotik memberikan petunjuk bahwa langkah pertama dalam memahami puisi adalah dengan memahami judulnya. Ikon ‘masjid’ misalnya, dikaitkan dengan citra sebagaimana mesjid merupakan tempat dimana hamba melakukan interaksi dengan Tuhannya, pada khususnya.
Dalam sajak ‘Di Mesjid’ karya Chairil Anwar merupakan ungkapan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Puisi itu dapat dianalisis sebagai berikut: di masjid sebagai tempat beribadah orang-orang muslim pengarang melakukan ibadah dan saat-saat tersebut dia berdoa dengan menyebut Tuhannya kemudian dia merasakan kedatangan rahmat Tuhan menghampirinya, hal tersebut digambarkan oleh pengarang pada bait ‘kuseru saja dia / sehingga datang juga.
Pada bait kedua ‘ kamipun bermuka-muka ‘ menggambarkan seseorang yang sedang melakukan ibadah di masjid tersebut merasakan Tuhan seakan-akan berada dihadapannya.
Pada bait selanjutnya ‘seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada / segala daya memadamkannya / bersempuh peluh diri tak bisa diperkuda dalam bait ini menggambarkan kehadiran Tuhan yang ada pada seorang hamba hingga dalam hati hamba tersebut, bahkan kehadiran Tuhan yang sangat kuat hingga tak satupun yang dapat menghalangi, sehingga hamba tersebut lemah terkulai dan tak mampu untuk melawan kekuatan Tuhan.
Pada bait ‘ini ruang / gelanggang kami berperang’ hal ini mengungkapkan bahawa kata ‘ini ruang’ merujuk pada atau kembali pada judul yaitu ‘masjid’. Pada kata gelanggang yang dalam artian umum gelanggang adalah tempat pertarungan tapi dalam puisi ini diartikan sebagai tempat bertemu dan mengadunya seorang hamba kepada Tuhannya.
Sedangkan pada bait terakhir ‘binasa-membinasakan / satu menista lain gila‘, pemilihan diksi, pemilihan diksi yang berupa binasa-membinasakan memberikan gambaran berupa seperti perseteruan yang dasyat sehingga diakhir disebutkan satu menista lain gila ini, satu menista ini menggambarkan Tuhan yang menyalahkan pemikiran hamba yang menyimpang dan karena mendapat penistaan dari Tuhan, hamba merasakan rasa bersalah yang amat dalam sehingga membuat dia tertekan dalam kesalahan yang mendalam dan menjadi frustasi.
Demikianlah analisis puisi “Di mesjid” karya Chairil Anwar yang di analisis dengan menggunakan analisis kajian semiotik.
D.
Kesimpulan
Teori hermaneutika
tidak hanya dipakai dalam bidang sastra saja, melainkan dalam bidang-bidang
ilmu yang lain diantaranya teologi dan filsafat. Defenisi hermeneutika terus
berkembang, secara luas hermeneutika diartikan sebagai penafsiran, metodologi
filologi, pemahaman bahasa, landasan metodologis, pemahaman eksistensial, dan
sistem penafsiran
Teori semiotik muncul dari ketidakpuasan
terhadap pendekatan struktural yang hanya terbatas pada aspek kajian intrinsik
saja. Teori semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah
karya sastra secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain seperti
struktural, sosiologi dll. Kemudian
analisisnya lebih spesifik dan komprehensif. Memberikan pemahaman makna
dan simbolik baru dalam membaca karya sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta:
Caps, 2011.
Palmer,
Richard. Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yokyakarta:Pustaka Pelajar, 2005
Rafiek,
M. Teori Sastra.Bandung: PT.Refika
Aditama, 2010
Cobley,Paul
and Jannsz Litza, 1997. Introducting
Semiotics. Penguins Books Ltd:London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar