Kamis, 20 November 2014

HERMENEUTIK DAN SEMIOTIK



                     HERMENEUTIK DAN SEMIOTIK

Makalah Ini Disusun Sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Emzir, M.Pd


Oleh:
Dian Rusdiana
Paras Sekar Liana

PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
HERMENEUTIK DAN SEMIOTIK
A.     PENDAHULUAN
   Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat bahkan sastra. Sesungguhnya istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun penelitian sastra dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering kali muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam “Hermeneutika baru” teologis kontemporer.
Semiotik Karya sastra merupakan sebuah refleksi akan pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri bukan bahasa yang sembarangan melainkan bahasa yang khas, yakni bahasa yang memuat tanda-tanda atau Semiotik. Bahasa itu akan membentuk system keadaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang mempelajari masalah ini adalah Semiologi. Semiologi juga sering dinamakan Semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.
B.    PERUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang di maksud dengan hermaneutik dan Semiotik?
2.    Apa saja ruang lingkup teori hermeneutik dan semiotik?
3.    Siapa saja tokoh dalam kedua teori ini?
4.    Bagaimana untuk memahami kedua analisis ini?

C.    PEMBAHASAN
HERMENEUTIK
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah yunani dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “ menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, yang berarti “interpretasi”. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuk dasar makna dalam pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam teologi dan sastra, dan dalam konteks sekarang ia menjadi keywords untuk memahami hermeneutika modern.
Hermeneuin dan hermeneia dalam berbagai bentuknya, terdapat dalam beberapa teks yang terus bertahan semenjak awalnya. Aristoteles menemukan kelayakan subyek ini pada risalah besarnya dalam organom, peri hermeneias terkenal, yang diterjemahkan dengan “ On Interpretation”. Tentu saja,  bentuk yang beragam dari istilah itu ditemukan pula dalam karya beberapa penulis awal terkenal, misalnya Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.
Kata yunani hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan kata benda hermeneia diasosiasikan dengan Dewa Hermes. Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensi manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsi adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Dengan menelusuri akar kata paling awal dalam yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam semua tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuein, yaitu:
1.    Mengungkapkan kata-kata
2.    Menjelaskan situasi
3.    Menerjemahkan.         
    Dalam studi sastra hermeneutik berarti tafsir sastra. Menurut Ricoeur (2006: 58-58), tempat pertama yang didiami oleh hermeneutika adalah bahasa dan lebih khusus lagi bahasa tulis.Kata Ricoeur ( Sumaryono, 1999: 106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman tidak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, peneliti harus menukik kearah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh.
Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan dekontekstualisasi, baik dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis, serta untuk melakukan rekontekstualisasi secara berbeda di dalam tindakan membaca. Otonomi teks ada tiga macam, yaitu:
(1) intensi atau maksud pengarang,
(2) situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks,
(3) untuk siapa teks itu dimaksudkan.    
Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode, yaitu:
1.    metode dialektik antara masa lalu dan masa kini,
2. metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan.
 Kedua metode ini memaksa peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu:
Pertama, hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas cultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada level ideology fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran.
Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesisfik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia.
Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kininya.
Hermeneutik sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat cultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna melalui apa saja.
Dengan cara demikian, paham hermeneutik sastra bukanlah sebuah paradigma penelitian yang berusaha menjelaskan fenomena sastra, melainkan upaya memahami fenomena. Hermeneutik berusaha memahami sebuah fenomena secara mendalam. Jika paham positivisme cenderung menjelaskan fenomena atas dasar data, hermeneutik justru memahamkan atau menafsirkan data tersebut.
Pemaknaan karya satra, menurut Juhl (1980) memang perlu menukik ke arah maksud pengarang. Maksud tersebut dapat diteliti melalui apa saja yang terungkap dalam karya. Semakin jelas maksud yang dituju oleh pengarang, berarti karya tersebut semakin berkualitas pula.    
Definisi hermeneutika masih terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation). Akan tetapi, secara luas hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai berikut:
1.    teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis)
2.    hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology)
3.    hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic  understanding) 
4.    hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften)
5.    hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding)
6.    hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation)

            Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting di dalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda namun dapat dipertanggungjawabkan dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi. Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut.
Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.
Berikut contoh hermeneutika puisi di ambil dari esai Rio Pamungkas:
Hermeneutika Puisi "Biji" karya Abdul Wachid B.S.

biji cinta yang dipatuk oleh burung itu terjatuh di sebuah taman
ketika kau aku saling pandang lamalama
setelah pencarian bertahuntahun lewati lembah dan gurun
akhirnya kau aku kejatuhan lagi biji cinta itu


bertemu di sini, di sebuah taman lain
biji cinta itu lekaslekas mengubah dirinya menjadi sebatang pohon yang
disuburkan oleh musim hujan dan
nafas kau aku yang gemuruh

ketika terik matahari pohon itu memberi kesejukan
ketika hujan setidaknya ia tidak menjadikan kau aku lapuk
ketika malam purnama ia memberi ruang bercinta

kau aku lupa siapa pemilik taman ini?

#######
Dalam puisi ini ditemukan tarik-ulur waktu dalam puisi ini, seperti kisah Adam Hawa lupa diri karena cinta lantas diturunkan ke bumi untuk bersusah payah karena cinta pula.

Sementara itu, dalam puisi ini mengilustrasikan cinta tersebut dari akibat menuju sebab, mengajak pembaca untuk berpikir dan mencicipi dari sudut terbalik sebuah teguran cinta, yang sesungguhnya terguran itu juga bagian ujian cinta itu sendiri.

Dari biji menjadi sebatang pohon, dari sebatang pohon memberi ruang untuk bercinta, dari pohon itu pastilah kelak kembali biji, tetapi kenapa harus biji terlebih dahulu?

Biji di sini terlihat bukanlah buah khuldi yang biasanya menjadi objek bahasan dalam kisah Adam Hawa meski di puisi ini tidak disebutkan nama Adam Hawa, tetapi ceritanya mempunyai alur yang akan membawa siapa saja berpikir demikian.

Pada bagian akhir puisi disebut "kau aku lupa siapa pemilik taman ini?". Lebih mirip ketika seseorang mengingatkan saya ketika harus bertatakrama berada di rumah orang, dan sepertinya baris ini mengajak kita untuk sadar diri dan tau sikap sebagai seorang "tamu". Jika diasumsikan taman adalah dunia, maka tamu itu adalah kita sebagai manusia. Dan, kata "lupa" bisa jadi peringatan untuk bersyukur, yang ketika manusia bersyukur, maka ia adalah orang yang tahu diri.

Dan, yang paling menarik di sini sebenarnya kata "Biji". Kenapa "Biji" yang menjadi judul, sedangkan judul biasanya esensi yang membuka makna isi puisi. Biji dalam puisi di sini ternyata tak sekadar biji, dan bukan buah khuldi. Biji di sini ketika dihubungkan dengan cinta, bisa jadi itu adalah sebuah benih cinta. Sesuatu yang awalnya kecil dan belum memiliki makna berarti, tetapi sepasang kekasih menyuburkannya, "/disuburkan oleh musim hujan/ dan nafas kau aku yang gemuruh//" sehingga biji yang seperti titik jika dipandang dari jauh, menjadi sebuah perjalanan awal menjadi pohon yang memberi sejuk kepada sepasang kekasih itu.


SEMIOTIKA
The word “semiotics” comes from the Greek root, seme, as in semeiotitikos, an interpreter of signs. Semiotics as a discipline is simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems.[1]
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. [2]
Dalam kajian sastra kemunculan teori dan pendekatan semiotik ini, muncul dari ketidakpuasan terhadap pendekatan struktural yang hanya terbatas pada aspek kajian intrinsik saja. Padahal sastra dipandang mempunyai sistem sendiri tidak terlepas dari masalah penciptaan, ekspresi penulis, dan masalah penerimaan karya sastra oleh pembaca.
        Bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama. Dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning (arti). Karya sastra itu juga meupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat (sastra). Karena sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang lebih tinggi (atas) kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua.
Pendekatan semiotik merupakan sebuah pendekatan yang memiliki sistem sendiri, berupa sistem tanda atau kode. Tanda dan kode itu dalam sastra dapat disebut estetis, yang secara potensial diberikan dalam suatu komunikasi, baik yang terdapat di dalam struktur teks maupun luar strukturnya teks karya tersebut. Kode yang bersifat tanda itu mempunyai banyak interpretasi makna dan memiliki pluralitas makna yang luas tergantung tingkat repertoa sipembaca ketika memberi penilaian terhadap teks karya yang dikaji. Setiap pembaca sastra mesti menyadari bahwa ia sedang berhadapan denga teks yang berbeda dengan teks yang lain. Secara spesifikanya dalam penelitiaan sastra pendekatan semiotik khusus meneliti sastra yang dipandang memiliki sistem sendiri, sedangkan sistem itu berurusan dengan masalah tekhnik, mekanisme penciptaan, masalah ekspresi dan komunikasi.
Diantara teori-teori semiotic yang ada adalah yang dikemukakan oleh seorang ahli linguistik, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat bermazhab Anglo Amerika yang bernama Charles Sander Pierce (1839-1913). Saussure menyebut ilmu tersebut dengan istilah semiologi dan Pierce menyebutnya semiotik.
Menurut Pierce ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu:
1.   Icon yaitu tanda yang secara inheren mempunya kesamaan dalam arti yang di tunjuk, yakni hubungan tanda dengan objek karena serupa misalnya foto.
2.   Indeks yaitu tanda yang memilki hubungan kausal dengan apa yang di tandakan, yakni hubungan tanda dengan objek karena ada hubungan sebab akibat misal: ada asap ada api.
3.   Simbol yaitu suatu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang di tandakan bersifat arbiter, sesuai dengan konvensi sebuah lingkungan sosial tertentu, yakni hubungan tanda dan objek karena ada kesepakatan misal bahasa,bendera dll.[3]
Metode atau prosedur langkah kerjanya yang pertama; peneliti harus memiliki pemahaman tentang karya sastra secara menyeluruh. Tentang wawasan karya sastra yang akan diteliti, ia harus memiliki pandangan yang tajam terhadap karya tersebut, dan harus memiliki sensitifitas tinggi, yang merupakan senjata paling ampuh utama dalam memedah suatu karya dengan menggunakan metode semiotik ini. Kedua; setelah tahap pertama dilakukan barulah dilakukan penelitiaan atau analisis yang lebih rinci dan mendalam menyangkut teknik, style, stalistika, serta kekuatan-kekuatan atau keistimewaan lain yang menyebabkan karya itu memiliki sistem sendiri. Ketiga mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh struktur karya tersebut dengan sistem yang berada diluar tubuh struktur tersebut (mengaitkan aspek intrinsik dan ekstrinsik).     
Teori semiotik memiliki asumsi bahwa teori ini merupakan sebuah teori yang relevan pembedahannya untuk menganalisis sebuah karya sampai kepada bahasa kedua pada dunia sastra. Dimana disana terdapat bahasa simbolik yang pemaknaannya hanya bisa di pahami dan dibedah oleh teori ini, bukan hanya itu semiotik merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis, sistematis, dan memiliki pluralitas makna ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi pemahaman terhadap teks karya sastra.
Pendekatan, metode dan teori semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah karya sastra secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain seperti struktural, stilistika, sosiologi dll. Kemudian  analisisnya lebih spesifik dan komprehensif. Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya sastra. Pembacapun  akan mengetahui minimal dua makna dalam suatu karya yaitu makna bahasa secara tekstualnya dan makna kedua yakni makna simbolik yang cukup memiliki makna global (pluralitas makna) sehingga memungkinkan akan tejadi perbedaan asumsi ketika membaca simbol antara pengarang dan pembaca dalam suatu karya tergantung dari prespektif mana ia menilai.
Kekurangannya ialah pendekatan ini memerlukan banyak dukungan ilmu bantu yang lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi dll, dan yang paling penting diperlukan kematangan konseptual tentang sastra, wawasan luas dan teorinya. Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti dan menguasai materi yang akan diteliti secara totalitas karena kalau itu tidak terpenuhi, makna yang ada dalam teks akan kurang tereksplor diketahui oleh pembaca, malahan cendrung menggunakan subjektifitasnya yang menapikan itu semua dan itu sangat riskan sekali untuk meneliti dengan teori ini.
Kelebihan semiotik dalam menelaah karya sastra :
  1. Mengetahui keindahan karya sastra
  2. Dalam penelitian analisisnya lebih spesifik dan komperhensif
  3. Memberikan pemahaman makna dari simbolik baru dalam membaca karya sastra
  4. Kita pembaca minimal mengetahui dua makna yaitu makna bahasa secara literlag dan makna simbolik ( global ).
Kelemahan semiotik dalam menelaah  karya sastra :
  1. Kurang memperhatikan struktur, mengabaikan unsur intrinsik
  2. Memerlukan banyak dukungan ilmu bantu lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi, dll
  3. Perlu kematangan konsep luas tentang sastra wawasan luas, dan teorinya
  4. Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti, dan menguasai materi yang  akan diteliti secara totalitas, karena kalau tidak itu tidak terpenuhi maka makna yang ada dalam teks cenderung kurang tereksplor untuk diketahui oleh pembaca, justru cenderung menggunakan subjektifitasnya.
Berikut ini contoh analisis semiotika pada sebuah puisi   :                  Contoh Analisis Puisi yang Berjudul “ Di Masjid” dengan Kajian Semiotik

    Di mesjid

    Kuseru saja Dia
    Sehingga datang juga

    Kamipun bermuka-muka

    Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
    Segala daya memadamkannya
    Bersimpuh peluh diri tak bisa diperkuda

    Ini ruang
    Gelanggang kami berperang

    Binasa-membinasakan
    Satu menista lain gila 
                ( 1943 )

Mursal Esten dalam bukunya Memahami Puisi dengan kajian semiotik memberikan petunjuk bahwa langkah pertama dalam memahami puisi adalah dengan memahami judulnya. Ikon ‘masjid’ misalnya, dikaitkan dengan citra sebagaimana mesjid merupakan tempat dimana hamba melakukan interaksi dengan Tuhannya, pada khususnya.
         Dalam sajak ‘Di Mesjid’ karya Chairil Anwar merupakan ungkapan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Puisi  itu dapat dianalisis sebagai berikut: di masjid sebagai tempat beribadah orang-orang muslim pengarang melakukan ibadah dan saat-saat tersebut dia berdoa dengan menyebut Tuhannya kemudian dia merasakan kedatangan  rahmat Tuhan menghampirinya, hal tersebut digambarkan  oleh pengarang pada bait ‘kuseru saja dia / sehingga datang juga.      
        Pada bait kedua ‘ kamipun bermuka-muka ‘ menggambarkan seseorang yang sedang melakukan ibadah di masjid tersebut merasakan Tuhan seakan-akan berada dihadapannya.
Pada bait selanjutnya ‘seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada / segala daya memadamkannya / bersempuh peluh diri tak bisa diperkuda dalam bait ini menggambarkan kehadiran Tuhan yang ada pada seorang hamba hingga dalam hati hamba tersebut, bahkan kehadiran Tuhan yang sangat kuat hingga tak satupun yang dapat menghalangi, sehingga hamba tersebut lemah terkulai dan tak mampu untuk melawan kekuatan Tuhan.
Pada bait ‘ini ruang / gelanggang kami berperang’ hal ini mengungkapkan bahawa kata ‘ini ruang’ merujuk pada atau kembali pada judul yaitu ‘masjid’. Pada kata gelanggang yang  dalam artian umum gelanggang adalah tempat pertarungan tapi dalam puisi ini diartikan sebagai tempat bertemu dan mengadunya seorang hamba kepada Tuhannya.
Sedangkan pada bait terakhir ‘binasa-membinasakan / satu menista lain gila‘, pemilihan diksi, pemilihan diksi yang berupa binasa-membinasakan memberikan gambaran berupa seperti perseteruan yang dasyat sehingga diakhir disebutkan satu menista lain gila ini, satu menista ini menggambarkan Tuhan yang menyalahkan  pemikiran hamba yang menyimpang dan karena mendapat penistaan dari Tuhan, hamba merasakan rasa bersalah yang amat dalam sehingga membuat dia tertekan dalam kesalahan yang mendalam dan menjadi frustasi.
Demikianlah analisis puisi “Di mesjid” karya Chairil Anwar yang di analisis dengan menggunakan analisis kajian semiotik.
D.    Kesimpulan
Teori hermaneutika tidak hanya dipakai dalam bidang sastra saja, melainkan dalam bidang-bidang ilmu yang lain diantaranya teologi dan filsafat. Defenisi hermeneutika terus berkembang, secara luas hermeneutika diartikan sebagai penafsiran, metodologi filologi, pemahaman bahasa, landasan metodologis, pemahaman eksistensial, dan sistem penafsiran
Teori semiotik muncul dari ketidakpuasan terhadap pendekatan struktural yang hanya terbatas pada aspek kajian intrinsik saja. Teori semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah karya sastra secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain seperti struktural, sosiologi dll. Kemudian  analisisnya lebih spesifik dan komprehensif. Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya sastra.



DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Caps, 2011.

Palmer, Richard. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yokyakarta:Pustaka Pelajar, 2005

Rafiek, M. Teori Sastra.Bandung: PT.Refika Aditama, 2010   
      
Cobley,Paul and Jannsz Litza, 1997. Introducting Semiotics. Penguins Books Ltd:London.


  



[1] Cobley,Paul and Jannsz Litza, 1997. Introducting Semiotics. Penguins Books Ltd:London. Hal.4
[2] Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. CAPS: Yogyakarta. hal.64
[3] Ibid,65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar