Kamis, 20 November 2014

TEORI –TEORI PEMBELAJARAN KOGNITIF



KELOMPOK 6
TEORI –TEORI PEMBELAJARAN KOGNITIF
DOSEN PENGAMPU:
Dr. Asep Supena, M.Psi

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ_a-kjk6wlarPA9r9EnLMh_27n4bdKwVRKGGSr9HPUJB098dhJoQ

DISUSUN OLEH:
AJENG PRIENDARNINGTYAS (7316130628)
MUHAMMAD JABAL AN NUR (7316930273)



PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA (A)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014
















DAFTAR ISI
A. Pendahuluan.............................................................................................. 3
B.  Sensory...................................................................................................... 4
C.  Memory..................................................................................................... 4
D. Kognitif..................................................................................................... 6
E.   Meta Kognitif............................................................................................ 7
F.   Teori Kognitif Gestalt............................................................................... 8
G. Teori Kognitif Piaget................................................................................. 8
H.  Teori Kognitif Ausubel............................................................................. 9
I.    Teori Kognitif Bruner................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA


























  1. Pendahuluan
Berpikir merupakan daya yang paling utama dan merupakan ciri yang khas yang membedakan manusia dari hewan. Manusia dapat berpikir karena manusia mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak. “Bahasa” hewan bukanlah bahasa seperti yang dimiliki manusia, bahasa hewan merupakan bahasa insting yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan. Bahasa manusia merupakan hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan, dengan bahasa manusia dapat memberi nama kepada segala sesuatu baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Semua nama benda, nama sifat, pekerjaan, dan lain-lain yang bersifat abstrak pun diberi nama. Dengan demikian segala sesuatu yang pernah diamati dan dialami dapat disimpannya kemudian menjadi tanggapan-tanggapan dan pengalaman-pengalaman yang dapat diolah dengan proses kognitifnya menjadi sebuah teori.
Memiliki kemampuan berpikir dengan baik hanya dimiliki manusia, Plato pernah mengatakan dalam bukunya Sophistes bahwa “berbicara itu berpikir yang keras dan berpikir itu adalah berbicara batin”. Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan, karena setiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu menggunakan hal berpikir. Suatu keaktifan manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah pada suatu tujuan, kehendak kognitif (berpikir) inilah untuk dapat menemukan pemahaman atau pengertian yang manusia kehendaki. Berpikir sangat erat hubungannya dengan daya jiwa lain seperti tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tanggapan memegang peranan sangat penting dalam berpikir meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir. Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir karena memberikan pengalaman dari pengamatan manusia. Pengertian sebagai hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar dalam suatu proses berpikir dan perasaan selalui menyertai sebagai dasar yang mendukung suasana hati atau pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
Pendekatan dalam proses berpikir bahwa manusia mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi yang didapatkan. Intinya bahwa proses memori dan proses berpikir (thinking) yang memiliki kecenderungan yang lebih konstruktivis dibandingkan yang lainya. Pada dunia pendidikan, siswa mempunyai kecenderungan konstruktivis memandang gurunya sebagai pembimbing kognitifnya untuk tugas akademik dan murid sebagai pelajar yang berusaha memahami tugas-tugas tersebut (Mayer, 2001, 2002). Perkembangan kognitif dimana siswa mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi yang didapatkan dan menitikberatkan pada siswa dalam proses berpikir dan mengingat.
Menurut Roberts Siegler mengatakan bahwa dalam pemprosesan informasi terdiri dari tiga karakteristik utama, yaitu: proses berpikir, mekanisme pengubah, dan modifikasi diri. Pemikiran dalam proses berpikir (thinking) bahwa ketika siswa merasakan (perceive), melakukan penyandaian (encoding), merepresentasikan, dan menyimpan informasi dari dunia sekelilingnya, karena mereka sedang melakukan proses berpikir. Sesuatu yang fleksibel yang menyebabkan individu dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Tetapi ada batas kemampuan berpikir manusia bahwa individu hanya dapat memperhatikan jumlah informasi yang terbatas pada satu waktu dan kecepatan dalam memproses informasi juga terbatas. Mekanisme pengubah memfokuskan pada peran mekanisme dalam perkembangan, adanya encoding (proses memasukkan informasi ke dalam memori), otomatisasi (kemampuan memproses informasi dengan sedikit atau tanpa usaha), konstruksi strategi (penemuan prosedur baru untuk memproses informasi). Kemudian dalam memodifikasi diri menggunakan pengetahuan dan strategi yang telah mereka pelajari untuk menyesuaikan respon pada situasi pembelajaran yang baru.

1.      Sensori
Sensori meruapakan tahapan dimana individu menggunakan kemampuan sensorik yang ia milki berdasarkan pengalaman luar yang ia hadapi. Pengenalan visual seperti symbol dan bentuk dari suatu benda yang dapat diperoleh dari indera yang dimilki oleh individu merupakan tahapan sensory atau sering diistilahkan oleh piaget sebagai sensory inteligence
2.      Memori
Memori merupakan ingatan yang berisikan rentetan informasi. Para psikolog pendidikan mempelajari bagaimana informasi diletakkan atau disimpan dalam memori, bagaimana dipertahankan atau disimpan setelah disandikan (encoded), dan bagaimana ditemukan atau diungkap kembali untuk tujuan tertentu dikemudian hari. Memori membuat diri kita terasa berkesinambungan. Tanpa memori, anda tidak mampu menghubungkan apa yang terjadi kemarin dengan apa yang terjadi sekarang. Dewasa ini, para psikolog pendidikan menyatakan bahwa penting untuk tidak memandang memori dari segi bagaimana siswa menambahkan sesuatu ke dalam ingatan, tetapi harus dilihat dari segi bagaimana anak menyusun memori mereka (Schacter, 2001). Pembagian memori dfokuskan pada encoding (penyandaian), penyimpanan, dan pengambilan (retrieval).
a.       Encoding
Dalam bahasa sehari-hari, encoding banyak kemiripan dengan atensi dan pembelajaran. Saat siswa mendengarkan guru berbicara, menonton film, mendengarkan musik, atau bicara dengan kawan, dia sedang menyandikan informasi ke dalam memori. Ada enam konsep yang berhubungan dengan encoding, yakni atensi, pengulangan, pemprosesan mendalam, elaborasi, mengkonstruksi citra (imaji), dan penataan (organisasi).
      a.1 Atensi
Atensi adalah memfokuskan dan mengonsentrasikan sumber daya mental. Salah satu keahlian penting dalam memerhatikan adalah seleksi. Atensi bersifat selektif karena sumber daya otak terbatas (Mangels, Piction, & Craik, 2001). Saat guru memberikan instruksi untuk mengerjakan suatu tugas, siswa perlu memperhatikan apa yang dikatakan guru dan tidak diganggu oleh murid lain yang bicara. Saat murid belajar untuk menghadapi ujian, mereka harus fokus secara selektif pada buku yang mereka baca dan menghindari atau menghilangkan stimuli lain seperti suara televisi.
                                    a.2 Pengulangan
Pengulangan merupakan repetisi informasi dari waktu ke waktu agar informasi lebih lama berada di dalam memori. Pengulangan akan bekerja dengan baik apabila murid perlu menyandikan dan mengingat daftar item untuk periode yang singkat, seperti pada saat belajar untuk ujian yang akan dilakukan lebih dari seminggu lagi maka mereka menggunakan strategi pengulangan.

                                    a.3 Pemrosesan Mendalam
Menyatakan bahwa pemrosesan memori terjadi pada kontinum dari dangkal ke mendalam, di mana pemrosesan yang mendalam akan menghasilkan memori yang lebih baik karena ciri fisik atau indrawi dari suatu stimuli akan dianalisis lebih dahulu pada level dangkal. Ini dilakukan dengan mendeteksi garis, sudut, dan kontur dari huruf cetak atau frekuensi, durasi, dan kekerasan suara. Kemudian pada level pemrosesan menengah, stimuli tersebut dikenali dan diberi label. Kemudian pada level mendalam, informasi ini diproses secara semantik dari segi maknanya.
                                    a.4 Elaborasi
Ekstensivitas pemrosesan memori dalam penyandian, jadi saat anda menyajikan konsep demokrasi kepada murid, mereka kemungkinan akan mengingatnya dengan lebih baik jika mereka diberikan contoh.
                                    a.5 Mengkonstruksi Citra
Allan Paivo (1971, 1986:318) percaya bahwa memori disimpan melalui satu atau dua cara: sebagai kode verbal atau sebagai kode citra (imajinasi). Misalnya, ketika mengingat gambar dengan menggunakan label secara detail dan jelas maka akan semakin baik memori dalam mengingat informasi tersebut.
                                    a.6 Penataan (Organisasi)
Semakin tertata informasi yang disajikan, semakin mudah siswa untuk mengingatnya. Terutama berlaku jika menata informasi secara hierarkis atau dengan menjelaskannya. Juga, jika mendorong siswa untuk mengorganisasikan informasi, mereka sering kali akan mengingat dengan lebih baik ketimbang jika tidak diberi instruksi penataan yang baik (Mandler, 1980:319).


b.      Penyimpanan
b.1 Memori Jangka Pendek
            Sistem memori berkapasitas terbatas di mana informasi dipertahankan sekitar 30 detik, kecuali informasi tersebut diulangi atau diproses lebih lanjut di mana dalam kasus tersebut daya simpannya dapat lebih lama.
b.2 Memori Jangka Panjang
Memori yang menyimpan banyak informasi selama periode waktu yang lama secara relatif permanen. Kapasitas memori jangka panjang manusia 2,8x10 (280 kuintriliun) bit, yang berarti bahwa kapasitas penyimpanan memori jangka panjang pada dasarnya tidak terbatas.
c.       Pengambilan
c.1 Pengambilan Kembali
Ketika kita mengambil sesuatu dari “gudang data” kita menyelusuri gudang memori kitauntuk mencari informasi yang relevan. Misalnya, jika kita bertanya pada siswa bulan apa sekarang, jawabannya mungkin muncul segera. Artinya, pengambilan kembali ini bersifat otomatis. Tetapi, jika kita bertanya kepada siswa nama tamu yang datang ke kelas dua bulan lalu, maka proses pengambilan informasinya mungkin membutuhkan banyak usaha.
                                    c.2 Melupakan
Lupa bukan karena kita kehilangan memori dari tempat penyimpanan, tetapi karena ada informasi lain yang menghambat upaya kita untuk mengingat informasi yang kita inginkan. Jadi, berlalunya waktu bisa membuat orang menjadi lupa. Peneliti memori Daniel Schacter (2001:329) menyebutkan bahwa pelupaan terjadi karena berlalunya waktu.

3.      Kognitif
Pada hakikatnya kognisi tidak selalau berkaitan dengan intelegensi melainkan semua bentuk pengalama oleh yang dialami oleh individu. Menurut Flavell “ The traditional image of congnition…this images includes such higher mental-processes types of psychologhycal entities as knowledge, consciousness, intelligence, thinking, imagining, creating, generating plans and strategies, reasoning, inferring, probem solving, conceptualizing, classifying and realating,symbolizing, and perhaps fantasizing and dreaming “


4.      Metakognitif
Metakognitif merupakan kognisi tentang kognisi, atau “mengetahui tentang mengetahui” (Flavell, 1999; Flavell, Miller, & Miller, 2002). Terdapat perbedaan antara pengetahuan metakognitif dengan aktivitas kognitif (Ferrari & Sternberg, 1998). Pengetahuan kognitif melibatkan usaha monitoring dan refleksi pada pikiran seseorang pada saat sekarang. Ini termasuk pengetahuan faktual, seperti pengetahuan tentang tugas, tujuan, atau diri sendiri dan pengetahuan strategis, seperti bagaimana dan kapan akan menggunakan prosedur spesifik untuk memecahkan masalah. Aktivitas metakognitif terjadi saat siswa sadar menyesuaikan dan mengelola strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan masalah dan memikirkan sesuatu tujuan.
B.1 Perubahan Developmental
Studi developmental yang diklasifikasikan sebagai “metakognitif” memfokuskan pada metamemori atau pengetahuan tentang memori. Ini mencakup tentang pengetahuan memori seseorang, seperti kemampuan siswa memonitor apakah dirinya sudah cukup belajar untuk menghadapi ujian yang akan dilangsungkan minggu depan.
B.2 Strategi Metakognitif
Menurut Pressley (McCormick & Pressley, 1997; Pressley, 1983) bahwa kunci pendidikan membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang dapat digunakan dan menghasilkan solusi dari suatu masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan dan di mana harus menggunakan strategi dan memahami kapan dan di mana menggunakan strategi dari aktivitas yang dilakukan siswa dalam belajarnya.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar.  Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, proses pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan Bruner  dan teori kognitif Bandura.
1)         Teori Gestalt
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).

Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu: (1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007: 171).

3)     Teori Perkembangan Piaget

Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin, 2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002: 200).



4)     Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).

Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).

5)       Teori Penemuan Bruner
Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga  berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap  simbolik, dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).































DAFTAR PUSTAKA

Baharudin & Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
Flavell, John.H.1977. Cognitive Development, United States Of America: Prentice Hall

Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Paivo, A.1971. Imagery and Verbal Processes. Forth Worth, TX: Harcourt Brace
Pearson, P.D., dkk. 1979. The Effect of Background Knowledge on Young Children’s Comprehension of Explicit and Implicit Information. Journal of Reading Behavior, 11, 201-210
Piaget, J. 1952. The Origins of Intelligence in Children. New York: International Universities Press.
Pressley, M., Levin, J.R & McCormick, C.B.1980. Young Children’s Learning of a Foreign Language Vocabulary: A sentence variation of the keyword. Contemporary Educational Psychology, 5, 22-29
Purwanto, Ngalim M. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Santrock, John W. 2001. Educational Psychology. Dallas: University of Texas
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya

Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik;  Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher






Tidak ada komentar:

Posting Komentar