KELOMPOK 6
TEORI –TEORI PEMBELAJARAN KOGNITIF
DOSEN PENGAMPU:
Dr.
Asep Supena, M.Psi
DISUSUN OLEH:
AJENG PRIENDARNINGTYAS (7316130628)
MUHAMMAD JABAL AN NUR (7316930273)
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA (A)
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan.............................................................................................. 3
B. Sensory...................................................................................................... 4
C. Memory..................................................................................................... 4
D. Kognitif..................................................................................................... 6
E. Meta
Kognitif............................................................................................ 7
F. Teori Kognitif Gestalt............................................................................... 8
G. Teori Kognitif Piaget................................................................................. 8
H. Teori Kognitif Ausubel............................................................................. 9
I. Teori Kognitif Bruner................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA
- Pendahuluan
Berpikir
merupakan daya yang paling utama dan merupakan ciri yang khas yang membedakan
manusia dari hewan. Manusia dapat berpikir karena manusia mempunyai bahasa,
sedangkan hewan tidak. “Bahasa” hewan bukanlah bahasa seperti yang dimiliki
manusia, bahasa hewan merupakan bahasa insting yang tidak perlu dipelajari dan
diajarkan. Bahasa manusia merupakan hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan
diajarkan, dengan bahasa manusia dapat memberi nama kepada segala sesuatu baik
yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Semua nama benda, nama sifat,
pekerjaan, dan lain-lain yang bersifat abstrak pun diberi nama. Dengan demikian
segala sesuatu yang pernah diamati dan dialami dapat disimpannya kemudian
menjadi tanggapan-tanggapan dan pengalaman-pengalaman yang dapat diolah dengan
proses kognitifnya menjadi sebuah teori.
Memiliki
kemampuan berpikir dengan baik hanya dimiliki manusia, Plato pernah mengatakan
dalam bukunya Sophistes bahwa “berbicara itu berpikir yang keras dan berpikir
itu adalah berbicara batin”. Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat
didefinisikan, karena setiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan
pengertian selalu menggunakan hal berpikir. Suatu keaktifan manusia yang
mengakibatkan penemuan yang terarah pada suatu tujuan, kehendak kognitif
(berpikir) inilah untuk dapat menemukan pemahaman atau pengertian yang manusia
kehendaki. Berpikir sangat erat hubungannya dengan daya jiwa lain seperti
tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tanggapan memegang peranan sangat
penting dalam berpikir meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.
Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir karena memberikan
pengalaman dari pengamatan manusia. Pengertian sebagai hasil berpikir dapat
memberi bantuan yang besar dalam suatu proses berpikir dan perasaan selalui
menyertai sebagai dasar yang mendukung suasana hati atau pemberi keterangan dan
ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
Pendekatan
dalam proses berpikir bahwa manusia mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun
strategi berkenaan dengan informasi yang didapatkan. Intinya bahwa proses
memori dan proses berpikir (thinking)
yang memiliki kecenderungan yang lebih konstruktivis dibandingkan yang lainya.
Pada dunia pendidikan, siswa mempunyai kecenderungan konstruktivis memandang
gurunya sebagai pembimbing kognitifnya untuk tugas akademik dan murid sebagai
pelajar yang berusaha memahami tugas-tugas tersebut (Mayer, 2001, 2002).
Perkembangan kognitif dimana siswa mengolah informasi, memonitornya, dan
menyusun strategi berkenaan dengan informasi yang didapatkan dan
menitikberatkan pada siswa dalam proses berpikir dan mengingat.
Menurut
Roberts Siegler mengatakan bahwa dalam pemprosesan informasi terdiri dari tiga
karakteristik utama, yaitu: proses berpikir, mekanisme pengubah, dan modifikasi
diri. Pemikiran dalam proses berpikir (thinking)
bahwa ketika siswa merasakan (perceive),
melakukan penyandaian (encoding), merepresentasikan,
dan menyimpan informasi dari dunia sekelilingnya, karena mereka sedang
melakukan proses berpikir. Sesuatu yang fleksibel yang menyebabkan individu
dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Tetapi ada
batas kemampuan berpikir manusia bahwa individu hanya dapat memperhatikan
jumlah informasi yang terbatas pada satu waktu dan kecepatan dalam memproses
informasi juga terbatas. Mekanisme pengubah memfokuskan pada peran mekanisme
dalam perkembangan, adanya encoding
(proses memasukkan informasi ke dalam memori), otomatisasi (kemampuan memproses
informasi dengan sedikit atau tanpa usaha), konstruksi strategi (penemuan
prosedur baru untuk memproses informasi). Kemudian dalam memodifikasi diri
menggunakan pengetahuan dan strategi yang telah mereka pelajari untuk
menyesuaikan respon pada situasi pembelajaran yang baru.
1.
Sensori
Sensori
meruapakan tahapan dimana individu menggunakan kemampuan sensorik yang ia milki
berdasarkan pengalaman luar yang ia hadapi. Pengenalan visual seperti symbol
dan bentuk dari suatu benda yang dapat diperoleh dari indera yang dimilki oleh
individu merupakan tahapan sensory atau sering diistilahkan oleh piaget sebagai
sensory inteligence
2.
Memori
Memori
merupakan ingatan yang berisikan rentetan informasi. Para psikolog pendidikan
mempelajari bagaimana informasi diletakkan atau disimpan dalam memori,
bagaimana dipertahankan atau disimpan setelah disandikan (encoded), dan bagaimana ditemukan atau diungkap kembali untuk tujuan
tertentu dikemudian hari. Memori membuat diri kita terasa berkesinambungan.
Tanpa memori, anda tidak mampu menghubungkan apa yang terjadi kemarin dengan
apa yang terjadi sekarang. Dewasa ini, para psikolog pendidikan menyatakan
bahwa penting untuk tidak memandang memori dari segi bagaimana siswa
menambahkan sesuatu ke dalam ingatan, tetapi harus dilihat dari segi bagaimana
anak menyusun memori mereka (Schacter, 2001). Pembagian memori dfokuskan pada encoding (penyandaian), penyimpanan, dan
pengambilan (retrieval).
a.
Encoding
Dalam
bahasa sehari-hari, encoding banyak
kemiripan dengan atensi dan pembelajaran. Saat siswa mendengarkan guru
berbicara, menonton film, mendengarkan musik, atau bicara dengan kawan, dia
sedang menyandikan informasi ke dalam memori. Ada enam konsep yang berhubungan
dengan encoding, yakni atensi,
pengulangan, pemprosesan mendalam, elaborasi, mengkonstruksi citra (imaji), dan
penataan (organisasi).
a.1 Atensi
Atensi
adalah memfokuskan dan mengonsentrasikan sumber daya mental. Salah satu
keahlian penting dalam memerhatikan adalah seleksi. Atensi bersifat selektif
karena sumber daya otak terbatas (Mangels, Piction, & Craik, 2001). Saat
guru memberikan instruksi untuk mengerjakan suatu tugas, siswa perlu
memperhatikan apa yang dikatakan guru dan tidak diganggu oleh murid lain yang
bicara. Saat murid belajar untuk menghadapi ujian, mereka harus fokus secara
selektif pada buku yang mereka baca dan menghindari atau menghilangkan stimuli
lain seperti suara televisi.
a.2
Pengulangan
Pengulangan
merupakan repetisi informasi dari waktu ke waktu agar informasi lebih lama
berada di dalam memori. Pengulangan akan bekerja dengan baik apabila murid
perlu menyandikan dan mengingat daftar item untuk periode yang singkat, seperti
pada saat belajar untuk ujian yang akan dilakukan lebih dari seminggu lagi maka
mereka menggunakan strategi pengulangan.
a.3
Pemrosesan Mendalam
Menyatakan
bahwa pemrosesan memori terjadi pada kontinum dari dangkal ke mendalam, di mana
pemrosesan yang mendalam akan menghasilkan memori yang lebih baik karena ciri
fisik atau indrawi dari suatu stimuli akan dianalisis lebih dahulu pada level
dangkal. Ini dilakukan dengan mendeteksi garis, sudut, dan kontur dari huruf
cetak atau frekuensi, durasi, dan kekerasan suara. Kemudian pada level
pemrosesan menengah, stimuli tersebut dikenali dan diberi label. Kemudian pada
level mendalam, informasi ini diproses secara semantik dari segi maknanya.
a.4 Elaborasi
Ekstensivitas
pemrosesan memori dalam penyandian, jadi saat anda menyajikan konsep demokrasi
kepada murid, mereka kemungkinan akan mengingatnya dengan lebih baik jika
mereka diberikan contoh.
a.5
Mengkonstruksi Citra
Allan
Paivo (1971, 1986:318) percaya bahwa memori disimpan melalui satu atau dua
cara: sebagai kode verbal atau sebagai kode citra (imajinasi). Misalnya, ketika
mengingat gambar dengan menggunakan label secara detail dan jelas maka akan
semakin baik memori dalam mengingat informasi tersebut.
a.6 Penataan
(Organisasi)
Semakin
tertata informasi yang disajikan, semakin mudah siswa untuk mengingatnya.
Terutama berlaku jika menata informasi secara hierarkis atau dengan
menjelaskannya. Juga, jika mendorong siswa untuk mengorganisasikan informasi,
mereka sering kali akan mengingat dengan lebih baik ketimbang jika tidak diberi
instruksi penataan yang baik (Mandler, 1980:319).
b.
Penyimpanan
b.1
Memori Jangka Pendek
Sistem memori berkapasitas terbatas
di mana informasi dipertahankan sekitar 30 detik, kecuali informasi tersebut
diulangi atau diproses lebih lanjut di mana dalam kasus tersebut daya simpannya
dapat lebih lama.
b.2
Memori Jangka Panjang
Memori
yang menyimpan banyak informasi selama periode waktu yang lama secara relatif
permanen. Kapasitas memori jangka panjang manusia 2,8x10 (280 kuintriliun) bit,
yang berarti bahwa kapasitas penyimpanan memori jangka panjang pada dasarnya
tidak terbatas.
c.
Pengambilan
c.1
Pengambilan Kembali
Ketika
kita mengambil sesuatu dari “gudang data” kita menyelusuri gudang memori
kitauntuk mencari informasi yang relevan. Misalnya, jika kita bertanya pada
siswa bulan apa sekarang, jawabannya mungkin muncul segera. Artinya,
pengambilan kembali ini bersifat otomatis. Tetapi, jika kita bertanya kepada
siswa nama tamu yang datang ke kelas dua bulan lalu, maka proses pengambilan
informasinya mungkin membutuhkan banyak usaha.
c.2
Melupakan
Lupa
bukan karena kita kehilangan memori dari tempat penyimpanan, tetapi karena ada
informasi lain yang menghambat upaya kita untuk mengingat informasi yang kita
inginkan. Jadi, berlalunya waktu bisa membuat orang menjadi lupa. Peneliti
memori Daniel Schacter (2001:329) menyebutkan bahwa pelupaan terjadi karena
berlalunya waktu.
3.
Kognitif
Pada
hakikatnya kognisi tidak selalau berkaitan dengan intelegensi melainkan semua
bentuk pengalama oleh yang dialami oleh individu. Menurut Flavell “ The traditional image of congnition…this
images includes such higher mental-processes types of psychologhycal entities
as knowledge, consciousness, intelligence, thinking, imagining, creating,
generating plans and strategies, reasoning, inferring, probem solving,
conceptualizing, classifying and realating,symbolizing, and perhaps fantasizing
and dreaming “
4.
Metakognitif
Metakognitif
merupakan kognisi tentang kognisi, atau “mengetahui tentang mengetahui”
(Flavell, 1999; Flavell, Miller, & Miller, 2002). Terdapat perbedaan antara
pengetahuan metakognitif dengan aktivitas kognitif (Ferrari & Sternberg,
1998). Pengetahuan kognitif melibatkan usaha monitoring dan refleksi pada pikiran seseorang pada saat sekarang.
Ini termasuk pengetahuan faktual, seperti pengetahuan tentang tugas, tujuan,
atau diri sendiri dan pengetahuan strategis, seperti bagaimana dan kapan akan
menggunakan prosedur spesifik untuk memecahkan masalah. Aktivitas metakognitif
terjadi saat siswa sadar menyesuaikan dan mengelola strategi pemikiran mereka
pada saat memecahkan masalah dan memikirkan sesuatu tujuan.
B.1
Perubahan Developmental
Studi
developmental yang diklasifikasikan sebagai “metakognitif” memfokuskan pada
metamemori atau pengetahuan tentang memori. Ini mencakup tentang pengetahuan
memori seseorang, seperti kemampuan siswa memonitor apakah dirinya sudah cukup
belajar untuk menghadapi ujian yang akan dilangsungkan minggu depan.
B.2
Strategi Metakognitif
Menurut
Pressley (McCormick & Pressley, 1997; Pressley, 1983) bahwa kunci
pendidikan membantu siswa mempelajari serangkaian strategi yang dapat digunakan
dan menghasilkan solusi dari suatu masalah. Pemikir yang baik juga tahu kapan
dan di mana harus menggunakan strategi dan memahami kapan dan di mana
menggunakan strategi dari aktivitas yang dilakukan siswa dalam belajarnya.
Menurut
perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental,
bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat
behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan
tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku
mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan
semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih
penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan
kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak
diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni
belajar. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu,
proses pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan
penggunaan kemampuan berpikir. Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep
dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada struktur dan strata
intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi
pembelajaran, ia mudah menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis,
menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa
teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori
medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori
penemuan Bruner dan teori kognitif Bandura.
1) Teori Gestalt
Psikologi
kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya
seperti Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt
ini belum merasa puas dengan penemuan-penemuan para ahli sebelumnya yang
menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta manusia
bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh
gestalt lebih menekankan pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah
sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus yang
mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang
utuh antara rohani dan jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi dengan
lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga melibatkan unsur
subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin
& Wahyuni, 2007: 88).
Menurut
teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan,
pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan
antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori
behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat
mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori
gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan
tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang terkenal
dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang berarti
teratur, seimbang, dan harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan pragnanz,
menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Untuk menemukan pragnanz
diperlukan adanya pemahaman (insight).
Menurut
Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu:
(1) pemahaman dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh
pengalaman belajar yang lalu, (3) pemahaman tergantung kepada pengaturan
situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar dengan
pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi
pemahaman situasi lain (Sukmadinata, 2007: 171).
3) Teori Perkembangan
Piaget
Kecepatan
perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan
tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap
ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan intelektual baru yang memungkinkan
orang memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks (Trianto, 2007b: 22).
Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses
genetik. Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis dari perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur
seseorang, maka semakin kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat
pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan
hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu
sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan
menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh
melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan
(Sanjaya, 2006: 122).
Kaitannya
dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan,
yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan
(pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam
benak peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif
dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Apabila
seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan
dimodifikasi sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini
disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang harus disesuaikan
dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin,
2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah
pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses belajar seseorang
adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
umurnya (Muhaimin, 2002: 200).
4) Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut
David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada
belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara
arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang
telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Agar
tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah
yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal
atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan pelajaran hendaknya
dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan
beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama
substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti
mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007:
188)
Selaras
dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan
persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi
yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik serta
tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan situasi
belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan
penting karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan
atau yang diperoleh apabila peserta didik tidak mempunyai keinginan dan
pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002: 201).
Singkatnya,
inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu
suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007: 25).
5) Teori
Penemuan Bruner
Salah
satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner
yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik.
Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto,
2007: 26)
Selain
ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga
berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang.
Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif,
dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua,
tahap ekonit, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik, dimana individu
mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika
berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini dilakukan dengan pertolongan sistem
simbol (Muhaimin, 2002: 200).
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin & Wahyuni, Esa Nur, 2007, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
Muhaimin, et.al., 2002, Paradigma
Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya
Paivo, A.1971. Imagery and Verbal Processes. Forth
Worth, TX: Harcourt Brace
Pearson, P.D.,
dkk. 1979. The Effect of Background
Knowledge on Young Children’s Comprehension of Explicit and Implicit
Information. Journal of Reading Behavior, 11, 201-210
Piaget, J. 1952.
The Origins of Intelligence in Children.
New York: International Universities Press.
Pressley, M.,
Levin, J.R & McCormick, C.B.1980. Young
Children’s Learning of a Foreign Language Vocabulary: A sentence variation of
the keyword. Contemporary Educational Psychology, 5, 22-29
Purwanto, Ngalim
M. 2002. Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Santrock, John
W. 2001. Educational Psychology.
Dallas: University of Texas
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2007, Landasan Psikologi Proses
Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya
Trianto, 2007, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya,
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Tidak ada komentar:
Posting Komentar