Kamis, 20 November 2014

sumber pengetahuan



HASIL LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 4 FILSAFAT ILMU
“SUMBER PENGETAHUAN”
DOSEN PENGAMPU: Dr. Endang Koenmarjati, M.pd

                                                      https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ_a-kjk6wlarPA9r9EnLMh_27n4bdKwVRKGGSr9HPUJB098dhJoQ

DISUSUN OLEH:
AJENG PRIENDARNINGTYAS (7316130628)
ANDINA ICHSANI (7316130243)



PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pengetahuan di mulai dari rasa ingin tahu, kepastian di mulai dari rasa ragu-ragu, dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dari apa yang telah kita ketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini.
Akal merupakan potensi rohaniah yang memiliki berbagai kesanggupan, seperti kemampuan berfikir, menyadari, menghayati, mengerti, dan memahami. Jadi pada dasarnya pemikiran, kesadaran, penghayatan, pengertian, dan pemahaman semuanya merupakan istilah yang menyatakan kegiatan akal itu berpusat atau bersumber dari kesanggupan jiwa yang disebut dengan intelegensi atau sifat kecerdasan jiwa.
            Berpikir dimaksudkan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, dengan kata lain bahwa kebenaranlah yang menjadi tujuan utamanya, dari proses berpikirnya yang mengatakan pengorganisasian dan pembudian pengalaman-pengalaman secara empiris. Kebenaran adalah adanya korespondensi, koherensi, dan konsistensi antara subjek dan objek secara pragmatis, jadi ada dua kebenaran yang ingin di capai yaitu mutlak dan relatif. Dikatakan relatif karena kebenaran ini merupakan hasil pemikiran manusia dalam teori pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri bukanlah sesuatu yang sudah selesai terpikirkan, tetapi sesuatu hal yang tidak pernah mutlak karena masih selalu membuka diri untuk pemikiran kembali atau peninjauan ulang.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dasar-dasar Pengetahuan
2. Konsep Dasar-dasar Pengetahuan
3. Sarana Sumber Pengetahuan

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar-dasar Pengetahuan
Pengetahuan merupakan kajian yang cukup panjang, sehingga terjadi pergulatan sejarah pemikiran filsafat dalam menemukan pengertian pengetahuan. Hal ini dikarenakan adanya “keistimewaan” dalam filsafat, yakni adanya perselisihan, pergumulan pemikirannya yang terus berlangsung. Suatu produk pemikiran filsafat selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan, dan bahkan akan ada yang merobohkan pemikiran tersebut, sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan, sedangkan proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematis tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umumnya berupa metode ilmiah.  Metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan yang memilki arti spesifik apabila digabungkan dengan ilmu pengetahuan lain, yaitu sebagai kajian keilmuan yang tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif (dapat dibuktikan secara empiris) dan prediktif (menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).
Pengetahuan dalam pandangan rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokohnya adalah Plato (427-347), menurutnya alam ide itu kekal dan tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa ide bawaan sehingga hanya mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu. Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan menyatakan“innete idea”. Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi, karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristotales dan para penganut Empirisme-Realisme menyanggah yang disampaikan oleh kaum Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan pemahaman yang universal bukan hasil bawaan, tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiris manusia. Aristotales berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dan dirumuskan oleh akal melalui proses pengamatan dan pengalaman inderawi. Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan dibuktikan dengan empiris-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali, tahayul, dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkret, sedangkan aliran rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal-bakal lahirnya positivisme modern dalam kajian keilmuan.
2.2 Konsep Dasar-dasar Pengetahuan
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai cirri-ciri, salah satunya merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu. Menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu, tidak semua kegiatan berpikir berdasarkan pada penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran kita dapat membedakan jenis-jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun melalui kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang di dapat tidak dari kegiatan aktif manusia melainkan ditawarkan atau diberikan, seperti ajaran agama. Melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran, yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham empirisme).
2.3 Sarana-sarana Pengetahuan
2.3.1 Kebenaran
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses tujuh penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaanbagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu?”, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman.
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu, ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut benar.
Salah satu pembahasan dalam epistemologi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transendental. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang esensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakikat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja, tetapi ada dua unsur lain yaitu ”wahyu (revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi yang termanifestasikan dalam diri para nabi dan rasul. Para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia.
Ada dua cara yang mendasar bagi manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu pertama, dengan mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua, dengan mendasarkan diri kepada pengalaman atau empiris. Kaum rasionalis mengembangkan paham atau aliran apa yang kita kenal dengan Rasionalisme, sedangkan mereka yang mendasarkan diri pada pengalaman atau empiris mengembangkan paham atau aliran apa yang kita kenal sebagai Empirisme.
2.3.2 Rasionalisme
Rasionlisme dalam menyusun pengetahuannya bahwa kaum rasionalis menggunakan metode deduktif, dimana premis yang dipakai dalam penalarannya dan didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat di terima. Ide-ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pemikiran manusia, melainkan prinsip itu sendiri yang jauh sudah ada sebalum manusia memikirkannya dan akhirnya paham semacam ini di sebut sebagai paham Idealisme.
Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenai prinsip-prinsip tersebut yang kemudian menjadi dasar pengetahuan. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia melalui kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman atau empiris tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya hanya dengan mengetahui prinsip yang didapatkan melalui penalaran rasional itulah, maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar. Ide-ide dalam kaum rasionalis ini adalah bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran secara rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir seperti ini adalah mengenai "kriteria" untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si B, mungkin saja si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali tidak sama dengan sistem pengatahuan si A karena si B menggunakan ide lain dan mungkin bagi si B memang merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Oleh sebab itu, maka melalui penalaran rasional akan didapatkan berbagai macam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, pemikiran rasional itu cenderung untuk bersifat subyektif dan solipsistik (hanya benar menurut kerangka pemikiran tertentu dalam benak orang yang berpikir tersebut).
2.3.3 Empirisme
Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris menggunakan metode induktif dalam menyusun pengetahuannya. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang bersifat abstract, tetapi melalui fakta atau pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah menurut kaum empiris ini adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia.
Gejala-gejala tersebut apabila kita telaah secara mendalam, mempunyai beberapa karakteristik tertentu, misalnya: “terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu, suatu benda padat akan memanjang kalau dipanaskan, langit mendung diikuti turunnya air hujan”. Hal ini di mana menurut pengamatan kita, hal tersebut akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya "kesamaan" dan "pengulangan", seperti: “bermacam-macam logam apabila kita panaskan maka akan memanjang”. Hal ini memungkinkan kita untuk dapat melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi dengan menggunakan metode induktif, maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum melalui pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual (survival).

Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini adalah pengetahuan yang dikumpulkan cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta atau kaitan mengenai berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis, seperti yang dikatakan Harlord A. Larrabee dalam bukunya, Reliable Knowledge"kecuali kalau dia hanya seorang kolektor barang-barang serba aneka".
Albert Einstein dalam bukunya, Physic and Reality mengingatkan bahwa "tak ada metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu". Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata, karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera manusia. Selain Rasionalisme dan Empirisme, masih ada cara lain untuk mendapatkan pengetahuan dan yang terpenting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang didapatkan manusia secara rasional saat ini maupun secara empiris dan keduanya merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran.
2.3.4 Intuisi
Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu, seperti pada seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah dan tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku, dia sudah sampai pada pemecahan masalahnya. Intuisi ini bekerja dalam suatu keadaan yang tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan mabuk), artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan dan tidak secara sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda (pending) tersebut karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dalam benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Lalu kita merasa yakin bahwa itulah jawaban yang sedang kita cari, namun kita tidak bisa atau belum bisa menjelaskan bagaimana caranya kita menuju.
Intuisi biasanya bersifat individul dan tidak bisa diramalkan atau diterka-terka sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, maka intuisi ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun, pengetahuan intuitif (intuisi) ini bisa juga digunakan sebagai hipotesis  untuk dianalisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang telah kita kemukakan.
2.3.5 Wahyu
Wahyu juga merupakan salah satu sumber pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Pengetahuan semacam ini hanya disalurkan melalui makhluk-makhluk pilihan-Nya, seperti agama yang merupakan sumber pengetahuan yang tidak hanya mengenai kehidupan sekarang, tetapi juga terjangkau pada pengalaman atau empiris yang mencakup masalah-masalah transedental, yakni seperti latar belakang penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di akhirat, dan sebagainya.
Pengetahuan semacam ini mutlak didasarkan kepada kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat gaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber pengetahuan, keselamatan, ketenangan jiwa, dan sebagainya, di mana kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan.


BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu, ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdsarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebutbersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Suatu pernyataan pada dasarnya harus dipercaya terlebih dahulu untuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain.
Misalnya, secara rasional dapat dikaji apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya bersifat konsisten atau tidak. Selain itu, secara empiris dapat dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Dengan kata lain, bahwa agama di mulai dari rasa percaya dan dengan melalui pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau bertambah, bahkan menurun atau berkurang. Pengetahuan lain misalnya seperti ilmu yang bertitik tolak atau sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, barulah kita dapat bertambah yakin atau tetap pada pendirian awal.





















Daftra Pustaka

Bochenski, J.M. 1972. Philosophy: An Introduction. London: Harper Torchbooks
Russell, Bertrand.1912. The Problem of Philosophy. Oxford University
Suhartono, Suparlan. 1995. Dasar-dasar Filsafat. Sleman: Ar-ruz Media
Suriasumantri, Jujun.1982. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Penebar Swadaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar