HASIL LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 4 FILSAFAT ILMU
“SUMBER PENGETAHUAN”
DOSEN PENGAMPU: Dr. Endang Koenmarjati, M.pd
DISUSUN OLEH:
AJENG PRIENDARNINGTYAS (7316130628)
ANDINA
ICHSANI (7316130243)
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan di mulai dari rasa ingin tahu, kepastian di mulai dari
rasa ragu-ragu, dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat berarti
berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dari apa yang telah
kita ketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini.
Akal merupakan potensi rohaniah yang memiliki berbagai kesanggupan,
seperti kemampuan berfikir, menyadari, menghayati, mengerti, dan memahami. Jadi
pada dasarnya pemikiran, kesadaran, penghayatan, pengertian, dan pemahaman
semuanya merupakan istilah yang menyatakan kegiatan akal itu berpusat atau
bersumber dari kesanggupan jiwa yang disebut dengan intelegensi atau sifat
kecerdasan jiwa.
Berpikir
dimaksudkan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui, dengan kata lain
bahwa kebenaranlah yang menjadi tujuan utamanya, dari proses berpikirnya yang
mengatakan pengorganisasian dan pembudian pengalaman-pengalaman secara empiris.
Kebenaran adalah adanya korespondensi, koherensi, dan konsistensi antara subjek
dan objek secara pragmatis, jadi ada dua kebenaran yang ingin di capai yaitu
mutlak dan relatif. Dikatakan relatif karena kebenaran ini merupakan hasil
pemikiran manusia dalam teori pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri bukanlah
sesuatu yang sudah selesai terpikirkan, tetapi sesuatu hal yang tidak pernah
mutlak karena masih selalu membuka diri untuk pemikiran kembali atau peninjauan
ulang.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Dasar-dasar Pengetahuan
2. Konsep Dasar-dasar Pengetahuan
3. Sarana Sumber Pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar-dasar
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan kajian yang cukup panjang, sehingga terjadi
pergulatan sejarah pemikiran filsafat dalam menemukan pengertian pengetahuan.
Hal ini dikarenakan adanya “keistimewaan” dalam filsafat, yakni adanya perselisihan,
pergumulan pemikirannya yang terus berlangsung. Suatu produk pemikiran filsafat
selalu ada yang menguatkan, mengkritik, melemahkan, dan bahkan akan ada yang
merobohkan pemikiran tersebut, sedangkan ilmu merupakan pengetahuan yang
terorganisasi dan diperoleh melalui proses keilmuan, sedangkan proses keilmuan
adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematis tentang suatu sistem.
Perolehan sistematis ini biasanya atau pada umumnya berupa metode ilmiah. Metode ilmiah itu melahirkan “science”. Science atau tepatnya Ilmu pengetahuan yang memilki arti spesifik apabila
digabungkan dengan ilmu pengetahuan lain, yaitu sebagai kajian keilmuan yang
tersistematis sehingga menjadi teori ilmiah-obyektif (dapat dibuktikan secara
empiris) dan prediktif (menduga hasil empiris yang bisa diperiksa sehingga bisa
jadi hasilnya bersesuaian atau bertentangan dengan realita empiris).
Pengetahuan dalam pandangan rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokohnya adalah Plato (427-347),
menurutnya alam ide itu kekal dan tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir
sudah membawa ide bawaan sehingga hanya mengingatnya kembali untuk menganalisa
sesuatu itu. Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh
rasionalis dengan menyatakan“innete idea”.
Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi, karena inderawi memiliki
keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan
itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Aristotales
dan para penganut Empirisme-Realisme menyanggah yang disampaikan oleh kaum
Rasionalis. Mereka berdalih bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada. Hukum-hukum dan
pemahaman yang universal bukan hasil
bawaan, tetapi diperoleh melalui proses panjang pengamatan empiris manusia.
Aristotales berkesimpulan bahwa ide-ide dan hukum yang universal itu muncul dan dirumuskan oleh akal melalui proses
pengamatan dan pengalaman inderawi. Pengetahuan yang tidak bisa diukur dan
dibuktikan dengan empiris-realitas-material merupakan pengetahuan yang hayali,
tahayul, dan bohong (mitos). Aliran empirisme menyatakan bahwa pengetahuan itu
diperoleh melalui pengalaman-pengalaman yang konkret, sedangkan aliran
rasionalis berpendapat bahwa pengetahuan manusia didapatkan melalui penalaran
rasional. Kedua pendekatan ini merupakan cikal-bakal lahirnya positivisme
modern dalam kajian keilmuan.
2.2 Konsep Dasar-dasar Pengetahuan
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk
yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber
pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran
menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan
dengan perasaan. Penalaran mempunyai cirri-ciri, salah satunya merupakan suatu
proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan
berpikir menurut suatu pola tertentu. Menurut logika tertentu dan sifat
analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan
kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika
penalaran yang bersangkutan. Kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan
langkah-langka tertentu, tidak semua kegiatan berpikir berdasarkan pada
penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran
kita dapat membedakan jenis-jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang
didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik
secara nalar maupun melalui kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua,
pengetahuan yang di dapat tidak dari kegiatan aktif manusia melainkan
ditawarkan atau diberikan, seperti ajaran agama. Melakukan kagiatan analisis
maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang
berasal dari sumber kebenaran, yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta
(paham empirisme).
2.3 Sarana-sarana Pengetahuan
2.3.1 Kebenaran
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu baik logika deduktif maupun logika
induktif, dalam proses tujuh penalarannya mempergunakan
premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan “bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu?”, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia
untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri
kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis
mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada
pengalaman.
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya
benar. Oleh sebab itu, ada beberapa teori yang
dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori
koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang
ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang
dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut benar.
Salah
satu pembahasan dalam epistemologi
adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat
relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transendental. Tuhan merupakan
sumber dan sebab pertama “causa prima”
dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama
meninggalkan yang esensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakikat segala sesuatu
bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal
saja, tetapi ada dua unsur lain yaitu ”wahyu (revelation) dan ilham (intuisi)”.
Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi yang
termanifestasikan dalam diri para nabi dan rasul. Para agamawan mengatakan
bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan
oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia.
Ada dua cara yang
mendasar bagi manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu pertama, dengan mendasarkan diri
kepada rasio dan yang kedua,
dengan mendasarkan diri kepada pengalaman atau empiris. Kaum rasionalis
mengembangkan paham atau aliran apa yang kita kenal dengan Rasionalisme, sedangkan mereka yang mendasarkan diri pada
pengalaman atau empiris mengembangkan paham atau aliran apa yang kita kenal
sebagai Empirisme.
2.3.2 Rasionalisme
Rasionlisme dalam
menyusun pengetahuannya bahwa kaum rasionalis menggunakan metode deduktif, dimana premis yang dipakai dalam penalarannya
dan didapatkan dari ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat di terima.
Ide-ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pemikiran manusia, melainkan prinsip
itu sendiri yang jauh sudah ada sebalum manusia memikirkannya dan akhirnya
paham semacam ini di sebut sebagai paham Idealisme.
Fungsi pikiran manusia
hanyalah mengenai prinsip-prinsip tersebut yang kemudian menjadi dasar
pengetahuan. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia melalui
kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman atau empiris tidaklah membuahkan
prinsip dan justru sebaliknya hanya dengan mengetahui prinsip yang didapatkan
melalui penalaran rasional itulah, maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian
yang berlaku dalam alam sekitar. Ide-ide dalam kaum rasionalis ini adalah
bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia
melalui penalaran secara rasional.
Masalah utama yang
timbul dari cara berpikir seperti ini adalah mengenai "kriteria"
untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah
jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan
dapat dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si B, mungkin saja si B
menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali tidak sama dengan sistem
pengatahuan si A karena si B menggunakan ide lain dan mungkin bagi si B memang
merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Oleh sebab itu, maka melalui
penalaran rasional akan didapatkan berbagai macam pengetahuan mengenai suatu
obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua
pihak. Dalam hal ini, pemikiran rasional itu cenderung untuk bersifat subyektif dan solipsistik (hanya
benar menurut kerangka pemikiran tertentu dalam benak orang yang berpikir
tersebut).
2.3.3 Empirisme
Berbeda dengan kaum
rasionalis, kaum empiris menggunakan metode induktif dalam menyusun
pengetahuannya. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan
didapatkan lewat penalaran rasional yang bersifat abstract, tetapi melalui fakta atau pengalaman
yang konkret. Gejala-gejala alamiah
menurut kaum empiris ini adalah bersifat konkret dan
dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia.
Gejala-gejala tersebut
apabila kita telaah secara mendalam, mempunyai beberapa karakteristik tertentu,
misalnya: “terdapat pola yang
teratur mengenai suatu kejadian tertentu, suatu benda padat akan memanjang
kalau dipanaskan, langit mendung diikuti turunnya air hujan”. Hal
ini di mana menurut pengamatan kita, hal tersebut akan membuahkan pengetahuan
mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu,
kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya "kesamaan" dan
"pengulangan", seperti: “bermacam-macam
logam apabila kita panaskan maka akan memanjang”. Hal ini
memungkinkan kita untuk dapat melakukan suatu generalisasi dari
berbagai kasus yang telah terjadi dengan menggunakan metode induktif, maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku
secara umum melalui pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat
individual (survival).
Masalah utama yang
timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini adalah pengetahuan yang
dikumpulkan cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan
tersebut belum tentu bersifat konsisten
dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif.
Suatu kumpulan mengenai fakta atau kaitan mengenai berbagai fakta, belum
menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis, seperti yang
dikatakan Harlord A. Larrabee dalam
bukunya, Reliable Knowledge, "kecuali kalau dia hanya
seorang kolektor barang-barang serba aneka".
Albert Einstein dalam bukunya, Physic and Reality mengingatkan
bahwa "tak ada metode induktif yang memungkinkan berkembangnya
konsep dasar suatu ilmu". Kaum empiris menganggap bahwa
dunia fisik adalah nyata, karena merupakan gejala yang tertangkap oleh
pancaindera manusia. Selain Rasionalisme dan Empirisme,
masih ada cara lain untuk mendapatkan pengetahuan dan yang terpenting untuk
kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang didapatkan manusia
secara rasional saat ini maupun secara empiris dan keduanya merupakan induk
produk dari sebuah rangkaian penalaran.
2.3.4 Intuisi
Intuisi merupakan salah
satu sumber pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu,
seperti pada seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah dan
tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui
proses berpikir yang berliku-liku, dia sudah sampai pada pemecahan masalahnya. Intuisi
ini bekerja dalam suatu keadaan yang tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan
mabuk), artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan dan tidak secara
sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang
kemudian kita tunda (pending) tersebut karena menemui
jalan buntu, tiba-tiba muncul dalam benak kita yang lengkap dengan jawabannya.
Lalu kita merasa yakin bahwa itulah jawaban yang sedang kita cari, namun kita
tidak bisa atau belum bisa menjelaskan bagaimana caranya kita menuju.
Intuisi biasanya bersifat
individul dan tidak bisa diramalkan
atau diterka-terka sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur,
maka intuisi ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun, pengetahuan intuitif (intuisi)
ini bisa juga digunakan sebagai hipotesis untuk dianalisis selanjutnya
dalam menentukan benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang telah kita
kemukakan.
2.3.5 Wahyu
Wahyu juga merupakan
salah satu sumber pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan semacam ini hanya disalurkan melalui makhluk-makhluk pilihan-Nya,
seperti agama yang merupakan sumber pengetahuan yang tidak hanya mengenai
kehidupan sekarang, tetapi juga terjangkau pada pengalaman atau empiris yang
mencakup masalah-masalah transedental, yakni
seperti latar belakang penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di
akhirat, dan sebagainya.
Pengetahuan semacam ini
mutlak didasarkan kepada kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat gaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan merupakan sumber
pengetahuan, keselamatan, ketenangan jiwa, dan sebagainya, di mana kepercayaan
terhadap wahyu sebagai cara penyampaian merupakan dasar dari penyusunan
pengetahuan.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang
dianggapnya benar. Oleh sebab itu, ada beberapa teori yang
dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori
koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang
ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang
dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdsarkan teori
koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebutbersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
pembuktian berdasarkan teori koheren. Suatu pernyataan pada
dasarnya harus dipercaya terlebih dahulu untuk dapat diterima, pernyataan ini
bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain.
Misalnya,
secara rasional dapat dikaji
apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya bersifat konsisten atau tidak.
Selain itu, secara empiris dapat
dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau
tidak. Dengan kata lain, bahwa agama di mulai dari rasa percaya dan dengan
melalui pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau bertambah,
bahkan menurun atau berkurang. Pengetahuan lain misalnya seperti ilmu yang
bertitik tolak atau sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya dan
setelah melalui proses pengkajian ilmiah, barulah kita dapat bertambah yakin
atau tetap pada pendirian awal.
Daftra
Pustaka
Bochenski, J.M. 1972. Philosophy: An Introduction. London: Harper Torchbooks
Russell, Bertrand.1912. The Problem of Philosophy. Oxford University
Suhartono, Suparlan. 1995. Dasar-dasar Filsafat. Sleman: Ar-ruz Media
Suriasumantri, Jujun.1982. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Penebar
Swadaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar