FILSAFAT ILMU
METODOLOGI PEMIKIRAN
DALAM FILSAFAT PENGETAHUAN
FENOMENOLOGI
Oleh : Zainul Hakim,
S.EI, M.PdI
A. PENDAHULUAN
Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari
400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme,
tidak saja pada ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu
humanities. Positivisme mendasarkan ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta obyektif.
Jika faktanya adalah “Gejala kehidupan material”, ilmu pengetahuannya adalah
biologi. Jika fakta itu “benda-benda mati” ilmu pengetahuannya adalah fisika.
Nah dalam hal ini yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis
pengetahuan ini bukanlah pada pola pikir positivisme yang memang sesuai bila
diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial.[1]
Persoalan serius yang selalu menarik perhatian
dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek observasinya yang berbeda
dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Hal
inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan
metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’
peran subjek kedalam proses keilmuan itu sendiri.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme
dalam ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan
subyek yang menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses
keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.[2] Tulisan
berikut ini lebih akan memfokuskan pada kajian metode fenomenologi.
Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan
dengan Husserl, yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode
pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya,
fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada
halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subyek harus melepaskan atau –
menurut istilah Husserl, menaruh antara tanda kurung semua
pengandaian-pengandaian dan kepercayaan-kepercayaan pribadinya serta dengan
simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Langkah ini
disebutnya epoche. Melalui proses ini obyek pengetahuan dilepaskan
dari unsur-unsur semantaranya yang tidak hakiki. sehingga tinggal eidos (hakikat
obyek) yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.
Jelaslah disini bahwa fonomenologi Husserl menebas tradisi yang sudah dirintis
sejak Descartes hingga Hegel, yang mengembangkan pengetahuan lewat konstuksi
spekulatif di dalam budi. Bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran
data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.
Dengan segera fonomenologi memperoleh pamor
yang sangat luas. Hal ini karena fonomenologi tidak mengajukan suatu sistem
pemikiran yang ekslusif, sebagaimana aliran-aliran filsafat yang berkembang
sebelumnya, yang menjadi isme-isme besar, melainkan cara, atau metode saja
dalam mendekati persoalan. Dengan demikian fenomenologi dapat digunakan untuk
atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi dan
studi-studi agama. Semuanya ini mempunyai kesamaan umum dalam hal empati pada
obyek penyelidikan dan mencoba menangkap hakikat obyeknya, sebagaimana ia
menampakkan diri dalam kesadaran.[3]
Metode fenomenologi tidak hanya menghasilkan
suatu deskripsi mengenai gejala-gejala yang dipelajari, sebagaimana sering
diperkirakan, tidak juga bermaksud menerangkan hakikat filosofis dari fenomena
itu; sebab fonomenologi bukanlah sekedar deskriptif atau normatif belaka,
tetapi metode ini memberikan kepada kita arti yang lebih dalam dari sutu
fenomena.
B. PENGERTIAN
Kata fenomenologi berasal dari kata
Yunani, phainesthai yang berarti “menunjukkan” dan
“menampakkan diri sendiri”.[4] Pada
literatur lain ia berasal dari kata Yunani phenomenon, yaitu
sesuatu yang tampak yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Jadi, fenomenologi adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang menampakkan diri.[5]
Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi
diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938]., meski sebenarnya istilah
tersebut telah digunakan oleh beberapa filsuf sebelumnya.[6] Namun
dialah yang kemudian dikenal sebagai pendiri fenomenologi yang
berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat
mencapainya. Adapun inti pemikiran fenomenologi menurut Husserl adalah bahwa
untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang harus kembali pada
“benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan pendirian ini mengungkapkan dengan
kalimat Zu den Sachen [to the things].[7] kembali
kepada “benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “Benda-benda” di beri
kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat
“Benda-benda” tidak lagi tergantung kepada orang yang membuat pernyataan,
melainkan ditentukan oleh “Benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi “Benda-benda” tidaklah secara
langsung memperlihatkan hakikat sendirinya. Apa yang kita temui pada
“benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat. Hakikat benda itu ada
di balik yang kelihatan itu; karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakikat, maka di perlukan pemikiran ke dua(second
look). Alat yang di gunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah
intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenchau, melihat (secara
intuitif) hakikat gejala-gejala.[8]
Dalam usaha melihat hakikat dengan intuisi,
Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang dimaksud reduksi dalam hal ini
adalah penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan
intuisi dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan penyaringan atau pengecilan.
Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang
artinya sebagai penempatan sesuatu diantara dua karung. Namun yang dimaksud
adalah “melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara dan
berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya”.[9] Reduksi
ini adalah salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologi bersikap
netral. Tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada
dalam hal ini diberi kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”.[10]
C. BAGAIMANA PENDEKATAN REDUKSI BEKERJA
Ada tiga reduksi yang di tempuh untuk mencapai
realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologi, yaitu:
1.reduksi fenomenologis.
2.reduksi eidetis.
3.reduksi fenomenologis-transendental’
1. Reduksi fenomenologis
Fenomena seperti di sebut di atas adalah
menapakkan diri. Dalam praktek hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan
penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita
bahwa obyek yang kita lihat adalah riil atau nyata. kita telah meyakini sebagai
realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang di tuju oleh fenomenologi
adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya dapat di
capai dengan”mengalami“ secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai
realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus di tinggalkan atau di
buat dalam kurung. Segala subjektivitas di singkirkan. Termasuk di dalam hal
ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk
pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam
kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini di sebut
fenomenologis.[11]
Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan
diri” dari segala subjektifitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai
realitas itu.
2. Reduksi Eidetis
Eidetis berasal dari kata eidos,
yaitu inti sari. Reduksi eiditis ialah penyaringan atau penempatan di dalam
kurung. Segala hal yang bukan eidos, inti sari atau realitas fenomena. Hasil
reduksi ke dua ini adalah penilikan realitas.[12] Dengan
reduksi eidetis, semua segi,aspek dan profil dalam fenomena yang hanya
kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan
objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil
yang tiada terhingga.
Hakikat (realitas) yang di cari dalam hal ini
adalah struktur dasar yang meliputi isi fundamental dan semua sifat hakiki.
Untuk menentukan sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl
memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh
tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian di kurangi atau di
tambah salah satu sifat.[13] pengurangan
atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap
sebagai sifat-sifat yang hakiki.
Reduksi eiditis ini menunjukan bahwa dalam
fenomenologi kriteria kohesi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang
beruntun terhadap objek harus dapat di satukan dalam suatu horizon yang
konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai
dengan yang pertama atau yang selanjutnya.
3. Reduksi Fenomenologi-Transendental
Di dalam reduksi ini yang di tempatkan di
antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai
hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya
orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri.[14]Reduksi
ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai
hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran.
Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal yang
menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai hasil
reduksi ini adalah fakta kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula
kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan
penemuan dengan fenomena tertentu. kesadaran yang di temukan adalah kesadaran
yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku didalam
aktrus-aktrus dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku”
transendental .[15]
Dalam hal ini ”aku” transendental
mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya
Husserl menyadari bahwa objek- objek pada umumnya tidak terlepas dari proses
sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami
objek-objek. Kursi misalnya tidak jelas maknanya bagi seorang yang tetap hidup
di hutan, atau dalca tidak akan di pahami maknanya
kecuali oleh sebagian orang-orang India bagian selatan. Objek yang di
dasari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek,
sedangkan subjek lebih dari satu untuk menghindari ini. Husserl membuat reduksi,
lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia mamnusia umum).12 Dengan
reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi
seluruh perspektifnya. Dan “ aku “ transendental antar subjek. Ini yang
ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.
Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan
bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia.
Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi
filsafat dan ilmu pengetahuan umum. Akan tetapi, didalam sistem filsafatnya,
Husserl akhirnya menjurus pada idealisme transendental seperti digambarkan
diatas. Dan diceritakan bahwa hal itu bertentangan dengan tujuan semula. Namun
semula, bagaimana jalan keluar yang ditempuhnya dalam menyelesaikan masalah itu
sampai akhir hayatnya, tidak jelas.
Pada umumnya pengikut-pengikutnya yang
menyetujui idealisme Husserl, mereka hanya sepaham dengan Husserl pada tahap
awal dari perkembangan pemikirannya. Pendekatan fenomenologis yang diambil
pengikut-pengikutnya tidak termasuk reduksi terakhir yang menimbulkna idealisme
Transendental.
Proses reduksi itu apabila disederhanakan
dapat disebut sebagai penumbuhan sikap kritis dalam memahami secara menyeluruh
dari berbagai seginya. Artinya, kita dengan tidak mudah menerima pengertian dan
rumusan seperti itu atau pemahaman kita yang spontan terhadap sesuatu belum
tentu menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Yang demikian hanyalah
pandangan pertama.14 Kita harus melakukan
pandangan kedua meninggalkan segala tabir yang menghalangi kita menemukan
hakikat objek. Kita kembali kepada objek secara langsung.
Pendekatan fenomenologi ini sangan besar
pengaruhnya didalam filsafat belakangan ini. Bahkan juga pendekatan ini
digunakan dalam ilmu – ilmu sosial dan matematika. J.F.Donceel, misalnya,
telah menggunakan pendekatan fenomenologi dalam memahami manusia didalam
bukunya ,philisiphical Antropology. Roger Garaudy juga menggunakan
pendekatan fenomenologidalam usahanya memahami filsafat, sejarah politik,
kebudayaa- kebudayaan dan agama.15
D. SEBUAH ILUSTRASI FENOMENOLOGIS
Sebuah cerita dari James Horriot (Jangan
Bangunkan Dokter Hewan Yang Tidur, London 1973). Salah satu episode dalam buku
ini melukiskan perubahan besar dalam hidup seorang Petani inggris waktu sebuah
zaman menggantikan kuda dengan traktor dan truk. Sebelum terjadi mekanisasi
pertanian, kandang penuh dengan kuda-kuda yang kuat dan hidup banyak
orang-orang bujang yang bekerja ditempat pertanian yang sebagian besar diisi
dengan mengurus kuda yaitu memberi makanan, membersihkan kandang, mengawinkan,
menolong kelahiran dan sebagainya, sebuah usaha yang amat berat tetapi
memuaskan. Terlebih lagi jika digelar pesta-pesta pertandingan dan perlombaan
pacuan kuda. Kuda dihiasi di bawa ke alun-alun, diperiksa, dipacukan dan
kemudian diberikan hadiah.
James Horriot memulai ceriteranya sesudah
terjadi revolusi tekhnologi. Dalam sebuah kandang yang dahulu dipenuhi oleh
binatang-binatang kuda yang mulia, saat ini hanya tersisi satu kuda saja. Hewan
yang sudah tua-renta, sakit-sakitan sampai-sampai pemiliknya tidak sampai hati
membawanya ketukang potong hewan karena masih ada an old farmhand seorang
bujang tua yang tidak bisa memisahkan diri dari teman seumur hidupnya itu.
Kemudian didatangkanlah tiga orang dokter hewan. Seorang dokterhewan tanpa hati
(robot), seorang dokter hewan yang masih manusia dan satu lagi seorang dokter
yang ahli fenomenologi.
Bagaimana cara kerja tiga dokter hewan ini
saat dihadapkan pada kuda tua renta itu? Dokter hewan tanpa hati akan memeriksa
kuda tua yang sakit itu dengan pandangan bahwa kuda itu bukan hal lain dari
sebuah organisme yang terdiri dari tulang, otot, saraf, darah dan kulit
sehingga dia tidak bisa memberi keputusan lain kecuali kudi ini sudah harus
mati. Ilustrasi diatas merupakan sutu contoh reduksi biologi. Berbeda dengan
seorang dokter hewan dengan hati seperti dilukiskan James Herriot. Dokter itu
mengerti bahwa kuda ialah kuda ialah kuda. dengan penuh rasa kasihan ia
menobati pasiennya, berusaha supaya makhluk yang tua dan sakit menjadi sembuh
kembali karena ia tahu bahwa dia teman seumur hidup dari Mr. Cliff seorang
buruh pertanian yang masih hidup dalam dunia kekudaaan mulia, dengan
pesta-pesta, perlombaan dan suka duka yang dialami di dalam dunia pergaulan
manusia dan kudanya.
Lain lagi pada saat seorang dokter yang
fenomenolog. Pada saat dia berdiri didepan kuda dia insaf bahwa tidak ada obyek
tanpa sabyek dan benda yang ada ialah selalu benda yang saya lihat, benda yang
saya dengar, meraba, atau menempatkan dalam sutu ruang. Sampai disini jelaslah
bahwa perbedaan dokter hewan robot dan dokter hewan dengan hati letaknya adalah
pada reduksi. Kuda mulia, teman seumur hidup direduksikan menjadi organisme
yaitu rangka yang diisi daging. Reduksi sang fenomenolog lebih hebat lagi, dia
tidak memikirkan soal apakah diluar kita ada kuda atau tidak. Tetapi ia hanya
akan melukiskan apa yang dialami yaitu kuda sebagai warna, cahaya, ukuran,
bunyi dan cahaya. Hal terakhir bukanlah kacamata seniman, dan perbedaannya
begitu sulit ditangkap sehingga untuk mencari penjelasannya kita harus
mendengar suara dari seorang filsuf Jerman abad yang lalu yang pengaruhnya
tidak kalah dengan pengaruh Plato yaitu: George Wilhelm Friedrich Hegel.[16]
Dapat juga dikemukakan contoh dari bayak
sekali fenomena keagamaan yang kita saksikan ditengah masyarakat, yang semula
ia sebagai tradisi kemudian berkembang menjadi suatu budaya yang memebentuk
sistem kepercayaan. misalnya mengapa seseorang memasang sesaji, mengapa
seseorang mempersembahkan kurban untuk para dewa, atau dalam Islam kurban sebagai
syari’at penyembelihan hewan yang “nilai kesediannya”dipersembahkan untuk Alloh
SWT. Dan nilai obyeknya diberikan kepada sesama manusia.
Pokok bahasan dari setiap penyelidikan ilmiah
terhadap agama adalah fakta agama itu sendiri dan pengungkapannya. Bahan-bahan
ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia,
tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti
do’a upacara-upacara dan sikap-sikap religius yang lainnya sebagaimana termuat
dalam mitos-mitos dan simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaannya berkenaan
dengan yang suci, makhluk-makhluk supranatural, dewa-dewa dan sebagainya.
Penyelidikan ilmiah terhadap fonomena agama ini meski dilakukan oleh berbagai
disiplin ilmu antara lain sosiologi dan antropologi agama, yang menekankan pada
inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang
terjadi antar mereka.[17],
Psikologi agama, teologi agama, yang kesemuanya akan dijadikan data dalam
mendapatkan pengetahuan tentang fenomena agama dimaksud.
Sejarah agama telah mencatat telah memperoleh
manfaat dari penyelidikan ilmu-ilmu diatas. Ilmu-ilmu ini telah dan masih terus
membawa sumbangan yang berarti untuk studi agama, dimana data dan kesimpulannya
menolong para sejarawan agama untuk memahami kontek hidup dari sumber-sumbernya
sebab tidak ada fakta keagamaan yang benar-benar “murni”. Setiap fakta
keagamaan juga bersifat social psikologis atau cultural. Akan tetapi kekacauan
dalam hal batas jangkauan dan metode dari ilmu-ilmu ini hanya akan membawa pada
reduksinisme, yakni teori yang hanya akan merendahkan agama menjadi semacam
epifenomen dari struktur social, psikologia atau social. Teori-teori
reduksionis semacam ini telah diajukan oleh sosiolog seperti Durkheim, oleh
psikolog seperti Freud dan oleh sejumlah etnolog, baik yang bersifat
evolusionis maupun difusionis. Sejarawahn agama mempertimbangkan fonomena agama
sebagai agama yang khas dan memusatkan perhatiannya pada makna keagamaan dari
fenomena yang diperlihatkan oleh ilmu-ilmu tersebut.[18]
E. KESIMPULAN
1. Tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan
telah berada dalam domonasi dan otoritas positivisme, Persoalan serius yang
selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal obyek
observasinya yang berbeda dari ilmu-ilmu alam, yaitu masyarakat dan manusia
sebagai makhluk historis. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk
mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan
‘mengembalikan’peran sabyek kedalam proses keilmuan itu sendiri. Setidaknya ada
tiga pendekatan yang sama-sama mencoba mengatasi positivisme dalam ilmu sosial
dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subyek yang
menafsirkan obyeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan,
yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.
2. Sebagai ‘aliran’ epistimologi, fenomenologi
diperkenalkan oleh Edmund Husserl [1859-1938].,Inti pemikiran fenomenologi
menurut Husserl adalah bahwa untuk menemukan pemikiran yang benar, seseorang
harus kembali pada obyek “benda-benda” sendiri, bukan pada interpretasi yang
muncul dari subyek penelitinya semata.
3. Dalam Epistimologinya, Husserl memperkenalkan
pendekatan reduksi, yaitu satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologi
bersikap netral. Reduksi ini merupakan pengarahan kesubjek dan mengenai hal-hal
yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian yang tinggal sebagai
hasil reduksi ini adalah fakta kesadaran sendiri.
4. Fenomenologi Pada penelitian modern dan
penyelidikan ilmiah, misalnya terhadap fonomena agama, maka yang meski dilakukan
oleh seorang peneliti adalah mengelaborasi penelitiannya dengan berbagai
disiplin ilmu antara lain sosiologi dan antropologi agama, yang menekankan pada
inter-relasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang
terjadi antar mereka, Psikologi agama, teologi agama, yang kesemuanya akan
dijadikan data dalam mendapatkan pengetahuan tentang fenomena agama dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens K., Filsafat Barat dalam Abad XX, (Jakarta
: PT. Gramedia, 1981)
Bakker Anton, Metode-metode filsafat, (Jakarta:
Ghalia Indonesia,1984)
Bronwer M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan
Sezaman, (Bandung : Alumni, 1980)
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi agama,
(Yogyakarta : Kanisius 1995)
Muslih Mohammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar
paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan, (Yogyakarta,
Belukar 2006)
Hadiwidjono
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta : Yayasan
Kanisius, 1980)
Hamersma Harry, Tokoh-tokoh filsafat Barat Modern, (Jakarta
: PT. Gramedia, 1983)
[1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas asumsi dasar
paradigma dan kerangka teori ilmu pengetahuan, (Yogyakarta, Belukar 2006), 124
[6] Istilah tersebut telah dikenal sejak abad
ke-18. Lembert dalam bukunya: Neue Organon (1764) yang memakai nama phenomenologie untuk teori penampakan fundamental terhadap
semua pengetahuan empirik. Immanuel kant (1724-1804) menggunakan kata noumenon untuk ujud realitas dan phenomenon untuk pemahaman terhadap realitas itu pada
kesadaran. Hegel (lahir 1770) memberi arti lain, yakni conversant mind(pengetahuan tentang pikiran). Menurut Hegel,
jika kita menganggap pikiran semata-mata dengan pengamatan dan
pengenerralisasian sebagai fenomena dalam penampakan dirinya, maka kita memiliki
satu bagian dari pengetahuan mental dan inilah yang disebut phenomenology of mind.Moritz Lazarus dalam bukunya leben der seele (1856-1857) membedakan istilah fenomenologi
dengan psikologi. Yang pertama menggambarkan kehidupan mental dan yang terakhir
disebut mencari penjelasan kausal pada kehidupan mental.
[15] Anton Bakker, Metode-metode filsafat, 117, Baca juga M.J.Langevald, Menuju pemikiran filsafat, (Jakarta: PT.Pembangunan,T.th), 102.
[17] J. Wach, Sosiologi of Religion, (Chicago, 1943), 11 yang dimuat pada
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama”, (Yogyakarta, Kanisius 1995), 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar