Makalah Kelompok 10
TEORI FEMINISME DAN TEORI ORIENTASI SEKSUAL
Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra
Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA
Oleh :
Franscy (No. Reg.
7316130261)
Niklatul Hikmah (No.
Reg. 7316130275)
Pendidikan Bahasa (S2)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Karya sastra tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata, akan tetapi
karya sastra juga berfungsi sebagai kritik sosial. Dalam karya sastra
kritik-kritik sosial sering ditemukan di mana topik yang diangkat sering
berkaitan dengan peristiwa yang hangat serta faktual dalam lingkungan
sehari-hari. Karya sastra yang dimaksud mencakup novel, cerita pendek, puisi maupun
drama. Membaca karya sastra
bukanlah pekerjaan yang mudah karena memerlukan persiapan, strategi agar karya
seni dapat dipahami. Baik pengarang maupun pembaca harus memahami model bahasa, bentuk sastra,
dan dengan sendirinya isi karya, yang secara keseluruhan memerlukan cara-cara
tertentu.
Karya sastra sebagai seni yang berlandaskan cerita secara langsung maupun
tidak langsung membawakan pesan dan moral. Dengan kata lain karya sastra
mempunyai nilai-nilai diperoleh pembaca lewat sastra. Apalagi karya sastra
merupakan cerminan dari masyarakat. Sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kehidupan masyarakat serta
hubungan antara karya sastra dengan pembaca dan pengarang.
Dewasa ini, karya sastra yang dikhususkan pada prosa banyak membahas
mengenai gender. Persoalan gender bukanlah persoalan baru, mengingat masih banyaknya
masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan tersebut dan
masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga
memunculkan terjadinya ketidakadilan gender.
Pengakajian yang sering digunakan untuk memahami gender adalah kajian
ilmu-ilmu sosial terutama sosiologi. Dari berbagai kajian sosial inilah muncul
berbagai teori sosial yang kemudian dijadikan sebagai teori-teori gender atau
sering juga disebut teori-teori feminisme. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lainnya di dalam
karya sastra sehingga mencerminkan keadaan sosial budaya masyarakat pada masa
itu. Masyarakat mulai memberikan dukungan kepada organisasi-organisasi yang
peduli kaum perempuan. Kaum perempuan telah bangkit kesadarannya untuk
memperbaiki kualitas kehidupan mereka yang dirasakan selama ini terabaikan dan
tertindas. Diawali dari gerakan perempuan di Eropa pada abad ke-18 yang
dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan terus berlanjut hingga kini di berbagai
belahan dunia dan juga dalam berbagai bidang.
Dampak dari gerakan feminis juga dirasakan di
dalam dunia kepengarangan yang semula di dominasi oleh pengarang laki-laki.
Kehadiran pengarang perempuan telah mengubah atmosfir dunia sastra, karena
beragam tema banyak diangkat oleh pengarang perempuan, khususnya
masalah-masalah sosial yang terjadi di kalangan masyarakat. Realita yang
terjadi di masyarakat menarik perhatian dan minat pengarang perempuan untuk
dituangkan ke dalam karya sastra dilihat dari sudut pandang perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan
masalah dalam makalah ini mengenai:
1. Sebutkan definisi teori feminisme dan teori
orientasi seksual?
2. Apa saja aliran-aliran teori feminisme?
3. Apa yang dimaksud teori kritik sastra feminisme?
1.3 Tujuan
Penulisan Makalah
Adapapun Tujuan Penulisan
Makalah ini yaitu:
1. Mengetahui definisi tentang teori feminisme dan teori orientasi
seksual.
2. Mengetahui dan memahami aliran-aliran teori feminisme.
3. Mengetahui maksud dari teori kritik sastra feminisme.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Teori Feminisme
Salah satu agenda
kemanusiaan yang mendesak untuk segera diselesaikan adalah menjadikan kesetaraan laki-laki dan perempuan
dalam sistem masyarakat. Feminisme memperjuangkan dua hal yang selama ini tidak
dimiliki oleh kaum perempuan pada umumnya, yaitu persamaan derajat mereka
dengan laki-laki dan otonomi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya dalam
banyak hal. Kedudukan perempuan dalam masyarakat lebih rendah dari laki-laki,
bahkan mereka dianggap sebagai “the second sex”, warga kelas dua. Dalam
pengambilan keputusan dibanyak bidang, yang mendapatkan hanyalah masayarakat
laki-laki. Perempuan dipaksa tunduk, mengikuti mereka.
Feminisme
tidak seperti pandangan atau pemahaman lainnya. Feminisme tidak berasal dari
sebuah teori atau konsep yang didasarkan atas formula teori tunggal. Itu
sebabnya, tidak ada abstraksi pengertian secara spesifik atas pengaplikasian
feminisme bagi seluruh perempuan disepanjang masa.
Feminisme adalah basis teori dari gerakan
pembebasan perempuan. Feminis berasal dari kata “Femme” (Woman), yang berarti perempuan
(tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak)
sebagai kelas sosial.[1] Dalam arti leksikal,
feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara
kaum wanita dan pria. Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita
dalam bidang politik, ekonomi dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.
Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh wanita untuk menolak segala
sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun
kehidupan sosial lainnya. Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin
menyetarakan hak antara pria dan wanita yang selama ini perempuan seolah-olah
tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup.
Diawali dengan
gerakan-gerakan yang dipelopori oleh kaum perempuan pada pertengahan abad ke-18
di Eropa yang dianggap sebagai “gelombang pertama” (first wave) feminisme. Istilah “feminis”
itu sendiri digunakan pertama kali di dalam literatur barat pada tahun 1880
yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik dengan laki-laki.[2]
Feminisme gelombang
pertama (first wave) lebih bersifat
individualis dan pembaharuan, kaum perempuan telah membuktikan pembebasan
perempuan (women’s liberation) bersifat
kolektif dan revolusioner. Mereka lebih menekankan untuk persamaan hak (old’s feminism of equal rights).[3]
Perbedaan pandangan yang
terjadi pada era 1970-an telah memunculkan gelombang kedua (second wave) feminisme. Gelombang kedua feminisme mengemukakan
teori-teori yang memberikan penjelasan umum tentang konsep-konsep fundamental
mengenai perlakuan sewenang-wenang dan penindasan terhadap kaum perempuan serta
respon terhadap kritik-kritik marxisme, terutama terhadap “perbedaan” yang
diciptakan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki
sebagai pihak superior menentukan
ukuran tertentu untuk perempuan sebagai pihak inferior dan perempuan berusaha memenuhi ukuran tersebut
(objektivitas oleh laki-laki). Situasi tersebut terjadi akibat budaya
patriarki.
Dalam dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan dalam
kritik sastra yang disebut kritik sastra feminis. Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra
feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita.
Dalam kesustraan, nilai-nilai feminis tidak
selalu langsung disampaikan dengan gamblang, namun bisa disampaikan lewat
pemahaman nilai-nilai sederhana yang melatarbelakangi kehidupan si pengarang
wanita. Tidak selamanya pergerakan wanita lewat tulisan dan karya sastra bisa
disambut baik oleh para penulis laki-laki, bahkan sebagian penulis pria
mengistilahkan “dancing dog” kepada
para wanita yang berprofesi sebagai penulis. Meskipun demikian, terdapat
beberapa penulis wanita yang memang terbukti memiliki kualitas yang bagus jika
dibanding dengan penulis pria pada masanya.
Lahirnya
karya sastra yang mengangkat persoalan tentang kaum perempuan, menjadi
tanda bahwa gerakan feminisme telah mengalami banyak perkembangan, tidak hanya
dalam bidang hukum dan politik saja. Gerakan feminisme telah masuk ke
dalam dunia fiksi, seperti karya sastra, baik itu prosa, puisi maupun drama. Bahkan tidak
hanya kaum perempuan saja yang menuliskan tentang persoalan perempuan dalam
karya sastra, namun ada juga kaum laki-laki yang menuliskannya.
2.2
Aliran-aliran Teori
Feminis
Menurut Sudrajat ada
beberapa pokok pikiran ragam teori feminis yang dibedakan ke dalam lima kelompok, yaitu:
1. Feminis Liberal
Feminisme liberal ialah wanita perlu diperjuangkan sepenuhnya sama dengan laki-laki
baik itu hak suara, pendidikan maupun kesamaan dalam hukum. Jadi wanita memiliki
kebebasan individual dan secara penuh. Kebebasan yang dimaksud berakar dari rasionalitas dan pemisahan antara
dunia privat dan publik. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan disebabkan oleh
kesalahan perempuan itu sendiri. Feminisme liberal ini melahirkan hukum, tatanan dan aturan termasuk norma yang
dikonvensi secara lisan dalam tradisional yang bertanggung jawab atas
penindasan dan subordinasi wanita. Masyarakat menganggap wanita secara ilmiah
kurang memiliki kemampuan intelektualitas dan fisik maka dianggap tidak layak
untuk diberi peran di lingkungan publik.
2. Feminis Marxis
Feminisme marxis ini berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami oleh wanita bukan
disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, melainkan akibat dari
struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem
kapitalisme. Para feminis marxis berpendapat bahwa tidak mungkin perempuan
dapat memeroleh kesempatan yang sama dengan laki-laki jika mereka hidup di
dalam masyarakat yang berkelas.
3. Feminis Radikal
Feminisme radikal menekankan pada perbedaan antara wanita dan laki-laki. Di mana
sumber masalah di sini adalah sistem patriarki dan pemaknaan akan seksualitas
wanita. Feminis ini menganggap bahwa dalam kaitannya dengan reproduksi dan
seksualitas wanita, reaksi terhadap pandangan bahwa laki-laki dan wanita secara
kodrati berbeda. Artinya penindasan terhadap wanita disebabkan oleh jenis kelamin
laki-laki itu sendiri dengan ideologi patriarkinya. Cara pemikiran feminis
radikal dalam menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan
laki-laki yang tidak layak atas wanita. Dengan sendirinya wanita kemudian menyadari bahwa wanita tidak
ditakdirkan untuk menjadi pasif.
4.
Feminis
Sosialis
Feminisme sosialis menekankan bahwa
wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas. Feminis sosialis menggunakan
analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan terhadap wanita. Oleh
karena itu, yang diperangi adalah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta
struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.
5. Feminis Psikoanalisis
Feminisme psikoanalisis mempunyai pandangan terhadap perbedaan seksualitas laki-laki
dan perempuan menurut perspektif ini berakar pada perbedaan psyce perempuan
dan laki-laki karena perbedaan biologis antara kedua jenis kelamin
tersebut. Feminis ini beranggapan bahwa tahapan psikoseksual adalah kunci
untuk memahami bagaimana seksualitas dan gender terjadi secara timpang, di mana
kaum laki-laki berada ada superordinat dan wanita berada pada subordinat.[4]
Teori
feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat
berkaitan dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori
sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di
seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum
perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman dan perbedaan objek dengan
teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya
dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer
perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa
perempuan, tokoh-tokoh perempuan, dan sebagainya
Menurut Selden, ada lima masalah yang biasa
muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b)
pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi.[5]
Perdebatan terpenting dalam teori feminis timbul sebagai
akibat masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui
wacana yang dikuasai oleh laki-laki. Kenyataan ini pun
sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk
menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan
tujuan.
Dalam
kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan
dengan kesetaraan gender. Feminis, khususnya
masalah-masalah mengenai wanita pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi,
gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik
dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Dalam sastra
emansipasi sudah dipermasalahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya
novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan masalah-masalah kawin paksa,
yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan Layar
Terkembang karangan
Sutan Takdir Alisajahbana.
Contoh-contoh
dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang
terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat
dilihat baik dalam sastra lama maupun sastra modern. Kesadaran
berubah sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya novel-novel populer, yang diikuti
dengan hadirnya sejumlah pengarang dan tokoh perempuan. Sebagai
pengarang wanita memang agak jarang. Sepanjang perjalanan sejarah sastra
Indonesia terdapat beberapa pengarang perempuan, antara lain: Sariamin,
Hamidah, Suwarsih Djojopuspito, Nh. Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan
lain-lain.
Pemikiran
feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh
kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini
terlihat melalui penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang
yang tadinya hanya didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media.
2.3 Kritik Sastra Feminis
Awal kemunculan paham kritik
sastra feminis pertama kali di belahan Barat. Ada beberapa aspek yang
mempengaruhi sehingga paham feminisme dikembangkan dan pada akhirnya menyebar
ke seluruh dunia. Yang pertama kali dimunculkan bukanlah kritik sastra feminis
akan tetapi paham feminis yang masih bersifat umum.
Beberapa aspek yang menyebabkan
lahirnya paham feminisme pertama kali antara lain: aspek politik, aspek agama,
aspek ekonomi, dan aspek tentang konsep sosialisme. Selain itu ada beberapa
faktor pemicu lahirnya paham feminisme dalam bidang kritik sastra adalah:
a.
Berkembangnya teknik konspirasi,
yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
b.
Radikalisasi politik, khususnya
sebagai akibat perang Vietnam.
c.
Lahirnya gerakan pembebasan dari
ikatan-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika,
ikatan mahasiswa dan sebagainya.
d.
Sekularisasi, menurunnya wibawa
agama dalam segala bidang kehidupan.
e.
Perkembangan pendidikan yang
secara khusus dinikmati oleh perempuan.
f.
Reaksi terhadap pendekatan sastra
yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti struktur baru, dan
strukturalisme.[6]
Kritik
sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam
kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua
pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika,
dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan
pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat
ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem
patriarki) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan
kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang
ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Karena itu terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus
pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon
yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan
tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari
kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua,
mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra
yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan
dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada
pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan.
Feminisme
terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, dan
lain-lain, yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak
jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin,
ada yang antimaskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.
Hal ini
berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan
kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme.
Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dan lain-lain,
yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous
misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis,
dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling
mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pandangan atupun pengetahuannya tentang
kritik sastra feminis.
Kritik karya
sastra dengan perspektif feminisme boleh dibilang relatif baru. Paling tidak,
seperti pernah dikatakan Soenarjati Djajanegara, sampai saat ini belum banyak
kritikus sastra dan mahasiswa sastra yang menggunakan perspektif feminisme
dalam melakukan kritik terhadap karya sastra.[7] Kita tahu, pada awalnya karya sastra perempuan di Amerika pun pernah
dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan
pasti akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik.
Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan,
dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengarang laki-laki.
Karena itu tidak mengherankan kalau pada awalnya pengarang perempuan di Amerika
pun pernah menggunakan nama samaran laki-laki agar karya mereka bisa diterima
masyarakat.
Paling tidak
ada empat landasan yang bisa digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif
feminisme. Pertama, kelompok feminis yang berusaha menjadi
kritikus sastra dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan menyoroti
persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik yang mencari jawaban apakah
penulis perempuan itu merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa
dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok
feminis yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya, bahwa perempuan
itu faktanya tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa
digunakan untuk bisa menghasilkan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki
kekuasaan dalam keluarga. Keempat, menggunakan psiko-analisis.Bagi kelompok feminis
ini, perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang dimilikinya.
Karya sastra
dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika ia mempertanyakan relasi gender yang
timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara
perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks
feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat
feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan
dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial. Feminisme bukanlah monopoli
perempuan, seperti patriarki bukanlah monopoli laki-laki. Meneliti penulis
laki-laki dan mencoba menganalisis relasi gender dan mempertanyakan tatanan
sosial yang direfleksikan atau tidak direfleksikan atau dimis-refleksikan di
dalamnya adalah analisis yang bersifat feminis sepanjang analasis itu diarahkan
kepada tatanan relasi kekuatan antara laki-laki dan perempuan yang lebih
seimbang.
2.4 Teori Orientasi Seksual
Seks merupakan organ biologis dan
ditentukan sejak lahir melalui pranata sosial. Namun seks berbeda dengan
orientasi seksual, sebab orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang
terhadap lawan jenis dengan jenis kelamin atau peran gender tertentu.[8]
Ketertarikan seksual yang diakui secara umum melalui sistem oposisi biner yang
menjadi norma patokan dalam masyarakat adalah ketertarikan hetero-seksual
(laki-laki dan perempuan), sedangkan ketertarikan homoseksual dianggap sebagai
perilaku yang menyimpang dan cenderung mendapatkan sikap yang diskriminatif.
Identitas seksual menentukan orientasi
seksual seseorang, sebab identitas seksual adalah bagaimana seseorang mampu
mengidentifikasi dirinya sehubungan dengan orientasi atau perilaku seksual
mereka. Seks, orientasi dan
identitas sosial merupakan bagian dari seksualitas manusia, yang pada dasarnya merupakan
konstruksi sosial dari masyarakat.
Seks, orientasi seksual, identitas seksual akan mempengaruhi identitas
gender dan ekspresi gender seseorang dalam masyarakat. Sebab identitas gender adalah
bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya berjenis kelamin sebagai laki-laki
atau perempuan atau lainnya sedangkan ekspresi gender adalah bagaimana
seseorang mengekspresikan dirinya sebagai maskulin atau feminin dan atau
keduanya. Gender adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat
mengenai peran sosial seseorang. Peran sosial antara laki-laki dan perempuan
timpang karena adanya dominasi sistem patriarki yang terinternalisasi dalam
pranata sosial dan terus-menerus dikonstruksi dan direproduksi oleh masyarakat.
Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual, karena
orientasi seksual adalah perasaan dan konsep diri, bukan perbuatan. Seseorang
mungkin saja tidak melakukan kegiatan seksual yang sesuai dengan orientasi
seksualnya (atau sama sekali tidak melakukan hubungan seks). Orientasi seksual
seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kognitif dan biologis. Artinya,
bagaimana seseorang dibesarkan (termasuk pengalaman-pengalaman seseorang yang
bersifat seksual), pola pikir orang tersebut dan struktur genetis dan hormonal
yang didapat sejak seseorang berada di dalam kandungan mempengaruhi orientasi
seksual seseorang. Orientasi seksual seseorang pada umumnya muncul pada awal
masa remaja.
Kritik feminis terhadap seksualitas melalui teori Essentialism,
karena menganggap seksualitas yang dilihat melalui cara pandang Hetero yang
dianggap “Given”
atau alamiah –unchanging atau sebuah kodrat dari Tuhan yang
tidak bisa dirubah. Seksualitas yang “Given”
ini mengkonstruksikan laki-laki sebagai individu yang aktif, kasar dan liar
secara seksual, sedangkan perempuan sebagai individu yang pasif, lemah lembut
dan tidak berdaya. Cara pandang hetero yang didominasi oleh patriaki menganggap
ketidakberdayaan perempuan sebagai erotisme seksualitas. Maka, jika perempuan
mengambil peran aktif, kasar dan liar, ia dianggap sebagai perempuan binal dan
bukan perempuan baik-baik.[9]
Orientasi seksual yang berkaitan dengan
perasaan dan konsep diri. Bagi kebanyakan orang, orientasi seksual terjadi pada
masa remaja. Orientasi seksual juga terbagi kedalam beberapa golongan, pertama
homoseksual, yaitu ketertarikan terhadap sesama jenis, kedua adalah
heteroseksual, yaitu tertarik dengan jenis kelamin yang berbeda, ketiga adalah
biseksual, yaitu tertarik dengan kedua jenis kelamin.[10]
Orang-orang yang dianggap homoseksual disebut gay (laki-laki) dan lesbian
(perempuan).
Seks dalam sebuah karya sastra dewasa ini dianggap sebagai suatu hal yang
lumrah dan wajar. Seks dalam karya sastra dapat mengarah ke seni atau
pornografi tergantung dari pembaca dan pengarang. Jika seks mengandung
nilai-nilai seni, seks tidak bermaksud menggairahkan birahi dan nafsu semata.
Seks hanya dipandang sebagai sarana untuk mengungkapkan realitas pengalaman
manusia dalam kehidupan lahir dan batin. Pernyataan tersebut lebih dilandasi
suatu pemikiran bahwa seks merupakan bagian dari kehidupan manusia. Jika seks
mengarah kepada pornografi, seks hanya mempunyai satu maksud yaitu merangsang
pembaca agar memberikan respon seksual.
Keberhasilan pornografi adalah fisik artinya dapat dihitung dengan
kenikmatan syahwati dan upaya mencari pembenaran mengapa seks itu dilakukan.
Perlu diingat bahwa sastra menampilkan cerita. Hakikat suatu cerita merupakan
kisah kehidupan manusia. Tidak salah jika sastra dianggap sebagai eksplorasi
kehidupan manusia, yang melukiskan pengaruh, hasil, kehancuran, atau
tercapainya hasrat manusia. Sastra berisi konflik manusia. Dengan demikian
sastra merupakan beraneka aktualisasi kehidupan manusia, termasuk kehidupan
seks, disamping kehidupan lain seperti masalah kehidupan sosial, ekonomi,
politik, agama dan sebagainya.
Sebuah karya sastra pasti memiliki tema dan amanat yang akan disampaikan
kepada pembaca. Tema seksualitas masih dianggap tabu dalam masyarakat.
Kontroversi mengenai seks atau gambaran tentang hal-hal yang erotis dalam karya
sastra telah dimulai
sejak dulu. Pada generasi Balai
Pustaka “Nota Rinkes” misalnya, dianggap melanggar karena
terkesan tabu dan “merusak moral”. Juga
“Belenggu” karya Armijn Pane yang mempersoalkan cinta dan perselingkuhan juga
menimbulkan kontroversi. Dari sudut resepsi sastra kata “tabu” dan “merusak
moral” merupakan bentuk resepsi negatif pembaca terhadap nilai atau norma yang
mewakili masyarakat sastra pada masa itu terhadap karya-karya yang bertemakan
seks. Berbeda dengan norma dan nilai yang dihasilkan oleh tanggapan pembaca
pada masa Balai Pustaka di atas, sastra Indonesia saat ini boleh bergembira
dengan maraknya karya-karya sastra yang dimunculkan oleh para sastrawan
perempuan Indonesia yang menghadirkan nuansa lain dan baru dalam karya-karya
mereka. Salah satu cirinya adalah keberanian menabrak tabu, khususnya dalam
mengeksplorasi hal-hal yang menyangkut seksualitas.
Hal ini terlihat terlihat dalam novel “Saman”
yang ditulis oleh Ayu Utami yang kemudian dianggap pionir dalam genre baru
sastrawan perempuan Indonesia. Langkah Ayu ini kemudian disusul oleh banyak
penulis perempuan lain, semisal Dewi Lestari dengan “Supernova” dan Herliniatien dengan “Garis Tepi Seorang Lesbian”. Tentu saja bukan hanya masalah
seksualitas saja yang diungkap oleh para penulis perempuan ini. Banyak hal lain
seputar politik, sosial dan budaya. Akan tetapi sisi seksualitas yang terasa
lebih “baru” karena cara pengungkapannya sungguh jauh berbeda dengan pola-pola
sebelumnya, menjadikan ciri ini menjadi sorotan utama khalayak. Apalagi selama
ini, masalah seks dalam sebagian besar masyarakat kita masih masuk wilayah yang
cukup tabu untuk dibicarakan apalagi secara “telanjang”. Dalam kasus
pengungkapan seksualitas dalam karya-karya sastra pengarang perempuan, muncul
banyak resepsi positif pembaca terhadap novel yang berjenis baru ini. Apresiasi
terhadap pengungkapan seksualitas dalam novel-novel di atas, akan menjadi norma
yang mewakili suatu masa terhadap estetika suatu karya karena ia mewakili
reaksi pembaca.
BAB III
PENUTUP
2.5 Kesimpulan
Feminisme merupakan suatu gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk
menuntut persamaan derajat dengan kaum laki-laki. Teori
feminisme mengangkat isu gender, khususnya tentang perempuan sebagai kajian
utama. Dalam perjalanan sejarahnya, teori feminis secara
konstan bersikap kritis terhadap tatanan sosial yang ada dan memusatkan perhatiannya
pada variabel-variabel sosiologi esensial seperti ketimpangan sosial, perubahan
sosial, kekuasaan, institusi politik, keluarga, pendidikan, dan lain-lain.
Teori
feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian
kekuasaan itu. Kekuasaan itu adalah penggolongan kelas atau status
berdasarkan jenis kelamin (genderisasi). Ada
beberapa pokok pikiran ragam teori feminis yang dibedakan ke dalam lima kelompok, yaitu (1)
Feminisme Liberal, (2) Feminisme Marxis, (3) Feminisme Radikal, (4) Feminisme
Sosialis, (5) Feminisme Psikoanalisis. Tiap-tiap perspektif ini mencoba menjelaskan dan mendeskripsikan adanya
keterbelakangan yang dialami oleh wanita, faktor penyebab dan strategi yang
digunakan untuk lepas dari keterkungkungan tersebut.
Orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang terhadap lawan jenis dengan
jenis kelamin atau peran gender tertentu. Seks dalam karya sastra dapat
mengarah ke seni atau pornografi tergantung dari pembaca dan pengarang. Orientasi seksual juga terbagi kedalam
beberapa golongan, pertama homoseksual, yaitu ketertarikan terhadap sesama
jenis, kedua adalah heteroseksual, yaitu tertarik dengan jenis kelamin yang
berbeda, ketiga adalah biseksual, yaitu tertarik dengan kedua jenis kelamin.
Orang-orang yang dianggap homoseksual disebut gay (laki-laki) dan lesbian
(perempuan).
Daftar Pustaka
M. Abu, Akmad Azhar. Pendidikan
Seks Bagi Remaja. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2000.
Djajanegara,
Soenardjati. Kritik Sastra Feminis:
Sebuah Pengantar. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Gamble, Sarah. Pengantar Memahami Feminisme dan
Postfeminisme (diterjemahkan oleh tim penerjemah Jalasutra). Yogyakarta:
Jalasutra, 2010.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Selden, Raman. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1986.
Lampiran
:
Analisis Tokoh Utama dalam Karya Sastra Novel “DI ATAS PUING-PUING”
Karya TH SRI RAHAYU:Suatu TinjauanKritik
Sastra Feminis
Sinopsis Novel
Novel yang berjudul Di
Atas Puing-puing karya Th. Sri Rahayu, mengisahkan kehidupan rumah tangga
sepasang suami-istri yang beragama katolik yang pada awalnya hidup rukun, namun
akhirnya pecah karena adanya godaan dari pihak ketiga dan disusul hadirnya
pihak keempat.
Tokoh perempuan Arini yang berperan sebagai tokoh utama.
Dalam kisah ini Arini sebagai tokoh yang sangat dirugikan akibat pandangan
masyarakat yang patriarki. Hardi, suaminya yang ingin berpoligami dengan Retno
membuat Arini merasa terpukul. Menyadari kalau dia akan dipoligami, Arini tidak
menerima begitu saja. Dia melakukan pemberontakan, kabur dengan Hendra,
laki-laki yang mencintainya.
Konflik pada novel ini berangkat dari perlawanan tokoh
Arini terhadap ideologi patriarki. Ideologi patriarki yang sejak dulu ada dalam
semua aspek kehidupan masyarakat ini terlihat pada kutipan, yaitu:
"Di
antara sirat mata itu ada yang kutafsirkan: bertingkah benar itu perempuan,
dimadukan sudah jamaknya perempuan. Memang kita perempuan harus berbakti pada
lelaki". (Di Atas Puing-puing:
57).
Arini mencitrakan perempuan kuasa dengan pencitraannya
yang tegas terhadap prinsip, bertanggung jawab, bertekad kuat dan pantang
menyerah. Berdasar pembahasan di atas dapat disimpulkan, dalam novel berjudul Di Atas Puing-puing, sosok Arini sebagai
tokoh utama perempuan mencitrakan sosok perempuan kuasa dilihat dari
perlawanan-perlawanan yang diberikan terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya
sebagai seorang perempuan.
Analisis Karakter
Tokoh Utama Perempuan
Dalam novel Di Atas Puing-puing karya Th Sri Rahayu
terlihat jelas bahwa Arini mencitrakan kekuasaan seorang perempuan yang tidak
mau dinomorduakan dan tidak ingin diberangus hak-haknya sebagai manusia utuh
yang berdampingan dengan laki-laki. Dalam novel ini, terlihat Arini mempunyai
tekad luar biasa untuk memperjuangkan hak-haknya. Dia tidak ingin dikatakan
lemah dan menyerah menghadapi situasi yang sepertinya hanya berpihak pada
laki-laki. Sikap yang ditunjukkan Arini mencitrakan sosok perempuan kuasa
khususnya dalam menghadapi patriarki yang sudah mengakar. Di bawah ini akan
dipaparkan pencitraan perempuan kuasa dalam novel Di Atas Puing-puing, antara lain:
a.
Tegas terhadap prinsip
Perjalanan yang dilalui Arini memang tidak mulus. Dia banyak
menghadapi tantangan khususnya ketika dia menerima pengakuan suaminya yang akan
berpoligami. Di sinilah awal mulanya penderitaan Arini. Dia tidak mau menerima
kenyataan kalau suaminya akan membagi cintanya dengan Retno, perempuan yang
hampir separuh umurnya.
Dia pergi jauh dan memulai kehidupan baru dengan Hendra. Sikap
Arini yang demikian mencerminkan ketegasan kalau dia tak ingin dimadu. Terdapat
pada kutipan:
"Benar apa
yang dikatakan Mas Hardi, Bapak dan Ibu. Telah saya pilih jalan saya sendiri,
karena saya tak mampu menempuh jalan yang disediakan bapak anak-anak
saya". (Di Atas Puing-puing:59).
Arini salah satu perempuan yang bertanggung jawab. Sikapnya yang
bijak mengambil keputusan untuk bekerja di tengah kesulitan ekonomi yang dia
alami karena suaminya yang belum mendapatkan pekerjaan. Rasa tanggung jawab ini
ditunjukkan Arini dengan tetap menghormati Hendra sebagai seorang suami. Sikap
Arini yang demikian menunjukan, Arini mencitrakan sikap yang bertanggung jawab.
Rasa tanggung jawab Arini ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:
"Akhirnya
aku menjalani kerja sebagai karyawati perusahaan, menjahit. Jari-jariku yang
biasa manja, biasa dielus dengan kata-kata puitis, sekarang harus
bergerak-gerak dengan rutin menurutkan arah jarum jam agar keluargaku yang baru
itu bernafas pula dengan rutin….". (Di
Atas Puing-puing: 47).
b.
Bertekad kuat dan pantang menyerah
Tokoh Arini dalam novel ini, dibentuk oleh pengarang sebagai
sosok perempuan yang bertekad kuat dan pantang menyerah terhadap masalah yang
menimpanya. Dia berusaha bangkit dan tak menyerah begitu saja. Tekad itu
dicerminkan ketika menghadapi berbagai masalah yang menyudutkannya. Di antaranya
ketika Arini akan dipoligami. Arini tidak ingin manggut begitu saja hanya
karena alasan dia adalah seorang perempuan. Dia ingin menunjukkan, dia juga
mampu melakukan sesuatu yang kebanyakan tidak pernah dipikirkan oleh pria.
Karena meyadari keadaannya yang akan dipoligami, dia melarikan
diri dengan pria yang mencintainya. Ini merupakan bentuk tekad kuatnya dan yang
tak ingin menyerah begitu saja dengan keadaan.
"Tapi aku seorang
manusia lemah. Pagi tadi dengan alasan pergi ke gereja bersama Nenin, aku telah
melangkah jauh dalam bimbingan Hendra. Jakarta yang bising dan tak acuh, adalah tempat yang tepat bagi kami". (Di Atas Puing-puing: 43).
Kesimpulan
Th Sri Rahayu sebagai pengarang
menampilkan tokoh perempuan sebagai tokoh utama di dalam karyanya. Hal ini
tercermin pada gagasan-gagasan dan ide-idenya tentang perempuan yang
ditampilkan dalam novel tersebut. Pada umumnya, tokoh utama perempuan
ditampilkan sebagai sosok yang mandiri, penuh perhatian, dan bertanggung jawab
terhadap keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Tokoh Arini digambarkan sebagai
perempuan yang bertekad kuat dan pantang menyerah terhadap masalah yang menimpa
kehidupannya. Sikap yang ditunjukan
tokoh Arini dalam novel yang berjudul Di
Atas Puing-puing ini menunjukkan sikap yang tidak mau menyerah pada masalah
yang menimpanya, bertanggung jawab dan memperjuangkan hak-haknya Dia berusaha
bangkit dan berdiri sendiri dari masalah yang menghadangnya. Ini
memperlihatkan kalau perempuan juga bisa melakukan apa yang bisa dilakukan oleh
pria kebanyakan. Prinsip yang tersirat yaitu: kalau pria bisa, kenapa wanita
tidak?
[1]
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 33.
[2] Soenardjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; sebuah pengantar (Jakarta:
Pustaka Gramedia, 2000), hlm. 10.
[3] Sarah Gamble, Pengantar Memahami
Feminisme dan Postfeminisme (Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2010), hlm.
35.
[4]
Sudrajat dalam
buku Soenardjati Djajanegara, Kritik
Sastra Feminis; sebuah pengantar (Jakarta:
Pustaka Gramedia, 2000), hlm. 20.
[5]
Raman selden. Panduan
Pembaca Teori Sastra Masa Kini. (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press,1986), hlm. 130-131.
[6] Nyoman
Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm 183-184.
[7] Soenardjati
Djajanegara, Kritik Sastra Feminis; sebuah
pengantar (Jakarta: Pustaka
Gramedia, 2000), hlm. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar